Berita Terkini

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Pemuda Dan Penegasan Eksistensi Indonesia Sebagai Sebuah Negera Bangsa

Irwan S: berbeda dengan negara lain.
(Foto: Istimewa/koleksi pribadi) 



Oleh: Irwan S.

BULAN ini adalah Bulan Pemuda, sekaligus juga menjadi Bulan Berbangsa. Mengapa begitu? Karena pada bulan inilah, tepatnya pada tanggal 28 Oktober 1928, para pemuda dari berbagai suku berkumpul untuk mengkonsepsikan tekad bulat utuh untuk berkhidmat menjadi sebuah bangsa. 

Peristiwa yang kemudian tercatat sebagai peristiwa Sumpah Pemuda, yang kemudian melahirkan tiga tekad penting, yaitu : Berbangsa Satu Bangsa Indonesia, Berbahasa Satu Bahasa Indonesia, dan Bertanah Air Satu Tanah Air Indonesia. 

Tak banyak yang menyadari bahwa justru sesungguhnya 28 Oktober 1928 itu adalah tanggal dimana kita untuk pertama kalinya mendeklarasikan diri sebagai sebuah bangsa, jauh sebelum kita kemudian pada tujuh belas tahun setelah peristiwa tersebut baru membentuk sebuah negara. Dengan kata lain, kita telah berbangsa sebelum akhirnya bernegara. Kita adalah sebuah negara bangsa, sebuah nation-state. Berbeda dengan banyak negara di dunia yang membentuk negaranya lebih dahulu baru kemudian membentuk bangsanya.

Itulah mengapa Soekarno-Hatta dalam teks Proklamasi 17 Agustus 1945 mengatasnamakan diri sebagai “Bangsa Indonesia”. Bahwa proklamasi kemerdekaan dikumandangkan oleh sebuah bangsa, yaitu Bangsa Indonesia.

Peran pemuda dalam peristiwa Oktober 1928 tersebut amatlah penting. Bukan hanya karena mereka memberanikan diri untuk berkumpul berhimpun, suatu aktivitas yang kala itu amat dibatasi oleh pemerintah kolonial Belanda, tetapi juga para pemuda menemukan sebuah formulasi otentik untuk mengikatkan diri dalam sebuah kesatuan utuh bernama Bangsa Indonesia. Sejak saat itulah maka semua suku dan ras kemudian meleburkan dirinya menjadi sebuah kesatuan baru bernama bangsa.

Inilah sesungguhnya titik balik awal lahirnya Bangsa Indonesia yang kemudian memanifestasikan dirinya dalam organisasi besar, menjadi sebuah Negara, tujuh belas tahun kemudian. Oktober 1928 adalah inspirasi yang paling faktual terhadap cita-cita Indonesia Merdeka.

Pemuda Indonesia kemudian mengisi hari demi hari masa kemerdekaan Indonesia hingga saat ini. Berulang kali, pemuda Indonesia kemudian secara alamiah muncul dan lahir dalam spektrum transisi politik bangsa. Menjadi avant garde. 

Pertanyaannya, setelah tujuh puluh empat tahun Indonesia Merdeka, masihkah pemuda Indonesia hadir dalam spektrum sosial politik kebangsaan kita? Pemuda Indonesia saat ini dihadapkan pada tantangan kemajuan tekhnologi dan pengaruh global yang secara masif dan sistemik merasuk ke segala aspek kehidupan. Pemuda Indonesia, sama seperti para pemuda dinegeri lainnya, juga tak luput dari pengaruh tekhnologi dan tantangan global. 

Mereka pada akhirnya bertemu dengan ‘lawan’ pada jamannya sendiri. Siapkah pemuda Indonesia? Atau justru pemuda Indonesia tertelan gelombang besar arus kemajuan tekhnologi dan pengaruh global yang kemudian mengikis habis rasa nasionalisme. Menghancurkan rasa tanggungjawab sejarahnya untuk melanjutkan tongkat estafet menjaga eksistensi Indonesia, bukan hanya sebagai sebuah negara, tetapi sebagai sebuah Negara Bangsa. 

Kemajuan tekhnologi dan tantangan global yang selalu dan senantiasa didomplengi oleh kepentingan politik dari luar yang memiliki agenda menguasai dan bahkan menghancurkan Indonesia, hanya dapat dijinakkan oleh berkesinambungannya rasa berkhidmat menjadi sebuah bangsa di dalam dada para pemuda Indonesia. 

Bagaimana mengasah rasa kebangsaan para pemuda? Faktor utama yang berpengaruh besar kepada terbentuknya perasaan berbangsa yang sejati adalah mempersatukan-dirinya pemuda dengan kepentingan rakyat banyak. Hidup bersama rakyat, berjuang bersama rakyat. Merasakan sesaknya nafas rakyat, berkeringat bersama rakyat. Dari situlah kemudian pemuda dapat mewakafkan dirinya untuk memperjuangkan segenap kepentingan rakyat. 

Pemuda adalah kaum cendikia. Tetapi itu semua akan hampa jika kemudian pemuda tidak mampu mengejawantahkan pengetahuan dan segenap tenaganya untuk kepentingan rakyat. Pemuda haruslah menjadi kaum “cendikia organik”. Hanya dengan cara itulah maka kekuatan rakyat dapat direkatkan dalam sebuah ikatan kuat bersama pemuda, menjadi mesin penggeraknya sebuah bangsa. 

Dari sanalah, pemuda dapat menyumbangkan tenaga dan pikirannya bagi keberlangsungan sebuah negara bangsa. Tempat pemuda bukan hanya di sekolah, kampus, pesantren, dan lembaga pendidikan lain. Di sana hanyalah tempat bagi para pemuda mengasah pengetahuan. Tempat di mana seharusnya pemuda berada adalah di tengah-tengah rakyat, menyatu bersama rakyat. Di sana pemuda dapat mendedikasikan pengetahuan yang diperoleh di sekolah, kampus, pesantren bagi segenap kepentingan rakyat. Kesatuan keduanya adalah penopang keberlangsungan sebuah bangsa. 

Sekali lagi, jaman menantang para pemuda Indonesia. Sanggupkah mereka menjadi benteng tebal dan kuat bagi tegak utuhnya sebuah negara bangsa bernama Indonesia? Mari berikhtiar dan berjuang.


Penulis adalah Sekretatis Jenderal (Sekjen) Rumah Indonesia Merdeka (RIM). 

Post a Comment

0 Comments