Ilustrasi, OCCRP (Foto: Istimewa) |
PAGI itu, kantor kecil di sudut Jakarta tampak lebih sibuk dari biasanya. Bukan karena ada Pemilu, bukan pula karena proyek baru dari kementerian. Semua orang di sana sedang sibuk membuka TikTok, mengulang-ulang sebuah video dengan latar belakang berita CNN berjudul: “Jokowi Masuk Daftar Tokoh Dunia Paling Korup 2024 Versi OCCRP.”
Di pojokan, seorang pria dengan kaos putih sambil bolak
balik menekan tombol HP, sambil berdiri di depan timnya. Dialah Koordinator
Agung (nama samaran), pria yang dikenal sebagai “otak” strategi buzzer. Dengan
wajah serius, dia memulai briefing darurat:
“Kawan-kawan, ini bahaya besar! OCCRP telah menyerang bos
kita. Kita harus bergerak cepat. Apa langkah kita?”
Salah satu anggota tim, yang sedang sibuk menyeruput kopi
sachet, mengangkat tangan. “Pak, apa itu OCCRP?”
“Itu lembaga anti-korupsi internasional. Pokoknya mereka
sok-sokan investigasi!” jawab Agung sambil mengibaskan tangan seperti mengusir
lalat. “Sekarang, tugas kita: serang balik!”
Tiba-tiba, suasana menjadi tegang. Semua anggota tim bersiap
mendengar strategi dari sang koordinator. Agung melanjutkan:
“Pertama, framing OCCRP sebagai lembaga nggak kredibel.
Bilang mereka hanya mencari sensasi dan nggak punya data valid.”
“Siap, Pak!” Jawab tim serempak.
“Kedua, bantah berita ini dengan memposting pencapaian bos
kita. Ingat, narasi: ‘Presiden terbaik sepanjang masa.’ Cari foto-foto beliau
saat bagi-bagi sembako, peluk sapi kurban, atau naik sepeda bareng rakyat.”
“Baik, Pak!” Lagi-lagi serempak.
“Ketiga, kalau ada yang tanya soal data korupsinya, kita
jawab begini: ‘Mana datanya? Jangan cuma tuduh-tuduh tanpa bukti!’ Paham?”
Semua mengangguk. Tapi tiba-tiba seorang buzzer pemula
angkat tangan lagi, wajahnya agak ragu. “Pak, ini butuh dana tambahan, buat
iklan di medsos, buzzer lain, sama bayar pasukan komentar.”
Agung mengangguk penuh wibawa, lalu menepuk bahu si pemula.
“Santai, ini saya tinggal ngomong sama bos. Budget langsung cair. Kita ini tim
kepercayaan, paham?”
Ruangan pun gegap gempita dengan tepuk tangan. Ada yang
sudah sibuk mengetik narasi di laptop, ada yang mulai merekam video TikTok
tandingan, bahkan ada yang mengatur strategi serangan komentar ke akun OCCRP.
Dalam hati, mereka bersyukur. Bukan karena berita buruk ini,
tapi karena akhirnya mereka dapat job baru. Proyek terakhir mereka, “Framing
Pemilu Damai 2024,” sudah mulai basi dan gaji sempat seret. Kini, OCCRP datang
bak penyelamat di tengah kegalauan finansial mereka.
Sore itu, setelah briefing selesai, Agung berdiri di depan
kantor, memandang langit Jakarta yang cerah. Dengan senyum lebar, ia bergumam:
“Terimakasih, OCCRP. Kalian benar-benar lembaga yang memberkati kami. Kalau ada
lagi berita serupa, jangan ragu untuk publish, ya!”
Sambil bersiul riang, dia kembali bergumam, “Ya Allah,
semoga setelah ini ada lagi berita memojokkan bos atau anaknya. Kalau bisa,
berita yang lebih heboh lagi. Agar dana selalu mengalir lancar. Amin!”
Begitulah, hidup seorang buzzer. Di balik layar perang narasi, selalu ada secangkir kopi sachet, keyboard berisik, dan optimisme bahwa setiap berita buruk bisa jadi peluang emas. OCCRP, kalian mungkin mengekspos korupsi, tapi di sini, kalian justru memperpanjang kontrak kerja kami. Salut!
(***)
0 Comments