![]() |
Jumhur Hidayat (baju batik). (Foto:Dade Fachri/TangerangNet.Com) |
NET - Sidang lanjutan gugatan perdata Alia Febyani, istri
mantan Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia
(BNP2TKI) Jumhur Hidayat, melawan PT Elite Prima Hutama (EPH/Pakuwon Group)
ditunda, Selasa (5/11). Sidang ditunda guna memberi kesempatan hakim membaca
dan memeriksa untuk memberikan putusan sela.
Sedianya, sidang agenda hari ini penggugat memberikan bukti
permulaan untuk meyakinkan hakim gugatan yang diajukan penggugat melalui
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sudah tepat sesuai ketentuan undang-undang
perlindungan konsumen. Rencananya, sidang pembacaan putusan sela akan kembali
digelar pada19 November 2019.
Suami penggugat, Jumhur Hidayat berharap majelis hakim
memutus perkara gugatan perbuatan melawan hukum (PMH) ini seadil-adilnya.
"Saya merasa hak saya yang dijamin dalam Undang-Undang Perlindungan
Konsumen ini telah dilanggar. Karena itu, saya ke sini bersama istri, menuntut
keadilan dan meminta kepada hakim memutus dengan seadil-adilnya," ujar
Jumhur, saat usai sidang.
Alia menggugat PT EPH karena Alia merasa dirugikan hingga
saat ini belum dilaksanakan penandatangan Akta Jual Beli (AJB) dua unit
Apartemen Casa Grande Residence, Casablanca, Menteng, Jakarta Selatan, sehingga
tidak ada kepastian kapan mendapatkan Sertifikat Hak Milik atas Satuan Rumah
Susun (SHMSRS) atas unit apartemen yang dibeli sejak 2012 itu. Padahal,
pengembang berjanji memberikan sertifikat itu 36 bulan setelah serah-terima
unit.
Kondisi ini diakui istri aktivis senior itu merugikannya,
karena sewaktu salah satu unit dijual, ia tak mendapat keuntungan, tapi justru
sebaliknya. Ia merugi hingga Rp. 1.095.000.000, kala menjual apartemen tanpa
AJB dan SHMSRS. Padahal sewaktu ditawarkan pengembang, ia mengaku dijanjikan
bakal mendapat keuntungan dari investasi dengan membeli unit apartemen itu.
Jumhur curiga, tanah yang menjadi lahan apartemen digadaikan
untuk kepentingan bisnis pengembang. Akibatnya, hingga hampir delapan tahun
sertifikat hak milik apartemen tersebut, tak kunjung dimiliki.
"Jangan-jangan ini juga sama, tanah itu digadaikan untuk kepentingan
bisnis developer itu. Konsumen sendiri tidak berdaya karena tak memiliki alat
yang sah secara hukum kepemilikan properti," ujarnya.
Jumhur yakin persoalan ini bukan hanya ia dan istri yang
mengalami, tapi juga konsumen lainnya. Bedanya, pihaknya berani bersuara ke
publik hingga mengambil langkah hukum.
"Sejauh ini tidak ada itikad baik dari pihak mereka.
Katanya sih sudah pernah menghadapi orang seperti saya, mereka katanya
berhasil. Saya sih tidak apa-apa. Saya merasa dirugikan, dan biar orang
tahu," ungkap Jumhur.
"Kalau kami kalah, ada berapa puluh ribu konsumen, pada
developer lain juga, yang berpotensi mengalami seperti ini, tidak ada kepastian
dalam kepemilikan properti. Dan ini langkah ugal-ugalan developer, dalam hal
ini Pakuwon Group. Ini melanggar Undang-Undang Perlindungan Konsumen,"
tambah Jumhur.
Sementara itu, Pengacara Alia, Agus Rihat P. Manalu,
mengatakan tak menutup kemungkinan pihaknya membawa perkara ini ke ranah
pidana. Sebab ada sejumlah tindakan PT EPH yang diduga melanggar hukum pidana,
seperti dugaan ketidakjujuran pengembang saat mempromosikan atau menjual
produknya.
"Ke depan tidak menutup kemungkinan setelah ini akan
kita laporkan ke kepolisian. Karena ada satu perbuatan yang dilanggar. Sebagai
pelaku usaha, itu wajib memberikan informasi yang sejelas-jelasnya kepada
konsumen. Kedua, pelaku usaha dilarang menjual produk atau jasa yang tidak
sesuai dengan promosinya, dan ini terjadi," kata Agus.
Bayangkan investasi Rp 3 miliar lebih, dijual Rp 2 miliar
dalam waktu 8 tahun. Apakah ini menguntungkan?. "Jelas-jelas ini sangat
merugikan," ujar Agus. (dade)
0 Comments