Dr. H. Wahidin Halim. (Foto: Dokumentasi TangerangNet.Com) |
Apa pendapat Bapak tentang calon Walikota Tangerang pada Pilkada 2024
ini?
Wahidin Halim (WH): Rekrut Pilkada terbatas sebagai
pemimpin. Maksudnya, mereka yang sudah mengikut Pemilu Legislatif (Pileg) yang
menang maupun kalah sudah kehabisan energy baik tenaga maupun finasial, tidak
cukup hanya modal kapasitas politik. Modalitas yang tidak terukur.
Oleh karena tidak terukur jadi masalah?
WH: Oleh karena tidak terukur sehingga pesta demokrasi
sekarang boros baik dari sisi penyelenggara maupun calon. Kalau mengandalkan
sumber daya dari calon (Caleg), mereka sudah kehabisan dana bagi yang kalah
maupun yang menang, sama. Mereka harus berfikir dua kali mana kala menjadi calon
kepala daerah.
Lantas bagaimana?
WH: Uang habis dan tenaga habis baik calon menang maupun
yang kalah. Bagi caleg yang menang ketika ikut kontestasi Pilkada harus
mengundurkan diri sebagai anggota legislative. Tidak bisa dengan cara
spekulasi.
Tapi kenapa, khususnya Kota Tangerang banyak orang mau mencalonkan
diri?
WH: Nanti dulu. Dilihat secara terukur berfikir logis,
secara logika politik kalau dia kalah, akan kehilangan sebagai caleg, jadi
anggota dewan. Dengan pengorbanan yang luar biasa.
Bagaimana dengan calon bukan kader partai atau bukan politisi?
Kalau rekrutmen di luar politisi, mereka tidak punya
kapasitas politik. Begitu banyak dana operasional tapi juga mahar politik,
sekarang pakai mahar politik dan harus bayar. Dan itu harus diihitung. Bagi
pengusaha, dia akan berfikir karena tidak ada paket hemat, asumsi pembiayaan
terukur. Misalnya biaya sosialisasi dan mahar harus bayar.
Sekarang ini, apakah ada yang
disebut incumbent atau petahana?
WH: Incumbent atau petahana berbeda dengan dulu. Sekarang
tidak memiliki legalitas secara politik maupun secara sosial. Tidak mungkin
lagi dia menggerakkan infrastruktur. Sekarang
praktisme terjadi secara terbuka dan secara jelas. Peraturan Badan Pengawas
Pemilu (Bawaslu) yang tadinya kita harapkan kondusif, hilang.
Ohhh kini..berbeda kondisi yang Pilkada beberapa tahun lalu?
Kalau dulu pejabat bisa menggerakkan seluruh potensi karena
ada birokrasi untuk itu. Di sana ada SDM (Sumber Daya Manusia) yang cukup,
mereka bisa diarahkan. Sekarang tidak bisa lagi dan ini tidak lagi menggembirakan
bagi politisi maupun peminat Pilkada. Hal ini dibutuhkan orang nekat dan siap
menanggung risiko.
Kenapa hal itu bisa terjadi?
WH: Transaksional politik
dan pakmatisme politik itu ada dalam variable utama. Hal ini berbeda
dengan Pemilu 2014 dan 2019. Sangat beda.
Ada calon yang mengeluarkan dana besar kalah sehingga tidak ada limitative. Terus partisipasi masyarakat terbelah. Orang beranggapan hak politiknya digunakan benar-benar memberikkan kontribusi. Itu namanya political kontribusian. Orang mau memilih karena ada kontribusi, “Wani piro?” Hal ini disampaikan secara terang-terangan. (*Syafril Elain).
(Bersambung)
1 Comments
Ada cagub yang setahun lalu sudah masang baliho di seluruh wilayah banten. Lalu nyaleg lagi dan lolos. Itu sudah ngeluarin budget berapa? Harus diusut itu karena mengeluarkan dana yang besar. Kalau mau pemerumtahan yang bersih ya harus diusut tuntas.
ReplyDelete