![]() |
Brigjen Polisi Budi Setiawan saat menyampaikan materi di hadapan peserta. (Foto: Istimewa) |
NET – Kepala Biro (Karo) Multimedia Divisi Humas Polri
Brigjen Budi Setiawan mengatakan sebagai ruang publik baru, internet termasuk
media sosial dan media online, memerlukan kaidah atau batasan baku. Tujuannya
agar tak terjadi pelanggaran hak atas orang lain yang menyebabkan kerugian.
Apalagi pengaruh kedua media begitu besar di masyarakat.
"Bagaimana masyarakat bisa dipengaruhi melalui
narasi-narasi tertentu dalam kemasan berbagai platform media sehingga sepakat
dan bahkan bertindak sebagaimana kehendak si pembuat narasi. Hal ini sangat
dirasakan saat kontestasi politik Pemilu 2019 yang lalu," ujar Budi Setiawan,
Rabu (20/11/2019).
Hal itu dikatakan Budi Setiawan pada kegiatan bertajuk
'Sharing With Cyber Community: Strategi For Combating Fake News' digelar di
Hard Rock Cafe, SCBD, Jakarta Selatan. Sejumlah pihak terkait hadir dalam
diskusi ini, seperti kepolisian, pengamat hingga pihak Istana.
Selain sisi negatif, kata Jenderala Polisi bintang satu itu,
kekuatan media sosial dan media online sesungguhnya dapat dimanfaatkan untuk
upaya positif, seperti memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat. “Sayangnya
hal itu belum dimaksimalkan,” tutur Budi Setiawan.
Oleh karena itu, kata Budi Setiawan, diperlukan strategi
yang jitu untuk merebut ruang publik internet menjadi ruang publik yang sehat
kembali, sebagaimana tujuan awalnya untuk berbagi informasi dan berkomunikasi
dalam konteks positif.
"Bagaimana strateginya? Ketika akan memencet tombol publish,
share, atau post, coba bayangkan isi dari informasi yang akan dibagikan apakah
layak dan sesuai dengan etika, norma dan hukum yang berlaku? Ketika kita
berpendapat tentang seseorang, bayangkan ketika pendapat tersebut diterapkan
kepada diri kita atau keluarga apakah kita sakit hati atau tidak,"
ujarnya.
Jika ternyata kita tidak terima, imbuh Budi, jangan lakukan
karena mungkin pihak yang kita komentari merasa dirugikan hak-hak nya, sakit
hati dan melaporkan kepada aparat penegak hokum. Kepolisian menyarankan agar konten yang diunggah di media
sosial berisi hal-hal positif, karya seni, inspiratif kreatif dan edukatif.
Bukan malah hasutan, ujaran kebencian, kabar bohong dan hal negatif lainnya.
"Apakah kita tidak boleh mempublikasikan kritik? Tentu
boleh, disampaikan dengan bertanggungjawab dan memenuhi kaidah etika dan
norma," tegas Budi yang hadir mewakili Kadiv Humas Polri Irjen M Iqbal.
Presidium Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), Anita
Wahid, menambahkan hoax atau hoaks bukan hanya sekadar berita bohong, tapi juga
hal yang mampu mengubah cara berpikir seseorang.
"Sasaran hoax adalah emosi kemarahan dan kebencian.
Hoax memaksa kita untuk menerima dan mepercayai berita tidak benar dengan
tujuan memancing emosi seseorang," kata dia.
Anita berpandangan hoaks dapat membuat masyarakat gaduh dan
menjadikan bangsa menjadi tidak damai.
"Hoax diibaratkan sebagai virus karena penyebaran dan
jangkauannya luas, sehingga kita dituntut memeriksa suatu berita dengan cara
memverifikasi berita bohong atau mencari sumber berita," tuturnya.
Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi, Adita Irawati,
menyebut hoaks harus diperangi secara bersama-sama. Caranya melalui dua jalan
yakni pendekatan struktural, serta kultural atau mengedukasi masyarakat.
"Diharapkan masyarakat dapat lebih cerdas dalam
memverifikasi berita-berita yang menyebarluas. Generasi milenial juga harus
mendukung pembangunan dengan cara yang milenial agar dapat dengan mudah
diterima di era ini," ujar dia.
Sementara itu, Ketua Cyber General Chairman and Creations
Josie Mokalu mengajak pengguna medsos seperti Youtube, Instagram, Facebook dan
Twitter, turut serta mengedukasi masyarakat dan memberitahukan tentang dampak
negatif hoaks.
"Pengguna media sosial harus bertanggungjawab dengan
konten-konten yang dibuat dan sebarkan. Kita tidak bisa menghentikan pembuat
hoax tersebut, namun kita bisa mencegah diri kita sendiri untuk tidak
menyebarkan berita tersebut," tandasnya. (*/pur)
0 Comments