Habib Rizieq Shihab. (Foto: Istimewa) |
PENGADILAN Tindak Pidana Korupsi menghukum jaksa Pinangki
Sirna Malasari selama 10 tahun penjara. Namun, majelis hakim Pengadilan Tinggi
DKI Jakarta, 15 Juni 2021, mengurangi hukuman pidana Pinangki menjadi hanya 4
tahun penjara. Pinangki merupakan terpidana perkara pembuatan fatwa MA
terpidana kasus cessie Bank Bali, Djoko Tjandra.
Pinangki terbukti bersalah menerima uang dari Djoko Tjandra,
melakukan tindak pidana pencucian uang serta melakukan pemufakatan jahat.
Selain dihukum 10 tahun penjara, dia dikenai denda Rp 600 juta subsider 6 bulan
kurungan. Vonis tersebut lebih tinggi dari tuntutan jaksa penuntut umum (JPU),
empat tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider enam bulan kurungan.
Di kasus lain, Habib Rizieq Shihab divonis hukum penjara 4
tahun oleh Pengadilan Negeri Jakarta Timur, 24 Juni 2021. Habib Rizieq
dinyatakan bersalah menyebarkan berita bohong terkait hasil tes swab dalam
kasus Rumah Sakit (RS) Ummi, Bogor, hingga menimbulkan keonaran. Habib Rizieq
dalam video yang diunggah YouTube RS Ummi menyatakan dirinya sehat. Padahal,
menurut hakim, saat itu dia reaktif Covid -19 berdasarkan hasil tes swab
antigen.
Di mata masyarakat, dua vonis atas kasus itu membuktikan
adanya "pilih kasih" dalam upaya penegakan hukum. Tidak adil. Menurut
peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana, putusan hakim yang
memangkas hukuman jaksa Pinangki tersebut "benar-benar keterlaluan."
Kurnia menuturkan jaksa Pinangki seharusnya layak dihukum lebih berat.
Setidaknya dipenjara sampai 20 tahun bahkan seumur hidup, ujarnya.
Kejaksaan Agung (Kejagung) didesak untuk mengajukan kasasi
pada putusan majelis hakim Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta yang memangkas
hukuman pidana penjara Jaksa Pinangki. "Sesuai dengan kebiasaan di
kejaksaan maka kejaksaan harus mengajukan kasasi,” terang peneliti Pusat Kajian
Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Zaenur Rohman.
Sementara itu, pengacara HRS Aziz Yanuar, menyebut Habib
Rizieq memutuskan mengajukan banding daripada menerima putusan hakim. Aziz
menolak berkomentar lebih jauh. Ia mengaku kaget saat mendengar ada opsi
permintaan grasi ke presiden. Menurut Aziz, selama persidangan berlangsung, ia
tidak pernah mendengar adanya opsi grasi tersebut.
Pegiat sosial Aloysius Hartono menilai kasus HRS atas test
swab RS Ummi sangat dipaksakan dan "penuh kejanggalan sedari awal."
Kalau mau berbicara fair, ujarnya, tentu HRS harus bebas murni dalam kasus ini.
Itu pasti, lanjutnya, karena tidak ada kasus hukum di sini, tetapi "kasus
politik yang dibungkus dengan hukum" dari pihak-pihak yang merasa dendam
terhadap HRS.
Harus adil
Disebutkan dalam Al-Quran Surat An-Nisa ayat 58,
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu untuk menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaknya kamu
menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah sebaik-baik yang memberi
pengajaran kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
Tuntunan Islam menegaskan prinsip tidak pandang bulu.
Disebutkan dalam Al-Quran Surat An-Nisa ayat 135, “Wahai orang-orang yang
beriman, jadilah kamu para penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah,
walaupun terhadap dirimu sendiri atau terhadap kedua orang tua dan kaum
kerabatmu. Jika dia (yang terdakwa) kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu
kemaslahatan (untuk kebaikannya). Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu
karena ingin menyimpang dari kebenaran…"
Kita juga tidak boleh mengadili berdasarkan kebencian. Tidak
mengadili berdasarkan kebencian, ini juga perintah Allah dalam Al-Quran. Allah
SWT berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu para penegak
keadilan karena Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah
kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil.
Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah
kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.
(QS Al-Maidah: 8).
Jadi, berlaku adil, tidak pandang bulu, mengadili tanpa
kebencian, (dan tidak mengikuti hawa nafsu), adalah prinsip-prinsip penting
yang harus dipegang teguh oleh kalangan Muslim yang berprofesi sebagai penegak
keadilan, kata M. Khusnul Khuluq, S.Sy. M.H. dari Pengadilan Agama Kediri.
Menolak jadi hakim
Pada masa kekhalifahan Islam, hakim menjadi jabatan yang
bergengsi karena begitu pentingnya perannya dalam menyelesaikan perselisihan
dan menangani urusan umat Islam. Bahkan, orang yang menjabat sebagai hakim akan
mendapat kekebalan dan kebebasan dari otoritas politik saat itu.
Saat itu muncul istilah, "Tidak ada kehormatan di dunia
setelah kekhalifahan kecuali peradilan." Nabi Muhammad SAW pernah
bersabda, "Tidak ada orang yang lebih dekat dengan Allah SWT pada Hari
Kebangkitan kelak setelah raja terpilih dan nabi, kecuali pemimpin yang
adil."
Para ahli fiqih, yang termasuk orang-orang beriman dan
berilmu, sering menolak jabatan hakim. Imam Abu Hanifah, misalnya. Beliau
menolak saat diminta untuk mengambil alih peradilan. Akibatnya, sang imam harus
menerima hukuman 10 X cambuk setiap hari selama berhari-hari. Sangat berbeda
dengan orang-orang zaman now, yang berlomba-lomba untuk menjadi hakim. (***)
Penulis adalah pemerhati social dan kebangsaan.
0 Comments