Berita Terkini

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Refleksi Dinamika Ketatanegaraan Indonesia 2019

Prof. Dr. KH Din Syamsuddin di 
antara perserta diskusi Mahutama.
(Foto: Istimewa) 



NET - Muhammadiyah memiliki peran besar dalam ketatanegaraan di Indonesia. Pembahasan Pancasila yang kemudian menjadi salah satu keputusan Muktamar di Makassar dan menjadi buku Pancasila sebagai dar al’ahdi dar as syahadah termasuk kajian mengenai revitalisasi visi dan karakter bangsa.

Hal itu terungkap dalam diskusi Masyarakat Hukum Tata Negara Muhammadiyah (Mahutama) di Aula Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah Jakarta, Kamis (19/12/2019). Hadir dalam diskusi tersebut Prof. Dr. KH. M. Din Syamsuddin Ketua Dewan Pertimbangan MUI Pusat sebagai Keynote Speaker. Din mendorong Mhahutama menguatkan basis keilmuan dan menemukan sistem ketatanegaraan terbaik untuk Indonesia yang berkemajuan.

Anggota DPR RI Prof Zainudin Maliki menyambut baik kehadiran Maautama  dengan mengajak bekerjasama dalam kerja DPR khususnya di Badan Legislasi. Selanjutnya Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta Prof. Dr. Syaiful Bakhri dalam sambutannya mendukung penuh kegiatan Mahutama untuk penguatan sistem ketatanegaraan Indonesia.

Prof. Dr. Aidul Fitriciada Azhari, Ketua Umum Mahutama menjelaskan kehadiran Mahutama yang di dalamnya ada guru besar, doctor, dan ahli hukum tata negara melanjutkan perjuangan tokoh hukum tata negara Muhamamdiyah terdahulu seperti Kasman Singodimejo, Ki Bagus Hadikusomo, Abdul Kahar Muzakir, Ismail Sunny, Sri Soemantri dan banyak lagi.

Selama setahun ini, kata Maliki,  Mahutama memberikan khazanah dalam memajukan hukum tata negara Indonesia, kajian rutin bekerjasama sama dengan MPR mengenai reformulasi GBHN, pembahasan Omnibus Law dan belum lama beraudiensi dengan Menko Polhukam terkait pemahaman Pancasila, moderasi, dan penguatan masyarakat dan terus-menerus melakukan gerakan keilmuan bersama sesama anak bangsa untuk menghindari oligarki politik.

Prof. Dr. Zaenal Arifin Hoessein, mantan Panitera MK RI dalam refleksinya menyoroti tentang penataan lembaga negara salah satunya mengenai penguatan MPR RI salah satunya untuk menafsirkan UUD NRI Tahun 1945.

Sedangkan Dr. Wendra Yunaldi Direktur Lembaga Kajian Hukum dan Korupsi FH Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat menekankan pada pemurnian pemahaman tentang Pancasila, seharusnya tidak ada kelompok yang mengklaim paling Pancasilais. Pemahaman tentang bernegara harus melihat the founding father yang penuh kerelaan memperjuangkan yang terbaik untuk Indonesia yang sekarang dunia politik mulai mengarah kepada kekuatan cukong yang membahayakan bagi demokrasi dan mengakibatkan munculnya korupsi.

Dr. Ibnu Sina Chandranegara Wakil Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta mengamati kekuasaan kehakiman yang seharusnya mengedepankan akuntabilitas sehingga tidak terjadi permasalahan yang berulang.

Perwakilan dari Sulawesi Tenggara Dr. Indah Dewi Kusuma Dekan FH Universitas Muhammadiyah Buton fokus kepada permasalahan otonomi daerah yang masih belum berpihak kepada masyarakat dalam pengaturannya dalam UU. Kewenangan daerah terutama di Kabupaten tidak bisa dilaksanakan karena ada kekuatan kewenangan yang ada di Provinsi dalam pengelolaan sumber daya alam.

Auliya Khasanofa selaku Sekretaris Jenderal Mahutama sekaligus Wakil Dekan FH Universitas Muhamamdiyah Tangerang yang memandu diskusi menyampaikan selama tahun 2019 terjadi pergulatan ketatanegaraan yang penting bagi kehidupan berbangsa dan bernegara salah satunya pelaksanaan sistem pemilu serentak lima kotak yang perlu dievaluasi bersama karena mengeluarkan dana yang besar dan terdapat korban jiwa dalam penyelenggaraannya.

Amandemen terbatas yang menguat di MPR RI, kata Auliya,  memerlukan kajian yang komperehensif, Mahutama siap melakukan kajian dan menguatkan penyampaian dari Pimpinan Pusat Muhammadiyah sebagai penguatan Garis-garis Haluan Negera (GBHN) dan menghadirkan kembali Utusan Golongan. (*/pur)

Post a Comment

0 Comments