Berita Terkini

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Rampingkan Regulasi Investasi, Seru Didiskusikan Mahutama

Auliya Kasanova saat memandu diskusi. 
(Foto: Istimewa) 


NET  - Masyarakat Hukum Tata Negara Muhammadiyah (Mahutama) menggelar diskusi media bertajuk “Omnibus law, Untuk Apa dan Siapa?”. Diskusi  digelar di Gedung Dakwah Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Jalan Menteng Raya, Jakarta. Beberapa tokoh nasional dihadirkan khusus untuk menjawab dialektika kenegaraan terkait dengan isu ketatanegaraan yang satu ini.

“Diskusinya Senin kemarin berlangsung seru dan menarik membahas tentang Omnibus law,”  ujar Sekretaris Jendral Mahutama  Auliya Khasanofa kepada TangerangNet.Com, Selasa (26/11/2019).

Hadir Dr. Ahmad Redi Selaku Tim Perumus Omnibus Law sekaligus direktur eksekutif Kolegium Jurit Institute, Prof.  Aidul Fitriciada selaku komisioner  Komisi Yudisial (KY) dan Ketua Umum Mahutama. Mantan Panitera Mahkamah Konstitusi Prof. Zaenal Arifin Hoesein yang juga Guru Besar Universitas Muhammadiyah Jakarta, serta ahli Hukum Tatanegara, Dr. M. Ilham Hermawan.

Diskusi ini dipandu oleh Sekretaris Jendral Mahutama dan Akademisi FH Universitas Muhammadiyah Tangerang (UMT) Auliya Khasanofa yang menyampaikan pada awal diskusi bahwa belakangan ini, Omnibus Law menjadi terminologi yang banyak dibicarakan, terutama pasca Presiden Joko Widodo menyinggung akan membuat sebuah konsep hukum perundang-undangan yang disebut Omnibus Law, dalam pidato pertamanya setelah dilantik sebagai Presiden RI 2019-2024, Minggu (20/10/2019).

Dalam paparannya, Ahmad Redi menjelaskan jika tujuan pembentukan omnibus law ialah semata-mata untuk merampingkan regulasi khususnya yang terkait dalam hal investasi sesuai arahan Presiden Joko Widodo.

“Omnibus Law yang hendak buat sejatinya bertujuan untuk memangkas perijinan yang ditengarai bisa menghambat investasi. Banyak investor tidak mau datang ke Indonesia karena adanya tumpang tindih regulasi. Kedepan Omnibus law ini akan memangkas hampir 74 undang-undang yang dirasakan mengganggu iklim investasi di Indonesia,” tutur Redi.

Sejalan dengan hal itu, Ketua Mahutama Prof. Aidul Fitriciada Azhari berujar jika pemberlakuan Omnibus Law juga harus disesuaikan dengan bentuk negara dan sistem ketatanegaraa Indonesia.

Aidul mengatakan, “Pemberlakuan Omnibus Law ini pada dasarnya mengandung prinsip Dekosentrasi sebagai ciri khas Negara Kesatuan Republik Indonesia. Agar jalannya Omnibus Law ini dapat berjalan efektif, maka tidak ada salahnya jika Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan menarik kewenangan pada level daerah ke tingkat pusat. Namun patut disadari, jika omnibus diterapkan dalam sistem otonomi daerah yang bercorak federal seperti sekarang ini akan sangat sulit implementasinya”.

Pada aspek lainnya, Prof. Zainal menyoroti jika seharusnya Omnibus Law ini tidak hanya diberlakukan pada regulasi yang berkait dengan investasi semata. Banyak sekali regulasi-regulasi di Indonesia yang memang ternyata tumpang tindih. Sebagai contoh dalam kekuasaan yudikatif saja, antara UU Kekuasaan Kehakiman, UU Mahkamah Konstitusi, UU Peradilan Umum, UU Mahkamah Agung, di dalamnya berisi pasal-pasal yang ternyata bersifat tumpang tindih antara satu undang-undang dengan undang-undang lainnya.

Meskipun demikian, regulasi terkait omnibus law ini juga jangan sampai dipahami secara kurang tepat dalam pelaksanaannya. Jangan sampai terjadi kegamangan dalam pelaksanannya. Narasi kegamangan ini dilontarkan oleh M. Ilham Hermawan yang tidak ingin hanya karena atas nama investasi, tetapi ada hak-hak rakyat yang tercerabut.

Ilham Menjelaskan, “jika pada prinsipnya omnibus hanya menyasar masalah perizinan maka saya setuju akan hal itu”. Ilham mencontohkan pada sektor Perumahan, bahwa jangan sampai hal-hal terkait harus adanya Keterbangunan 20 persen rumah susun baru dapat dijual, penentuan hak suara anggota dalam penentuan pengurus berdasarkan satu orang satu suara hanya karena menurut pelaku pembangunan dianggap menghambat investasi, menjadi hal yang turut disasan dalam omnibus law yang pada akhirnya ketentuan tersebut dihapus.

“Ketentuan tersebut jelas tidak berkaitan dengan perizinan, melainkan bentuk perlindungan hukum bagi masyarakat khususnya konsumen, “ ujar Ilham.

Diskusi media tersebut kemudian ditutup oleh Auliya Khasanofa yang menegaskan Diskusi Media Masyarakat Hukum Tata Negara Muhammadiyah (Mahutama) kali ini menghadirkan dinamika pemikiran hukum dan perspektif kritis untuk menghindari omnibus law dari penyalahgunaan kekuasan demi kesejahteraan rakyat dan merah putih yang berkemajuan. (*/pur)

Post a Comment

0 Comments