![]() |
Gan Gan R. A. (Foto: koleksi pribadi) |
Oleh : Gan-Gan R.A.
POLITIK pencitraan memiliki implikasi negatif yang
krusial sekaligus menampilkan positivisme visual dari figur yang dibentuk
konsultan politik. Implikasi negatif dari
politik pencitraan adalah pemberhalaan terhadap figur yang belum tentu memiliki
kredibilitas, integritas, kapasitas intelektual yang masih diragukan, wawasan
multidisipliner keilmuan sebagai modal dasar dan managemen kepemimpinan yang
harus diuji dalam prestasi real, bukan prestasi yang direkayasa, kemudian
mendapatkan beatifikasi dari media massa yang sudah terkooptasi oleh
kepentingan politik jangka pendek dibawah kendali para pemilik modal.
Positivisme politik pencitraan menghadirkan mozaik
biografis-minimalis dari figur yang harus diketahui masyarakat bahwa figur yang
tengah diusung adalah figur yang memiliki program, visi dan misi yang berakar
di lapisan masyarakat. Politik pencitraan sesungguhnya mulai lepas dari koridor
moral dan etika politik.
Dengan bius informasi dari berita media massa, politik
pencitraan menjelma berhala bagi para politisi yang dikultuskan rezim media
massa dengan daya sihir kekuatan audio/ visual-nya, bahkan rezim media massa
sanggup untuk memoles “seorang mafia” yang
terindikasi tindak pidana korupsi menjadi ketua umum sebuah partai politik dan tampil
sebagai pahlawan karbitan yang menduduki kursi terhormat di gedung DPR.
Inilah salah satu dahsyatnya bentuk kehebatan dari politik
pencitraan yang sistematis dari revolusi media massa di abad milenium ke-3
sebagai era perang tekhnologi digital yang menyerbu hampir semua sektor
kehidupan umat manusia.
Revolusi media massa telah merobohkan dimensi ruang
dan waktu. Informasi yang bergerak sangat cepat menghadirkan dunia dalam
genggaman tangan. Setiap detik masyarakat bukan hanya kaum urban yang hidup di
kota kosmopolitan, tetapi juga di pelosok pedesaan, kaum marginal pun sudah
terserang “wabah” virus informasi yang dapat diakses melalui jaringan internet.
Ponsel pintar menjadi bagian gaya hidup yang nyaris tidak bisa dipisahkan dan
telah menjadi menu utama dalam daftar pola hidup konsumtif di peradaban abad
21.
Menjamurnya jejaring sosial media di dunia maya
menciptakan ruang komunikasi, memperlebar wilayah diskusi yang memancing
pemikiran kritis masyarakat tentang tema sosial-politik-ekonomi yang tengah
menjadi tema sentral di media massa. Proses sharing
tulisan, gambar dan berita seringkali lolos tanpa proses validitas di level verifikasi
yang ketat.
Bahkan dunia jurnalisme pun kebobolan dalam menurunkan
berita/ tulisan, mengabaikan cek and
balance dengan melakukan konfirmasi, kroscek, dan investigasi akurasi data.
Suasana kompetitif antar media massa digital yang memacu kecepatan menangkap
berita ekslusif telah menjatuhkan kualitas jurnalisme sekelas “jurnalisme
buzzer” yang terperangkap sebagai produsen hoax yang destruktif.
Revolusi media massa menjebol tembok pertahanan lintas
teritorial. Informasi dari rezim media massa tak ubahnya desing peluru dari
mesin senapan canggih yang memuntahkan berbagai amunisi informasi ter-aktual. Revolusi
media massa adalah komoditas industri pers dengan liberalisme jurnalistik yang
berdiri di atas konsep industri neokapitalisme.
Revolusi media massa sangat efektif untuk mengubah
kultur, mainset dan tatanan sosial dalam kehidupan masyarakat. Di tengah hingar
bingar jargon politik menjelang pesta demokrasi, rezim media massa memberikan variasi
kepada masyarakat pada berbagai pilihan untuk mendapatkan informasi yang sesuai
selera. Masyarakat secara tidak langsung dididik untuk bersikap cerdas dalam
mem-filter informasi variatif yang dikehendakinya.
***
Mendapatkan
informasi adalah hak warga negara Indonesia yang dilindungi konstitusi. Pasal 28 F Undang-Undang
Dasar (UUD) 1945 tegas menyatakan : “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan
memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya,
serta ber dengan menggunakan
segala jenis saluran yang tersedia.” Bunyi pasal 28 F terang dan gamblang
menjelaskan tentang hak individual untuk memperoleh informasi dan menyampaikan
informasi dengan berbagai pilihan sarana yang tersedia. Tetapi lahirnya
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) Nomor 11 Tahun 2016
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 terutama BAB VII Pasal
27 Ayat (3) telah mempersempit ruang
demokrasi.
Kebebasan berpendapat harus berhadapan dengan delik
aduan (klach delic) pasal pencemaran
nama baik UU ITE (lex spesialis).
Pasal pencemaran nama baik merupakan epigonisme interpretasi gramatikal dari kontruksi
teks yuridis Pasal 310 Ayat (1) dan Ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal 27 Ayat (3) UU ITE telah menjelma
rezim linguistik yuridis yang dibangun tirani kekuasaan kepada demokrasi atas
kontruksi teks hukum yang mencederai azas demokrasi.
Azas demokrasi salah
satunya adalah kebebasan menyatakan pendapat di muka umum. Kebebasan
berpendapat tentunya berbeda dengan kebebasan bertindak. Kebebasan berpendapat
berada dalam tataran pemikiran yang dikemas dalam formula pernyataan, analisa
kritik yang berangkat dari perspektif atas realitas sosial dan diekspresikan
dalam bentuk tulisan, pidato/ ceramah yang didistribukan oleh media massa atau
jejaring sosial media sebagai alat untuk menyebarkan informasi.
Berbagai kasus pencemaran nama baik telah banyak
memakan korban, dimulai dari kalangan agamawan, mahasiswa, aktivis pro
demokrasi yang bersikap kritis melontarkan kritik tajam kepada rezim yang
tengah berkuasa. Putusan Mahkamah Konstitusi atas Judicial Revieuw (JR) Pasal
27 Ayat (3) UU ITE terhadap Pasal 28
Ayat (2) dan Ayat (3) UUD 1945 lebih didominasi oleh latar karakteristik
kultur masyarakat timur yang cenderung masih memelihara watak feodalisme serta
alergi terhadap kritik. Padahal 51 negara yang menganut paham demokrasi sudah
meninggalkan pasal pencemaran nama baik karena sudah tidak sesuai dengan semangat
dan prinsip-prinsip dasar demokrasi.
Di tengah revolusi media massa yang secepat kilat
mengirimkan berbagai informasi, ruang demokrasi telah dikebiri oleh produk
hukum yang kontradiksi dengan amanat konstitusi. Hukum adalah produk politik.
Azas keadilan dan kemanfaatan harus menjadi fondasi bagi kontruksi teks hukum
yang dibangun oleh kesepakatan politik.
Pemimpin prematur yang dilahirkan dari mesin politik
pencitraan seringkali terjebak oleh kepentingan politik jangka pendek.
Intervensi kekuatan pemilik modal mengendalikan pandangan politik pemegang
kekuasaan dan memburamkan pandangan sosial; krisis multi-dimensi yang
menggerogoti sendi-sendi kehidupan berbangsa yang demokratis.
Pemikiran kritis selayaknya diapresiasi sebagai proses
untuk memperbaiki kehidupan berdemokrasi. Sejarah membuka kitabnya; tidak ada satu pun kekuatan di dunia ini yang
bisa memenjarakan kebebasan berpikir dan kebebasan berpendapat sekalipun tirani
kekuasaan mengancamnya dengan todongan senjata dan sel penjara (habis).
Penulis adalah:
Koordinator Divisi Komunikasi
Eksternal Satgas Advokasi Pemuda Muhammadiyah.
0 Comments