![]() |
Setelah diumumkan pembubaran FPI aparat pun menurunkan spanduk FPI. (Foto: Istimewa/Kumparan) |
PEMERINTAH menetapkan Front Pembela Islam (FPI) sebagai
organisasi terlarang. Keputusan tersebut tertuang dalam Surat Keputusan Bersama
6 Pejabat Tertinggi di K/L yakni Mendagri, Menkumham, Menkominfo, Jaksa Agung,
Kapolri, dan Kepala BNPT. Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif
Hiariej, pada Rabu (30/12/2020) membacakan 7 poin larangan pemerintah untuk
FPI.
Pertama, menyatakan FPI adalah organisasi yang tidak
terdaftar sebagai diatur dalam peraturan undang-undang secara de jure telah
bubar sebagai ormas.
Kedua, FPI sebagai organisasi de Jure telah bubar, pada
kenyataanya masih terus melakukan kegiatan yang mengganggu ketentraman
ketertiban umum.
Ketiga, melarang kegiatan dan simbol FPI dalam wilayah NKRI
(Negara Kesatuan Republik Indonesia).
Keempat, Jika terjadi pelanggaran sesuai yang dijabarkan dalam diktum di atas, maka aparat penegak hukum akan langsung menghentikan kegiatan FPI.
Kelima, meminta masyarakat:
a, tidak terpengaruh dalam kegiatan dan penggunaan simbol
FPI.
b. melapor ke aparat penegak hukum setiap kegiatan dan
penggunaan atribut FPI.
Keenam, kementerian lembaga yang menandatangani surat
keputusan bersama ini, agar melakukan koordinasi, dan mengambil langkah
penegakkan hukum sesuai peraturan UU (Undang-Undang).
Ketujuh, keputusan bersama tersebut berlaku pada tanggal 30
Desember 2020.
Bantahan Hukum Atas Pengumuman Pemerintah Membubarkan FPI.
Pertama, menyatakan FPI adalah organisasi yang tidak
terdaftar sebagai diatur dalam peraturan undang-undang secara de jure telah
bubar sebagai ormas adalah argumentasi yang sangat menggelikan. Mengingat, di dalam
UU Ormas (UU No. 17 Tahun 2013 yang diubah dengan UU No 16 tahun 2017 tentang
Penetapan Perppu No. 2 tahun 2017 menjadi UU) tak ada satu pun kewajiban hukum
untuk terdaftar atau berbadan hukum.
Bahkan, secara eksplisit berdasarkan ketentuan pasal 10 UU
Ormas, Ormas dapat berbadan hukum juga boleh tak berbadan hukum. Ormas tak
berbadan hukum boleh terdaftar dan boleh tidak terdaftar.
Pasal 9: Ormas didirikan oleh 3 (tiga) orang warga negara
Indonesia atau lebih, kecuali Ormas yang berbadan hukum yayasan.
Pasal 10: (1) Ormas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dapat
berbentuk:
a. badan hukum; atau
b. tidak berbadan hukum.
Hal mana sejalan dengan konstitusi khususnya pasal Pasal 28E
ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”) yang menyatakan :
"Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat,
berkumpul, dan mengeluarkan pendapat."
Ormas yang tidak terdaftar, bukan berarti terlarang. Hal
mana sejalan dengan pertimbangan putusan MK Nomor: 82 PUU-IX/2013, terhadap
tafsir pasal 10 UU Ormas, mengenai Ormas tidak terdaftar, MK menegaskan bahwa:
"Suatu Ormas dapat mendaftarkan diri di setiap tingkat
instansi pemerintah yang berwenang untuk itu. Sebaliknya berdasarkan prinsip
kebebasan berkumpul dan berserikat, suatu Ormas yang tidak mendaftarkan diri
pada instansi Pemerintah yang berwenang tidak mendapat pelayanan dari
pemerintah (negara), tetapi negara tidak dapat menetapkan Ormas tersebut
sebagai Ormas terlarang atau negara juga tidak dapat melarang kegiatan Ormas
tersebut sepanjang tidak melakukan kegiatan yang mengganggu keamanan,
ketertiban umum atau melakukan pelanggaran hukum".
Kedua, meskipun, de jure FPI tidak memiliki SKT karena tidak
mendapatkan perpanjangan SKT dari Kemendagri, bukan berarti FPI bubar. FPI
tetap sah, legal dan konstitusional menjalankan hak konstitusi berupa kebebasan
berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat sebagai Ormas tidak terdaftar.
Melarang kegiatan FPI hanya dengan dalih tidak memiliki SKT,
jelas bertentangan dengan pasal 10 UU Ormas (UU No. 17 Tahun 2013 yang diubah
dengan UU No. 16 tahun 2017 tentang Penetapan Perppu No 2 tahun 2017 menjadi
UU), bertentangan dengan pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, dan
bertentangan dengan isi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 82 PUU-IX/2013.
Ketiga, pengumuman pelarangan berdasarkan Surat Surat
Keputusan Bersama 6 Pejabat Tertinggi di K/L yakni Mendagri, Menkumham,
Menkominfo, Jaksa Agung, Kapolri, dan Kepala BNPT tidak berdasar menurut hukum.
Karena, produk keputusan ini tidak didasarkan pada sumber hukum yang diatur
dalam hierarki perundangan.
Dalam Hierarki atau tata urutan peraturan undang-undang di
Indonesia merujuk pada Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan perubahannya yang terdiri
atas:
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
3. Undang-Undang / Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang;
4. Peraturan Pemerintah;
5. Peraturan Presiden;
6. Peraturan Daerah Provinsi; dan
7. Peraturan Daerah Kabupaten / Kota.
Semestinya, jika itu pengumuman atau penetapan pelarangan
organisasi tertentu karena dianggap bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, wajib diumumkan melalui Ketetapan MPR. Hal
mana, pernah terjadi dan dilakukan oleh pemerintah saat mengumumkan pelarangan
PKI dan ideologi Marxisme, Leninisme dan Komunisme berdasarkan TAP MPRS No.
XXV/MPRS/1966.
Keempat, karena dasar pengumuman pelarangan FPI tidak sah
dan inkonstitusional maka seluruh tindakan yang diambil Pemerintah via aparat
penegak hukum tidak sah, ilegal dan inkonstitusional. Tindakan ini jika tetap
dilakukan, menunjukkan negara sedang mempraktikkan kesewenang-wenangan (abuse
of power) dan praktik kejumawaan dan melanggar hukum.
Kelima, himbauan agar tidak terpengaruh dalam kegiatan
dan penggunaan simbol FPI juga agar melapor ke aparat penegak hukum setiap
kegiatan dan penggunaan atribut FPI, adalah tindakan alienasi dan isolasi
politik terhadap FPI. Dalam hal ini Umat wajib memandang jernih persoalan,
tidak serta-merta menjauhi FPI karena FPI adalah ormas Islam. Sesama umat Islam
bersaudara dan wajib menolong saudaranya yang sedang mendapat kezaliman rezim
yang secara sewenang-wenang mengumumkan pelarangan tanpa mengindahkan proses
dan prosedur hukum.
Selanjutnya kepada Ikhwan di FPI kita doakan semoga tetap
bersabar dan Istiqomah dalam dakwah, serta tidak terpancing melakukan gerakan
dan/atau tindakan yang melanggar hukum. Kekuasaan yang dijalankan secara
sewenang-wenang memang harus dihentikan, namun sebagai warganegara yang baik,
FPI dan segenap umat Islam wajib bertindak sesuai prosedur hukum dan
menunjukkan kepada Pemerintah bahwa meskipun FPI dizholimi tapi FPI tidak
menempuh cara-cara yang melanggar hukum, sebagaimana dipraktikkan oleh Pemerintah.
(***)
Penulis adalah Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pelita
Umat, Advokat dan Aktivis Muslim.
0 Comments