![]() |
Drs. Syafril Elain, SH (Foto: Istimewa/koleksi pribadi) |
SEJAK dilaksanakan pencoblosan Pemilu 2019 pada 17 April
lalu muncul kata atau kalimat menyebutkan “Curang” atau perbuatan “Curang”.
Apakah yang dimaksud dengan curang atau perbuatan curang? Sebelum penulis
membahas lebih lanjut, ada baik kita pahami terlebih dahulu tentang Pemilu.
Pemilihan Umum yang selanjutnya disebut Pemilu adalah
sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR),
anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk
memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Darah (DPRD), yang dilaksanakan secara
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negera Kesatuan Republik
Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Sejak bergulir reformasi di Indonesia, Pemilu
dilaksanakan secara langsung untuk Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden untuk
keempat kali. Sedangkan Pemilu untuk memilih wakil rakyat sudah memasuki yang
kelima.
Nah, siapa yang menyelenggarakan Pemilu? Penyelenggara Pemilu adalah lembaga yang menyelenggarakan
Pemilu yang terdiri atas Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu
(Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) sebagai satu
kesatuan fungsi Penyelenggara Pemilu untuk memilih anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk
memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah
secara langsung oleh rakyat.
Pada Pemilu 2019 kehebohan muncul adanya perbuatan curang
yang diduga dilakukan oleh penyelenggara Pemilu dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) oleh jajaran terutama
petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (PPS). Hal ini diduga banyak terjadi saat hari
pencoblosan pada 17 April 2019 yang ditandai beredar sejumlah video.
Selanjutnya saat perhitungan di tingkat kecamatan sedang
berlangsung, pada hari yang sama Sistem Informasi Hitung (Situng) hasil suara
Pemilu 2019 ditayangkan oleh KPU Republik Indonesia. Setiap orang atau setiap
warga dapat melakukan pemantauan apa yang ditampilkan oleh Situng KPU tersebut.
Situng yang diambil dari data formulir C-1 tersebut
diinput oleh petugas KPU. Dari sekian banyak data yang ditampilkan pada Situng
teresebut, terdapat sejumlah salah input ditemukan oleh warga yang membanding
jumlah di kolom Situng dengan formulir C-1.
Atas kesalahan input tersebut diakui oleh Ketua KPU RI
Arif Budiman. Menurut Airf Budiman, apa yang ditampilkan pada Situng KPU
tersebut untuk mendapat perhatian dari masyarakat dan bila mana ada kesalahan,
akan dapat dikoreksi dan diperbaiki.
Proses perhitungan manual kini sedang berlangsung di
tingkat kecamatan di seluruh Indonesia dikemas dalam Rapat Pleno Terbuka Rekapitulasi
Hasil Perhitungan Suara. Bagi kecamatan yang jumlah Tempat Pemungutan Suara
(TPS) sedikit sudah menyelesaikan rapat pleno tersebut. Namun, kecamatan yang
jumlah kelurahannya banyak tentu jumlah TPS-pun banyak pula. Oleh karena itu,
masih ada Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) melakukan perhitungan dalam rapat
pleno.
Penyelenggara Pemilu dalam hal ini KPU RI sampai KPPS
dituntut untuk berbuat jujur dan adil. Penulis yakin penyelenggara Pemilu dalam
hal ini KPU RI seluruh jajaran sampai tingkat bawah pasti jujur dan adil.
Begitu juga dengan penyelenggara Pemilu bidang pengawasan yakni Badan Pengawas
Pemilu (Bawaslu) dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu Republik Indonesia (DKPP
RI).
Meskipun begitu, berdasar pengalaman penulis baik sebagai
penyelenggara Pemilu maupun sebagai penyelenggara pengawas menemukan ada
perlakukan tidak adil yang dilakukan oleh oknum tertentu. Penulis sebagai
Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) kini menjadi Bawaslu Kota Tangerang bahkan
memproses perbuatan tidak adil atau curang tersebut.
Singkat cerita, ada enam orang oknum yang melakukan perbuatan
curang tersebut dilimpahkan ke Penegak Hukum Terpadu (Gakkumdu) yang terdiri
atas unsur Panwaslu (Bawaslu), kejaksaan, dan kepolisian. Hasilnya, keenam orang
oknum tersebut dinyatakan oleh majelis hakim pengadilan bersalah dan dihukum.
Ada yang dihukum selama 1,5 tahun dan ada pula yang dihukum 1 tahun penjara.
Bagaimana dengan kondisi kini? Banyak dugaan pelanggaran
yang terjadi tapi penulis belum mendapatkan informasi adanya proses hukum menjadikan
seseorang tersangka dan terdakwa karena perbuatan tersebut. Paling tidak di
Provinsi Banten belum ada para pelaku yang diduga melakukan perbuatan curang
yang diproses hukum oleh Bawaslu sampai ke pengadilan. Bisa jadi sekarang ini
masih dalam proses mengingat waktu terus berjalan.
Perbuatan curang menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia
(KUBI): curang berarti tidak jujur; tidak
lurus hati; tidak adil.
Sanksi pidana diatur dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 7 tahun
2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) bukan saja menjerat para penyelenggara
Pemilu. Namun, setiap warga yang melakukan perbuatan curang kategori tindak
pidana Pemilu dapat dihukum.
Hal ini tercantum pada Pasal 536 yang berbunyi: setiap
orang dengan sengaja merusak, menggangu, atau mendistorsi sistem informasi
penghitungan suara hasil Pemilu, dipidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun
penjara dan denda paling banyak Rp. 36.000.000,- (tiga puluh enam juta rupiah).
Sedangkan perbuatan yang menambah dan mengurangi angka
hasil perhitungan dapat dijerat dengan pasala 532. Bunyi pasal ini adalah: Setiap
orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang menyebabkan suara seorang
pemilih menjadi tidak bernilai atau menyebabkan peserta Pemilu tertentu
mendapat tambahan suara atau perolehan suara peserta Pemilu menjadi berkurang, dipidana
penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling banyak Rp. 48.000.000,-
(empat puluh delapan juta rupiah)
Dalam kedua pasal tersebut dengan dicantumkan kata “dan denda”. Artinya, para pelaku yang menjadi
tersangka dan akhirnya menjadi terdakwa di hadapan majelis hakim akan menerima
kurungan badan sekaligus denda.
Oleh karena itu, penulis menyarankankan baik kepada
penyelenggara Pemilu maupun kepada setiap warga untuk tidak melakukan perbuatan
curang atau mengurangi dan menambahkan suara kepada peserta Pemilu. Hal ini
mengingat ancaman yang cukup tinggi dan beratnya sanksi moral.
Supaya dugaan pelanggaran Pemilu dapat diproses sampai ke
pengadilan, laporkan bila menemukan dugaan pelanggaran Pemilu kepada Panwaslu
pada tingkat kecamatan dan Bawaslu pada tingkat kabupaten dan kota serta
provinsi. Kalau menemukan dugaan pelanggaran tidak dilaporkan ke Panwaslu dan
Bawaslu, hanya diviralkan di media social, prosesnya tidak akan pernah sampai ke
pengadilan.
Bagi penyelenggara Pemilu bila melakukan perbuatan
curang, sebelah kaki Anda sudah ada di dalam penjara hanya menunggu waktu kapan
prosesnya dilakukan. Meskipun begitu, penulis yakin penyelenggara Pemilu selalu
berbuat jujur dan adil. Bila ada penyelenggara Pemilu berbuat curang, itu
karena tidak tahan godaan dan tekananan pihak lain. (***)
Penulis adalah:
Ketua Panwaslu Kota Tangerang periode 2008-2009.
Ketua KPU Kota Tangerang periode 2009-2013.
Anggota Kongres Advokat Indonesia (KAI)
0 Comments