Para nara sumber dan Ketua KPU RI Arief Budiman saat menyampaikan paparan di hadapan peserta di Jakarta. (Foto: Istimewa) |
NET - Masyarakat Hukum Tata Negara Muhammadiyah
(Mahutama) dan Kolegium Jurist Institute (KJI) mendorong adanya evaluasi
terhadap pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 yang dilaksanakan secara
serentak, menggunakan kacamata prinsip jujur dan adil (jurdil) dan sisi
kemanusiawian.
Sekretaris Jendral Masyarakat Hukum Tata Negara
Muhammadiyah Auliya Khasanofa menyampaikan untuk mengevaluasi pelaksanaan Pemilu
serentak yang telah berlangsung beberapa waktu lalu. Desain Pemilu yang rumit dengan aturan yang
terlalu mepet diputuskan DPR RI berdampak negative. Hal ini ditandai dengan meninggalnya
ratusan penyelenggara Pemilu pada tingkat Kelompok Penyelenggara Pemungutan
Suara (KPPS) serta masih adanya persoalan yang krusial terkait tehnis Pemilu. Terutama
dalam pelaksanaaanya harus menjadi menjadi keprihatinan, renungan dan bahan
untuk evaluasi bersama.
“Berbagai persoalan dalam pelaksanaan Pemilu Serentak
kemarin, menjadi PR (pekerjaan rumah-red) besar untuk menjadi sebuah kajian
ilmiah yang harus dikritisi oleh kaum akademisi dan para pakar hukum yang
berkompeten dan memiliki disiplin keilmuan dibidangnya. Hal ini termasuk
menghadirkan desain Pemilu yang mengedepankan prinsip permusyawaratan
perwakilan terutama dalam pemilihan presiden yang terlihat menjadi rentan
konflik ditambah dengan keserentakan pelaksanaanya. Ini lebih banyak
diperbincangkan Pilpres (Pemilu Presiden-red) dibandingkan pemilihan yang lain,”
ujar Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Tangerang (FH UMT) melalui
Siaran Pers yang diterima TangerangNet.Com, Selasa (30/4/2019).
Direktur Eksekutif KJI Ahmad Redi mengatakan Pemilu
serentak yang memilih Presiden dan Wakil Presiden dengan pemilihan anggota
legislatif dari tingkat pusat hingga daerah menyisakan bahan renungan yang
mendalam bagi seluruh rakyat Indonesia. Khususnya, bagi penyelenggara Pemilu
dan pemangku kepentingan lainnya.
“Pemilu serentak yang seyogya dimaksudkan demi
terselenggaranya demokrasi yang lebih baik, nyatanya justru diwarnai berbagai
macam persoalan yang tak kalah pelik,” ujar Ahmad Redi,
akademisi Fakultas Hukum Universitas
Tarumanagara itu.
Redi mencatat berbagai macam masalah seperti potensi
kecurangan, netralitas penyelenggara Pemilu hingga pelaksanaan pemungutan dan
penghitungan suara yang sampai menelan banyak korban jiwa penyelenggara Pemilu
di daerah.
Sedangkan, Ketua Umum Masyarakat Hukum Tata Negara
Muhammadiyah Aidul Fitriciada Azhari mengatakan Pemilu harus selalu dipandang
sebagai sarana mengawal kedaulatan rakyat. Oleh karena itu, pelaksanaan Pemilu
harus selalu dilandasi berdasarkan asas Jujur, Adil, Langsung, Bebas dan
Rahasia (Jurdil dan Luber).
“Asas-asas tersebut hanya dapat terselenggara dengan
adanya good will dari penyelenggara Pemilu dan para pemangku kepentingan serta
partisipasi publik dalam mengawal suara rakyat,” ujar Anggota Komisi Yudisal RI
ini.
Ketua KPU RI Arief Budiman menyatakan teah berusaha
semaksimal mungkin menjalankan aturan kepemiluan dengan sebaik-baiknya dan
mengedepankan prinsip jujur dan adil. Terkait jatuhnya korban jiwa dan
banyaknya penyelenggara Pemilu yang sakit KPU RI tidak akan berlepas tangan.
Titi Anggraini, Direktur Perludem menyampaikan desain
aturan Pemilu yang harus dievaluasi karena tidak manusiawi terutama bagi
penyelenggara Pemilu.
Ahmad Sofian dosen hukum pidana Binus menambahkan dengan
menjelaskan kausalitas hukum dalam pertanggungjawaban pidana terkait jatuhnya
korban dalam pemilu serentak 2019. Termasuk Anggara Suwahyu Direktur Eksekutif
ICCJR pemilu serentak 2019 ini merupakan tragedi kemanusiaan karena banyaknya
jatuh korban jiwa.
Ibnu Sina Chandranegara, dosen Hukum Tata Negara Fakultas
Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta (HTN FH UMJ) mengatakan kebutuhan
terhadap moralitas, integritas dan kapabilitas penyelenggara Pemilu tersebut
harus juga diiringi dengan perhatian terhadap aspek kesehatan jasmani dan
rohani para penyelenggara Pemilu di segala tingkatan.
Termasuk M. Ryan Bakry, ahli HAN KJI menyampaikan ini
harus menjadi perhatian ke depan terkait penyelenggaran Pemilu yang baik. “Sehingga
fenomena yang terjadi pada Pemilu 2019, yakni banyak sekali penyelenggara Pemilu
yang meninggal dunia tidak terulang lagi,” pungkasnya.
Sebagai informasi, untuk melakukan evaluasi terhadap
penyelenggaraan Pemilu serentak ini, Masyarakat Hukum Tata Negara Muhammadiyah
dan Kolegium Institute menggelar diskusi media “Pemilu Serentak 2019: Jurdil
dan Manusiawikah?” pada Senin (29/9) di Jakarta.
Sejumlah pakar hadir dalam diskusi tersebut, yakni Ketua
KPU Arief Budiman, Ketua Umum Mahutama Prof. Aidul Fitriciada Azhari, Pakar
Hukum Pidana Prof. Syaiful Bakhri, Direktur Eksekutif ICJR Anggara Suwahyu,
Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini, Direktur Eksekutif KJI Ahmad Redi,
Dosen Hukum Pidana Universitas Binus Ahmad Sofian, Dosen HTN FH UMJ Ibnu Sina
Chandranegara, Ahli HAN KJI Mohammad Ryan Bakry, Sekjend MAHUTAMA dan Dosen FH
UMT Auliya Khasanofa. (*/pur)
0 Comments