![]() |
Ketua MPR RI Bambang Soesatyo (baju krem campur kuning) di antara pimpinan MPR. (Foto: Istimewa) |
Potongan tumpeng pertama diberikan kepada Rishad, pegawai
cleaning service yang telah bekerja selama 19 tahun di MPR RI. Potongan tumpeng
kedua diberikan kepada Dea Ananda, pegawai SDM Setjen MPR RI, yang diterima sebagai
PNS pada usia 22 tahun.
Bamsoet mengungkapkan sejarah panjang lahirnya MPR RI
dimulai sejak 12 hari setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia. Yakni pada 29
Agustus 1945, para pemimpin bangsa Indonesia melaksanakan amanat konstitusi
untuk mendirikan sebuah lembaga untuk menjadi pengemban kedaulatan rakyat.
Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945 menyebutkan bahwa sebelum
“Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Pertimbangan
Agung dibentuk menurut Undang-Undang Dasar ini, segala kekuasaannya dijalankan
oleh Presiden dengan bantuan sebuah Komite Nasional”.
"Jika dihitung sejak tahun 1959 hingga kini, yakni
ketika telah terbentuk lembaga bernama Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara
(MPRS), sudah ada 15 orang putra bangsa yang dipercaya sebagai pimpinan lembaga
ini,” ujar Bambang Soesatyo (Bamsoet) pada Tasyakuran Hari Konstitusi dan HUT
ke-78 MPR RI, di Plaza Gedung Nusantara V MPR RI, Jakarta, Selasa (29/8/2023).
Bamsoet mengatakan lebih banyak daripada jumlah putra bangsa
yang pernah menjadi Presiden Republik Indonesia, yang kini baru memasuki
Presiden RI ke-7. Kelima belas Ketua MPR RI tersebut antara lain, Harmoko
(1997-1999), Amien Rais (1999-2004), Hidayat Nur Wahid (2004-2009), Taufiq
Kiemas (2009-2013), Sidarto Danusubroto (2013-2014), Zulkifli Hasan (2014-2019)
serta kini amanah tersebut diberikan kepada saya (2019-2024) di tengah-tengah
kompleksitas persoalan bangsa pasca reformasi yang telah melahirkan UUD 1945
tanpa pintu darurat
Turut hadir para pimpinan MPR RI antara lain, Ahmad Basarah,
Sjarifuddin Hasan, Hidayat Nur Wahid, dan Arsul Sani. Hadir pula Wakil Ketua
Komisi Kajian Ketatanegaraan MPR RI Martin Hutabarat dan Djamal Aziz, Ketua
Fraksi Partai Nasdem MPR RI Taufik Basari, serta Sekretaris Fraksi Partai
Golkar MPR RI Ferdiansyah.
Ketua DPR RI ke-20 dan mantan Ketua Komisi III DPR RI bidang
Hukum, HAM, dan Keamanan ini menjelaskan, pada 29 Agustus 78 tahun silam,
berdirilah Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dengan 137 anggota yang
terdiri dari pemuka masyarakat dari berbagai golongan dan daerah, termasuk
mantan anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Saat itu, KNIP
belum melakukan fungsi legislatif. Fungsinya untuk membantu Presiden RI
melaksanakan tugas-tugasnya, terutama tugas mempertahankan kemerdekaan dan
kedaulatan negara.
Dari tahun 1945-1949, KNIP dipimpin empat putra terbaik, dan
melakukan enam kali sidang pleno. KNIP kemudian dibubarkan seiring berubahnya
bentuk negara menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS), dari Desember 1949
hingga Agustus 1950. Dalam masa yang hanya beberapa bulan ini, bangsa Indonesia
mempunyai lembaga Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Serikat (DPR RIS)
yang terdiri dari 150 anggota dan merupakan wakil seluruh rakyat.
"DPR RIS melakukan kekuasaan legislatif bersama
pemerintah dan Senat Republik Indonesia Serikat yang terdiri dari 32 anggota
(dua dari masing-masing negara bagian yang saat itu ada). Ini adalah sistem
bikameral, tapi tidak ada lembaga gabungan yang serupa dengan MPR hari ini,
atau Congress di Amerika Serikat," jelas Bamsoet.
Ketua Dewan Pembina Depinas SOKSI dan Kepala Badan Hubungan
Penegakan Hukum, Pertahanan dan Keamanan KADIN Indonesia ini menerangkan,
ketika bangsa Indonesia kembali ke bentuk negara kesatuan pada tahun 1950,
konstitusi yang saat itu berlaku, yakni UUDS 1950 tidak mengatur tentang MPR
atau lembaga serupa. Pasal 1 ayat (2) UUDS 1950 menyebutkan bahwa “Kedaulatan
Republik Indonesia adalah ditangan Rakyat dan dilakukan oleh Pemerintah
bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat.”
Namun, bab V UUDS 1950 mengatur tentang sebuah lembaga
bernama “Konstituante” yang bertugas “bersama-sama dengan Pemerintah
selekas-lekasnya menetapkan Undang-undang Dasar Republik Indonesia yang akan
menggantikan Undang-undang Dasar Sementara. Setelah Pemilu 1955, terbentuklah
Konstituante. Tidak ada MPR saat itu. Tapi saat itulah kali pertama Bangsa
Indonesia mempunyai lembaga yang merupakan hasil pemilihan umum, yakni DPR dan
Konstituante. Mandat yang diemban Konstituante adalah untuk melaksanakan fungsi
legislatif yang sangat spesifik, yakni membuat konstitusi yang permanen.
"Konstituante tidak dapat menuntaskan tugasnya untuk
menyusun konstitusi. Berbagai sebab politik akhirnya mengundang lahirnya Dekrit
Presiden 5 Juli 1959. Lewat dekrit ini, Presiden Soekarno membubarkan
Konstituante dan memberlakukan kembali UUD 1945. Dengan berlakunya kembali UUD
1945, maka hiduplah kembali MPR, meski saat itu tidak dihasilkan oleh sebuah
Pemilu. Namanya pun masih menyandang kata sementara. Setelah Pemilu 1971 kita
punya DPR dan MPR sebagaimana dikehendaki oleh konstitusi yang berlaku,"
terang Bamsoet.
Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila dan Wakil Ketua Umum
FKPPI/Kepala Badan Bela Negara FKPPI ini menambahkan, sejak tahun 1971, periode
demi periode MPR dilahirkan lewat Pemilu. Secara kelembagaan bangsa Indonesia
telah memiliki lembaga yang patut, sebagaimana diperintahkan konstitusi. Tapi
itu bukan berarti lembaga tersebut telah sepenuhnya patut menurut ukuran-ukuran
demokrasi modern.
Selama 1971-1999, MPR cenderung menjadi bagian dari
kekuasaan yang terpusat di tangan presiden. Setelah reformasi politik yang
ditandai Pemilu 1999, bangsa Indonesia mulai memiliki lembaga perwakilan yang
berdaya, dengan MPR sebagai lembaga perwakilan dengan keanggotaan meliputi
seluruh Anggota DPR dan seluruh Anggota DPD, yang mulai hadir sejak tahun 2004,
di tahun yang sama saat kita mulai memilih presiden secara langsung.
"Pada masa depan, kita tidak tahu persis angin sejarah
akan membawa MPR ke bentuk peran dan kekuasaan seperti apa. Tapi saya berharap,
peran MPR di masa depan bisa kian kuat untuk mengawal perjalanan bangsa dan
negara ini ke arah yang lebih baik,” ucap Bamsoet.
Salah satunya, kata Bamsoet, dengan kembali mengembalikan
kewenangan Subjektif Superlatif MPR RI melalui hak-hak mengeluarkan
ketetapan-ketetapan atau Tap MPR RI sebagai pintu darurat manakala terjadi
kebuntuan konstitusi dan situasi kedaruratan yang luar biasa yang tidak bisa
diatasi dengan tindakan yang biasa serta memberikan kewenangan kembali kepada
MPR untuk merumuskan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) sebagai road map
pembangunan bangsa. (*/pur)
0 Comments