![]() |
Ilustrasi ketika rakyat korban mafia tanah berunjuk rasa perjuangkan nasibnya. (Foto: Bambang TL/TangerangNet.com) |
NET- Korban perampasan tanah akan memberikan kesaksian kasus
yang menimpa mereka kepada Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan
(Menkopolhukam) Mahfud MD. Mereka berharap Mahfud MD bukan hanya sekadar
membuka cerita duka korban perampasan tanah tapi juga mengembalikan hak para
korban dan menindak dan menyikat aparat pemerintah/penegak hukum yang justru
jadi backing mafia tanah.
Harapan tersebut disampaikan Sekjen FKMTI (Forum Korban
Mafia Tanah Indonesia) Agus Muldya menyusul pernyataan Menkopolhukam Mahfud Md
soal perilaku koruptif di antara petugas hukum dalam menyelesaikan kasus
perampasan tanah pada acara Rakornas Pemerintah Pusat dan Forkopimda di Sentul
International Convention Center, Jawa Barat, Rabu (13/11/2019).
Dalam acara tersebut Mahfud berujar, dia dan Presiden Jokowi
sering bercerita tentang perilaku korup aparat hukum. Contohnya banyak kasus
yang sudah jelas kesalahannya namun penegakan hukum tidak berjalan karena ada
yang memblokir.
"Blokirnya kolutif lagi. Ini bermain dengan ini, ini
bermain dengan ini," ujarnya.
Mahfud mencontohkan banyak kasus pemilik tanah yang mengadu
tidak pernah menjual asetnya namun tiba-tiba kepemilikannya beralih ke
pengembang. Padahal, warga pemilik tanah ini rutin membayar pajak dan memiliki bukti
kepemilikan yang sah.
Namun, kata Mahfud, saat melapor ke kepolisian dia justru
ditolak dan dituduh merampas tanah tersebut. "Kasus ini ada juga di
Jakarta itu. Saya bawa itu ke Ketua MA (Mahkamah Agung-red), waktu itu saya
Ketua MK (Mahkamah Konstitusi-red) masih punya pengaruh, saya bilang, 'Pak ini
ada orang Betawi tanahnya dirampas pengembang, ketika dia lapor polisi tanahnya
malah diproses pengadilan masuk penjara. Dan di MA akhirnya bebas tapi enggak
tahu nasib tanahnya sekarang," ungkapnya
Cerita yang diungkap Mahfud, menurut Agus Muldya hanya
sebagian kecil kisah korban perampasan tanah. Banyak korban perampasan tanah
lainnya di berbagai daerah dibuat tak berdaya oleh mafia tanah. Agus
mencontohkan, laporan kasus perampasan tanah sering di-SP3 (Surat Penghentian
Penyeleidikan Perkara) oleh pihak kepolisian. Padahal mereka melampirkan bukti
bukti perampasan yang cukup kuat. Hal ini bisa terjadi karena ada para perampas
tanah bersengkongkol dengan oknum pejabat pemerintah daerah, penegak hukum, dan
oknum BPN (Badan Pertanahan Nasional).
Contohnya, saat warga melaporkan tanahnya yang tidak pernah
dijual tetapi terbit SHGB, pihak BPN Kabupaten Tangerang saat itu menyarankan
agar pelapor untuk menggugat ke pengadilan atau melaporkan kasusnya kepada kepolisian.
Padahal yang menerbitkan SHGB (Sertifikat Hak Guna Bangunan) di atas tanah
korban adalah pihak BPN Kabupaten Tangerang itu sendiri. Jadi, saat korban
melaporkan kasus perampasan, polisi akan berdalih pihak yang dilaporkan sudah
mempunyai SHGB yang diterbitkan BPN. Hal yang sama juga akan dilakukan pihak
pengadilan.
"Laporan warga akan di SP3 atau kalah di pengadilan
karena mereka berpegang pada SHGB yang diterbitkan BPN. Di sinilah mafia
bermain. Oknum BPN akan jadi saksi di pengadilan. Padahal mereka sendiri yang
menerbitkan sertifikat tanpa melakukan penelitian dengan cermat soal warkah
tanahnya sehingga cacat administrasi," ungkapnya kepada Media
TangerangNET.com, Rabu (13/11/2019)
Agus menambahkan jika warga ingin mengetahui warkah tanah
yang diterbitkan menjadi SHGB di atas tanah mereka, pihak BPN akan berdalih
warkah tanah tersebut belum ditemukan. "Modus seperti ini banyak menimpa
korban perampasan tanah, sehingga puluhan tahun tidak bisa mendapatkan hak atas
tanahnya," tambahnya.
Padahal, kata Agus, BPN mempunyai wewenang untuk membatalkan
SHGB jika terbukti cacat administrasi dalam proses penerbitannya berdasarkan
Peraturan Menteri ATR/BPN no 11 tahun 2016 pasal 24. Namun hal ini tidak
dilakukan BPN jika diminta oleh para korban perampasan tanah.
Agus yang pernah diberikan tugas membebaskan belasan WNI
(Warga Negara Indonesia) yang disandera oleh kelompok Abu Sayaf di filipina
mengaku lebih sulit memperjuangkan nasib korban perampasan tanah yang disandera
oleh bangsa sendiri. "Saya bersama almarhum Mas Budiman Sopian hanya butuh
hitungan bulan untuk bisa membebaskan warga negara Indonesia yang disandera
militan Filipina. Tetapi para korban perampasan tanah ada yang berpuluh tahun
belum memperoleh haknya," tandasnya.
Apa yang dirasakan Agus Muldya dan sahabatnya Budiman Sopian
dalam memperjuangkan hak para korban perampasan tanah saat ini pernah
dinyatakan Presiden Soekarno, puluhan tahun silam.
"Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah,
tetapi perjuanganmu akan lebih sulit karena kalian akan melawan bangsamu
sendiri,“ pungkasnya. (btl)
0 Comments