![]() |
Susi Ivvaty: bahasa daerah bercampur. (Foto: Istimewa) |
“Jika kedaerahan kita terkikis, kita akan menjadi manusia yang
lupa pada akar budaya,” ujar Bayu “Skak” Eko Moektito dalam bahasan webinar
berjudul “Penggunaan Bahasa Daerah dalam Film Indonesia,” yang digelar Festival Film Wartawan Indonesia
(FFWI), Selasa (15/8/2023).
Oleh lantaran itu, Bayu menolak kedaerahan, terutama bahasa
daerah, terpinggirkan, dan lenyap sebagai bagian dari kebudayaan Indonesia.
Selain Bayu, webinar kali ini menampilkan narasumber Susi Ivvaty, mantan wartawan harian Kompas,
peliput bidang seni dan film yang kini aktif di Tradisi Lisan dan
Lesbumi—Lembaga Seni dan Budaya di bawah naungan ormas Nahdatul Ulama (NU).
Webinar seri kedua FFWI yang diikuti 50 peserta aktif ini
dipandu Supriyanto, wartawan Tabloid Bintang Indonesia.com.
Dari webinar ini terungkap, adat dan budaya beragam yang
unik menjadi sumber cerita berbagai genre film, termasuk bahasa daerah.
Wacana mengangkat film berbahasa daerah tidak saja terkait
untuk kepentingan komersial, tetapi juga sebagai hiburan. Hal ini karena ada
istilah atau dialek daerah yang bisa memunculkan tawa penonton.
Lebih dari itu, penggunaan bahasa daerah dalam film
sekaligus satu cara untuk melestarikan
bahasa daerah yang kian teralineasii dalam cakap pergaulan generasi Z.
Bersedia Tak Diberi Honor
Bayu Skak menceritakan pengalamannya ketika menawarkan
cerita film berbahasa daerah Jawa. Bayu yang berasal dari Malang, Jawa Timur,
sampai bertaruh dengan produser Starvision Chand Parwez Servia.
![]() |
Bayu "Skak" Eko Moektito. (Foto: Istimewa) |
Pada kenyataannya film “Yo Wis Ben” yang digarapnya,
berhasil mengumpulkan penonton sampai sekitar 900 ribu. “Bukan cuma saya yang
ketagihan, produsernya pun memproduksi film ‘Yo Wis Ben 2’, ‘Yo Wis Ben 3’ dan ‘Yo
Wis Ben Finale’,” ungkap Bayu yang memulai karier sebagai Youtuber tersebut.
Bayu mengaku bangga
dan sangat percaya diri untuk memproduksi film berbahasa daerah. Ini bukan semata-mata karena “Yo Wes Ben” telah berhasil meraih
jumlah penonton sampai ratusan ribu.
Lebih dari itu, film berbahasa daerah
bisa ikut melestarikan penggunaan bahasa daerah.
“Saya bersyukur masih bisa berbahasa Jawa halus. Anak- anak
generasi Z sekarang ini berbahasa Jawa dicampur dengan bahasa Indonesia,” kata
Bayu.
Oleh karena itu, dia mengajak sineas dan para produser film
terus meningkatkan produksi film berbahasa daerah.
Bayu menegaskan dalam kosa kata bahasa daerah penonton juga menemukan idiom- idiom dan dialek
khas kedaerahan tertentu,
yang tidak ada di bahasa daerah lain. Makanya, Bayu bertekad akan terus mengembangkan film berbahasa
daerah seperti memakai bahasa Jawa Ngapak, bahasa Madura dan lain-lain.
Pelestarian Bahasa Daerah
Pengalaman Susi Ivvaty menemukan film memegang peranan
strategis dalam upaya pelestarian bahasa daerah.
Dia mencontohkan beberapa film seperti “Siti“ dan “Turah“
yang menggunakan bahasa daerah Jawa,
lalu ada film “Uang Panai “yang menggunakan bahasa Makasar –Bugis, dan film
“Yuni“, yang mengangkat cerita tradisi masyarakat Serang Banten.
Dalam film “Yuni” bahasa yang digunakan Jawa Serang. Jawa
yang bercampur dengan bahasa Sunda.
Orang Jawa dan Sunda yang tinggal di pesisir provinsi Banten, dalam percakapan sehari-
hari terbiasa menggunakan bahasa
masing-masing, tetapi uniknya mereka saling mengerti.
“Di sinilah kita
lihat bahasa itu menjadi keutamaan rasa, bahasa budaya dan dalam bahasa daerah
itu kuat sekali,” urai Susi.
Film, kata Susi,
perlu memanfaatkan bahasa daerah
jika cerita yang diangkat beratar belakang adat dan budaya suata daerah tertentu .
“Karena feelnya ada
di dalam bahasa itu,” jelasnya.
Susi memberi contoh, kalau film, “Uang Panai” tidak
menggunakan bahasa daerah, pasti terasa hambar dan tidak ada feelnya.”
Dia mengingatkan penggunaan
bahasa daerah sebuah cara menghindari
kepunahan bahasa.
Dalam bidang kebahasaan itu juga Susi merasa kehilangan
sosok Remy Silado, seniman yang mahir berbagai bahasa daerah dan bahasa asing.
Remy Silado yang wafat tahun lalu, bagi Susi pribadi yang mengingatkan
pentingnya merawat dan menggunakan bahasa daerah.
Berhasil Secar Komersial
Sementara itu, Edi
Suwardi, Kapokja Apresiasi dan Literasi Film mewakili Ahmad Mahendra, Direktur Perfilman, Musik dan Media,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi, dalam sambutan mengakui kini semakin banyak film
Indonesia yang menggunakan bahasa daerah.
Menurut dia, hal ini antara lain berkat upaya Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan yang menggalakkan penggunaan bahasa daerah di
berbagai media pandang dengar. Kementerian juga telah mendanai produksi film
yang menggunakan bahasa daerah.
Alasan lain meningkatnya penggunaan bahasa daerah dalam film
Indonesia, kata Edu, maraknya era digital. Sekarang jauh lebih mudah
memproduksi dan mendistribusikan film, dan hal ini menyebabkan pembuatan film
menjadi lebih beragam. Termasuk film-film yang menggunakan bahasa daerah.
Edi memberi contoh
yang sudah menggunakan bahasa daerah, antara lain, "Arisan! (The
Gathering)" (2003), yang menggunakan bahasa Jawa, “Filosofi Kopi
“(Filosofi Kopi) (2015) menggunakan bahasa Sunda, "Tarian Lengger
Maut" (2022) berbahasa Bali.
“Film-film berbahasa daerah ini, hebatnya sukses baik secara
kritik maupun komersial, dan membantu meningkatkan kesadaran akan penggunaan
bahasa daerah dalam film-film Indonesia. Karenanya ke depannya mungkin akan
lebih banyak lagi film Indonesia yang menggunakan bahasa daerah,” kata Edi. (*/rls)
0 Comments