![]() |
Terlihat dengan jelas adanya kaveling HGB dan SHM dari peta yang ada di BPN/ATR. (Foto: Istimewa) |
Pertama, HGB tidak bisa diterbitkan di atas laut atau perairan,
sebab mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) No.18/2021 jo Permen ATR
No.18/2021 bahwa hak atas tanah berupa bangunan (HGB) hanya bisa terbit di
wilayah pesisir pantai, bukan di atas laut.
Kedua, aturan selanjutnya, di kawasan pesisir pantai sudah
diatur bahwa hanya garis sempadan pantai yang boleh disertifikatkan dengan
minimal jaraknya 100 meter dari titik surut. Dengan demikian, pagar (bangunan)
di laut jelas merupakan bentuk pelanggaran.
Jika benar bahwa HGB tersebut berada di atas wilayah
perairan, maka ada praktik aktrobatik hukum secara kolektif yang
melatarbelakanginya:
Satu, perusahaan dan Pemda mengubah tata ruang darat dan
laut, sehingga garis batas laut berubah. Otomatis sempadan pantai berubah.
Dua, Badan Pertanahan Nasional (BPN) memberi izin tata ruang
baru (PKKPR), karena ada perubahan dari Pemda.
Tiga, sengaja melakukan pembelokan data dalam memberikan
Risalah Panitia A terkait dengan permohonan HGB. Pasti ada pembelokan data
mengenai riwayat tanah, kondisi tanah, batas tanah dan lainnya yang disebut
dengan data fisik.
Empat, dasar risalah yang salah menjadi bahan terbitnya SK
Penerbitan HGB.
Empat, terbitnya 263
bidang bersertifikat HBG dan 17 bidang Sertipikat Hak Milik (SHM) menunjukkan
ada akrobatik hukum dan praktik mafia tanah di dalamnya. Pemecahan HGB menjadi
bidang-bidang kecil dan banyak jumlah sertifikatnya biasanya akrobatik hukum
lainnya agar prosesnya cukup diurus di tingkat Kantor Pertanahan Kabupaten Tanggerang
atau Kanwil Banten, tanpa perlu ke pusat.
Dengan adanya lima tindakan akrobatik hukum di atas, maka
terbitnya HGB di laut itu adalah gotong royong berjamaah dalam melakukan
kesalahan hukum pertanahan dari sisi Pemda, BPN, KKP, termasuk KLHK (sekarang
Kementrian Kehutanan).
Atas situasi ini, KPA mendesak Menteri Nusron di bawah
Komando Presiden Prabowo membongkar akrobatik HGB dan SHM di PIK 2 ini. Apalagi
rakyat kecil, nelayan dan petani sudah jadi korban akibat PIK-2.
Memagari laut sehingga nelayan terdampak tidak bisa melaut
merupakan bentuk pelanggaran hukum dan konstitusi. Ingat Pasal 33 Ayat 3, bumi,
air dan kekayaan alam dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat. UUPA 1960 sebagai terjemahan Pasal 33 Ayat 3, tidak hanya mengatur soal
hak atas tanah, tetapi juga hak-hak atas air yang menyangkut hak guna air,
serta hak pemeliharaan dan penangkapan ikan.
Pemagaran laut sepanjang 30 kilimeter telah melanggar
konsitusionalitas nelayan di perairan-laut Tanggerang. Padahal, sejak 1960 para
pendiri bangsa kita sudah mengingatkan, monopoli swasta atas sumber-sumber
agraria tidak diperkenankan ada bumi pertiwi ini.
Area PIK 2 seharusnya dijadikan objek reforma agraria
sehingga petani, nelayan, dan masyarakat miskin di sana mendapatkan kepastian
hak atas tanah bagi perumahan, pertaniannya dan wilayah tangkapnya. Perpres
Reforma Agraria telah memberikan jalan bagi petani dan nelayan kecil untuk menjadi
subyek RA.
Di sisi lain, area PIK-2 yang masih merupakan kawasan hutan,
dan tidak tumpang tindih dengan penguasaan rakyat, sekaligus merupakan akses
nelayan ke laut, sebaiknya dijadikan kawasan konservasi penyangga Kota Jakarta
dan Pulau Jawa oleh Kemenhut. Bukan dikomersilkan ke pengusaha.
Sebagaimana sering menjadi argumen KLHK selama pemerintahan
Jokowi, bukankah Pulau Jawa tutupan hutannya kurang dari 30 persen, mengapa
untuk Sugianto Kusuma alias Aguan masih
saja kawasan hutan diberikan konsesinya demi PIK-2?
Jakarta, 21 Januari 2024
Konsorsium Pembaruan Agraria
Dewi Kartika,
Sekretaris Jenderal
0 Comments