Gan-Gan R.A. (Foto: koleksi pribadi) |
Oleh: Gan-Gan R.A.
TEKS PUISI bukan sejenis upacara
perayaan sikap yang bermazhab pada oposisi transedental. Teks puisi semacam
ruang kontemplasi inter-personal yang bertumbuh dalam "Lukisan Kata".
Terkadang lukisan kata tersebut bercorak naturalisme, di lain waktu menyemburkan
abstraksi.
Teks puisi bukanlah manifesto yang menggelegar : politik gerakan pemikiran
yang menegaskan sebuah sikap, ketika di hadapkan pada kekuasaan audio visual,
yakni publikasi media digital. Ketika teks puisi dibacakan, yang tergelar
adalah panggung pertunjukan, di mana penyair tengah "konser"
memamerkan keajaiban kata.
Dalam diskursus media digital, teks puisi berjenis
konten yang mengenakan jubah rahasia kata yang ditulis penyair, setelah
melewati proses perenungan inheren, kemudian dipublikasikan dengan tujuan untuk
dinikmati sebagai salah satu karya seni, sekalipun tidak perlu diwajibkan bagi
apresiatornya harus mencerna makna di balik rajutan kata di tubuh teks puisi
tersebut. Teks puisi bukanlah kelas penataran P4 (Pedoman Penghayatan
Pengamalan Pancasila-red) yang menjadikan audiens sebagai objek doktrinisasi.
Seni tidak mengenal absolutisme untuk memonopoli pemahaman kebenaran. Dalam
dunia seni, berdiri pohon tafsir yang menjulurkan dahan gagasan dan menjuraikan
ranting-ranting interpretasi. Dalam dunia seni, tidak terdapat tafsir tunggal.
Karya seni yang dipublikasikan untuk dinikmati oleh apresiatornya adalah
sebagai bagian dari geliat kebudayaan. Dan teks puisi terkadang tidak melulu
berupa gagasan, teks puisi bisa juga berupa gumam, igauan, nyanyian lirih dan
teriakan yang bersumber dari senyap yang jarang tergali, terkadang juga teks
puisi adalah tarian dan nyanyian jiwa yang bersifat abstraktif.
Tetapi, ketika teks puisi terperangkap dalam perspektif hukum pidana serta
dianggap menabrak simbol-simbol suci agama yang sangat dihormati oleh
pemeluknya, dan berdasarkan pemahaman umum disinyalir telah menciptakan
intoleransi kehidupan umat beragama, terindikasi melecehkan sakralitas
simbol-simbol suci agama tertentu.
Ketika teks puisi dihadapkan pada norma baku
dalam kamus hukum pidana, tafsir hukum pun berlaku, apakah di situ terdapat alat
bukti yang mendukung tindakan Terlapor yang mengarah pada perkara tindak pidana
pasal penistaan agama juncto pasal mengganggu ketertiban umum? Ataukah di situ
berlaku, "ekslusivitas" tafsir seni yang tidak bisa dirumuskan oleh
terminologi hukum positif yang bersifat normatif untuk dijadikan tameng
Terlapor demi terhindar dari jeratan proses hukum?
Teori hukum pidana tidak mengenal "permohonan maaf" dan teori
kesusatraan tidak mengenal "tafsir tunggal." Dua teori besar tengah
berhadapan-hadapan pada kasus puisi "Ibu Indonesia" karya Sukmawati
yang telah menciptakan kegaduhan nasional dan kebisingan kebencian dari
masing-masing pihak yang tengah bertikai.
Perang opini di media massa dan twit
war di sosial media, di mana nitizen yang merasa tersakiti oleh teks puisi
tersebut, seakan bertindak sebagai kritikus sastra sekaligus Jaksa Penuntut
Umum (JPU) yang melakukan tuntutan hukuman yang cenderung menghakimi tanpa
proses berdialeltika untuk mencari akar kesalahan. Begitupun sebaliknya,
nitizen yang pro teks puisi yang tengah menjadi bola liar, seakan bertindak
sebagai advokat kawakan membela penuh semangat sekaligus bertindak sebagai
begawan sastra yang mumpuni.
Menghikmati fenomena nitizen, ini sesungguhnya menyerupai anekdot
kebudayaan dan taman satire dari suatu masyarakat yang transformatif.
Di lapisan masyarakat, dua kubu pun terbelah runcing dengan berbagai
tusukan tuduhan dan tangkisan pembelaan dari masing-masing pihak. Tulisan ini
diposisikan lebih menyerupai "wasit" bagi dua kubu pemikiran yang
berbeda yang tengah bertanding memenangkan kebenaran dan menyingkap tabir
tersembunyi yang menutupi agenda politik elite kekuasaan di balik kasus
"puisi yang menista agama".
Seorang kreator/ penulis dalam konteks berkarya, dia memiliki otoritas
untuk menumpahkan seluruh ide dan gagasannya. Namun ketika karya tersebut
dipublikasikan, ada pertanggungjawaban moral, etika termasuk pertanggungjawaban
norma di mata hukum yang berlakukan resmi di suatu Negara. Teks puisi Sukmawati
seperti suara yang bangkit dari kotak pandora, tak terduga dan menjadi senjata
makan tuan.
(Bagian 1)
(bersambung...)
Tangerang, April 2018
Penulis adalah:
Koordinator Divisi Komunikasi Eksternal Satgas Advokasi Pimpinan Pusat
Pemuda Muhammadiyah.
0 Comments