![]() |
UUD 1945. (Foto: Istimewa) |
Soekarno memahami aspirasi politik umat Islam dan
mengakomodasi aspirasi tersebut sehingga menyatakan "Piagam Jakarta
menjiwai UUD 1945 dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi
tersebut". Tidak ada gejolak atas Dekrit tersebut dan kembali ke UUD 1945
dapat diterima dengan baik.
Kini UUD 1945 masih menjadi konstitusi negara, hanya setelah
reformasi tahun 1998 terhadap UUD 1945 ini dilakukan amandemen. Tercatat empat
kali amandemen yaitu pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002. Beberapa materi
pasal telah ditambah dan diubah antara lain MPR tidak menjadi lembaga
tertinggi, Presiden dipilih langsung rakyat, legislatif terdiri dari dua kamar
DPR dan DPD, serta adanya lembaga Mahkamah Konstitusi.
Setelah amandemen berulang tersebut aplikasi ketatanegaraan
yang awalnya diharapkan lebih demokratis dan tingkat kesejahteraan rakyat
meningkat ternyata tidak kesampaian. Bahkan pada rezim terakhir ini kedudukan
Presiden cenderung semakin otoriter, kontrol Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
lemah, korupsi tidak mengendur, serta pengelolaan negara seperti tanpa
"guidance". Konsekuensi dari eksekutif yang super kuat.
Ini semua tentu disebabkan oleh longgarnya kendali
Konstitusi. Bahkan interpretasi dan improvisasi eksekutif terhadap Konstitusi
semakin bebas dan dominan. Perbaikan di samping koreksi penyelenggara negara juga
menyangkut aturan dasar bernegara. Bukan obral amandemen tetapi kembali ke
filosofi "the founding fathers" dalam memaknai dan mengatur negara.
Kembali ke UUD 1945.
Tiga hal pokok yang harus dikembalikan, yaitu :
Pertama, kedaulatan di tangan rakyat dilakukan sepenuhnya
oleh MPR. MPR menjadi lembaga tertinggi kembali. MPR harus berdaya dan
berdaulat. Menyimpang jauh jika MPR sejajar Presiden.
Kedua, Presiden adalah mandataris MPR bertanggung jawab
kepada MPR. Kini Presiden yang dipilih rakyat menjadi "bertanggungjawab
kepada rakyat" yang pada prakteknya tidak bertanggungjawab kepada
siapa-siapa.
Ketiga, Presiden tidak memiliki panduan dan program kerja
yang diamanatkan rakyat. Membuat program dan kebijakan sendiri yang
semau-maunya. Garis Besar Haluan Negara (GBHN) harus dihidupkan kembali agar
ada tolok ukur dalam mengelola negara.
Bahwa ada hal lain yang kini menjadi substansi perbaikan isi
UUD 1945 sebagaimana dirumuskan amandemen UUD 1945, dapat dituangkan dalam
Ketetapan MPR. UUD 1945 dibersihkan kembali.
Jika rencana amandemen kelima yang diwacanakan akan memfokus
pada menghidupkan GBHN walau dengan nama lain, maka konsekuensinya GBHN yang
diamanatkan kepada Presiden itu harus dipertanggungjawabkan. Sewajarnya
pertanggungjawaban dilakukan kepada lembaga yang membuatnya yaitu MPR. Artinya
Presiden harus menjadi mandataris MPR kembali.
Perbaikan kehidupan berbangsa dan bernegara dimulai dari
aturan dasarnya. Kembali ke UUD 1945 sebagaimana dirumuskan oleh pendahulu
negara. Dekrit 5 Juli 1959 hanya mengingatkan. Mari Kembali Ke UUD 1945. (***)
Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
0 Comments