Gan Gan R.A. (Foto: Istimewa/koleksi pribadi) |
Oleh Gan-Gan R.A*
KEKERASAN verbal tidak dimulai dengan diksi. Jika diksi
berpotensi pidana dan menjadi indikator terpenuhinya suatu perbuatan tindak
pidana dalam pengucapan komunikasi antar relasi manusia, betapa mengerikannya
tatanan peradaban manusia modern yang hidup di bawah rezim teks yuridis.
Penemuan hukum salah satunya digali berdasarkan
interpretasi gramatikal atas konstruksi teks yuridis, dipahami secara utuh dan
bukan berdasarkan diksi yang diucapkan subjek hukum. Pengertian, makna dan
situasional serta karakteristik pilihan kata yang diucapkan dalam diksi
pergaulan masyarakat yang hidup di bawah
paradigma Revolusi 4.0 mengalami pergeseran definisi kata yang diucapkan dan
hal tersebut cukup signifikan.
Di situ, kata mengalami semacam proses bertumbuh yang
menelanjangi hipokritme
birokrasi tata bahasa.
Pengucapan diksi bukan saja diartikulasikan pada konteks
ruang pergaulan dan indentitas kultural yang cenderung populis, tetapi juga
dipengaruhi oleh interaksi perbendaharaan kata di luar kamus baku yang
diciptakan oleh daya kreativitas kaum milenial.
Saya teringat ucapan penyair Kahlil Gibran, Sang Nabi
dari Lebanon: "Pada mulanya adalah
kata dan kata bersama Tuhan."
Bahasa jika dihadapakan pada filsafat postmodernisme akan
mengalami dekonstruksi. Digugat dan dimaknai kembali. Dan pikiran manusia abad
digital yang meruntuhkan tatanan konvensional akan lebih banyak lagi dihadapkan
pada kekacauan bahasa di luar kata yang disepakati kamus, dan retorika
sertajargon politik penyelenggara negara yang mengenakam jubah kepalsuan.
Seorang aktivis kemanusiaan harus memiliki pengetahuan di
luar konsensus bahasa normatif yang dibelenggu rezim teks yuridis.
Gading Serpong, 01 September 2020. (***)
Penulis seorang praktisi hukum, pencinta kopi dan puisi.
0 Comments