![]() |
Auliya Khasanofa saat memandu Webinar. (Foto: Istimewa) |
NET - “Jadi kalau kita coba petakan sebenarnya urusan Pempus
dan Pemda dalam konteks PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar-red) agak
tumpang tindih, dan ini menimbulkan persoalan di tingkat daerah,” ujar Ketua
Umum Mahutama Prof Dr Aidul Fitriciada Azhari SH MHum.
Aidul Fitriciada menjelaskan dalam PP No 21 Tahun 2020
tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam Rangka Percepatan
Penanganan Covid-19 dengan tegas disebutkan, bahwa menteri sebagai pemegang
urusan pemerintahan bidang kesehatan dapat memberikan izin kepada Pemda.
Sementara Keppres No 12 Tahun 2002 Penetapan Bencana Non-alam Penyebaran
Covid-19 justru tidak mengacu pada UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan
Kesehatan.
Bukan cuma itu, kata Aidul, ditambah lagi fakta bahwa ada
sikap partisan, dimana dapat dilihat sejak awal ditemukan fenomena wabah di
Wuhan muncul sikap partisan yang melahirkan ketegangan antara Pemerintah
Pusat dan Pemda.
Ketika negara lain mulai memberlakukan lockdown untuk
mencegah penyebaran virus korona, Presiden dan sejumlah menterinya justru akan
menggalakkan sektor pariwisata. “Pemerintah pada awalnya cenderung meremehkan.
Sikap pemerintah yang cenderung meremehkan tersebut berakibat pada
keterlambatan kita mengantisipasi wabah pandemi corona yang hingga saat ini
terus mengalami peningkatan,” ujar Zainuddin Malik selaku Anggota Komisi X DPR
RI.
Hal itu terungkap dalam Web Seminar yang diselenggarakan
oleh Masyarakat Hukum Tata Negara Muhammadiyah (Mahutama) dengan mengangkat
tema “Kewenangan Daerah dalam Menghadapi Pandemi Covid-19,” pada Sabtu
(9/5/2020).
Kegiatan ini diawali pengantar oleh Ketua Umum Mahutama
Aidul Fitriciada Azhari dan dipandu Sekjen Mahutama Auliya Khasanofa yang juga
Akademisi Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah (FH UM) Tangerang.
Adapun pembicara yang ditampilkan, di antaranya Prof Dr
Zainuddin Mliki (anggota DPR RI), Dr Indah Kusuma Dewi SH MH (Dekan FH UM
Buton), Dr King Faisal Sulaiman SH LLM (pakar HTN FH UMY Yogyakarta, Dr Wendra
Yunaldi (Direktur Lembaga Kajian Hukum dan Korupsi FH UMSB).
Dalam prolognya, moderator webinar Auliya Khasanofa
mengatakan acara hari ini merupakan webinar yang kedua kalinya diselenggarakan
oleh Mahutama sepanjang pandemi Copid-19
melanda Indonesia, sebelumnya telah mengadakan webinar dengan tema “Menggugat
Perppu Covid-19” pada Sabtu, 11 April 2020.
“Webinar hari ini kita mengangkat isu yang sangat aktual
aktual terkait adanya indikasi gesekan antara pemerintah pusat dengan
pemerintah daerah terkait penanganan pandemi Covid-19,” ujar Auliya.
Prof Dr Aidul Fitriciada dalam sambutannya menjelaskan
Indonesia adalah negara kesatuan (unitaris), dimana prinsip utamanya adalah di
konsentrasi. Meskipun pada pasal 18 ayat (5) UUD 46 dijelaskan bahwa Negara
disusun atas dasar desentralisasi.
“Secara konseptual kita melihat ada ketegangan normatif,”
ujarnya.
Bila dicermati, kata Aidul, dalam UU No 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah diketahui bahwa kewenangan Pempus dan Pemda itu
berdasarkan “urusan”, yakni urusan absolut, urusan wajib dan urusan pilihan.
“Sebenarnya model-model seperti ini lebih banyak ditemukan
di negara yang menganut paham federalisme ketimbang unitarisme,” jelasnya.
Terlepas dari itu, kata Fitria, salah satu yang menjadi
urusan wajib Pemda itu adalah urusan kesehatan dan saat ini Indonesia sedang
menghadapi pandemi berkaitan dengan kesehatan. Kalau dilihat dalam UU No 6
Tahun 2018 tentang Kekarantinaan
Kesehatan, maka situasi Indonesia saat ini sudah termasuk kedaruratan, yang
kemudian diwujudkan lewat kebijakan PSBB.
Akan tetapi, kata Aidul, yang menjadi persoalan kemudian
adalah, kalau kedaruratan itu kewenangan pada Pempus, sementara Pemda cuma
mengurus persoalan konkuren yang terkait persoalan pelayanaan dasar, termasuk
di dalamnya persoalan sosial dan kesehatan.
Sementara itu, Dr Indah Kusuma Dewi mengatakan terkait
kewenangan daerah berdasarkan Pasal 18 ayat (2) dan (5) UUD NRI Tahun 1945
tentang prinsip otonomi seluas-luasnya, maka Pemerintah Daerah dapat mengambil
kewenangan terhadap urusan selain urusan
pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.
Pembatasan Sosial Bersekala Besar (PSBB) yang dijadikan
pemerintah sebagai pilihan kebijakan untuk mengatasi Pandemi Covid-19 sarat
dengan anomali, tegas King Faisal
Kaidah hukum darurat meniscayakan tiga konsep penting, yaitu
pertama sudden emergency doctrine, kedua medical treatment, dan ketiga adalah
emergency expectation. “Dari tiga poin tersebut ada hal penting didapat adalah
dibutuhkannya kepastian hukum dan jaminan perlindungan hukum bagi masyarakat
atas terjadinya keadaan darurat dalam satu wilayah negara serta kepastian
penanganannya,” ujar Wendra.
Webinar kedua yang diselenggarakan Mahutama kembali sukses
disaksikan lebih dari 500 orang melalui zoom meeting dan YouTube live streaming.
Hadir Guru Besar Hukum, Pimpinan PTN dan PTS, Forum Dekan FH Perguruan Tinggi
Muhammadiyah, perwakilan lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, berbagai
organisasi profesi seperti APPTHI, APHTN-HAN, Kolegium Jurist Institute,
Apologia dan mahasiswa S-1, S-2 dan S-3 Se Indonesia serta para jurnalis.
(*/pur)
0 Comments