Gan-gan R. A.: tak ubahnya panggung hiburan dangdut. (Foto: koleksi pribadi) |
Oleh : Gan-gan R.A.
"...kemiskinan pilihan dalam
kehidupan bangsa kita akibat dari kekukuhan & kebekuan yang
diciptakan..." -Panembahan
Reso, Rendra
Gong pertarungan para kandidat
pemimpin kepala daerah telah dipukul tangan demokrasi. Komisi Pemilihan Umum
(KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mulai membuka pintu,membuka mata dan
telinga. Panggung demokrasi telah didirikan dengan anggaran negara yang tidak
sedikit, sekalipun Anggran Pendapatan dan Pendapatan Negara (APBN) mengalami
defisit, pesta demokrasi rakyat harus tetap belangsung meriah tak ubahnya
panggung hiburan dangdut.
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada)
merupakan bentuk transformasi kedaulatan rakyat yang didelegasikan kepada
pemimpin daerah (gubernur, walikota, & bupati) yang memegang otoritas untuk
jalannya tata kelola pemerintahan daerah. Landasan yuridis tentang Pilkada
cukup komprehensif, antara lain: UU No.32 tentang Pemerintahan Daerah,Peraturan
Pemerintah No.17 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No.6 Tahun 2005
tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan & Pemberhentian Kepala Daerah
& Wakil Kepala Daerah & PP Pengganti UU No.3 tentang Perppu No.3 Tahun
2005.
Payung hukum yang menaungi
mekanisme prosedural tentang proses Pilkada tersebut memunculkan satu
pertanyaan esensial di tengah histeria pendukung masing-masing kandidat:
Apakah Pilkada yang dipilih langsung
oleh rakyat tidak melanggar sila ke-4 Pancasila?
Sistem pemilihan langsung kepala
daerah selalu membuka ruang bagi mesin politik partai untuk menjaring kandidat
di luar kader partai politik. Seandainya penjaringan kandidat ditempuh melalui
koridor konvensi, tentu ini menjadi penjaringan kandidat yang elegan &
edukatif sebagai pendidikan politik untuk rakyat.
Kekuatan visi & misi kandidat
yang maju bisa terukur ketika para kandidat mempresentasikan konsep tata kelola
pemerintahan daerah.
Dan yang terpenting mencegah
mafia dan makelar mahar melancarkan bisnis surat tugas & surat rekomendasi
dari ketua umum partai yang diperjualbelikan oleh oknum kader partai yang mencederai
marwah partai politik.
Sepertinya, partai politik
mengalami dekaderisasi, di mana benih-benih calon pemimpin masa depan yang
potensial termarginalkan oleh kultur politik cepat saji; menjaring tokoh diluar
mesin partai yang memiliki popularitas & kemampuan finasial.
Ini kredo politik kaum
oportunisme yang memanifestasikan perspektif politik pada
"masturbasi" kepentingan diri sendiri & kelompok, bukan pada
kokohnya pondasi sublimitas proses tradisi kepemimpinan yang
progresif-visioner.
Jika proses rekrutmen kandidat
cepat saji seperti ini terus-menerus dibiarkan, maka negara tengah mengalami
krisis yang sangat berbahaya, yakni krisis estafet kepemimpinan.
Demi memuaskan syahwat politik
Pilkada serentak tahun 2018 ini, negara menggelontorkan anggaran sekitar Rp
11,4 triliun. Anggaran sebesar itu bisa untuk membangun sekolah & perguruan
tinggi di berbagai daerah yang lebih pasti memberikan kontribusi positif untuk
melahirkan kualitas sumber daya manusia sebagai fajar peradaban baru bagi
negeri ini.
Kosmetika politik artifisial yang
memoles figur para kandidat kepala pemerintahan daerah, membuat wajah demokrasi
kita serupa topeng hipokritme yang harus dikenakan, karena mahalnya biaya
politik Pilkada. Politik transaksional pun menjadi suatu kewajaran, karena
untuk maju bertarung menjadi seorang gubernur, walikota, & bupati, seorang
kandidat mesti memiliki kekuatan dana yang cukup besar agar mesin partai
bekerja sesuai dengan komitmen & kontrak politik.
Inilah awal terjadinya politik
balik modal. Sebuah pintu untuk karpet merah gratifikasi (sebagai embrio
korupsi) telah dibuka & digelar oleh para politisi, sementara tumpukan
hutang negara yang menggunung serta ambisi mewujudkan megaproyek infratruktur
yang tidak menumbuhkan daulat ekonomi kerakyatan.-Sebab konsep membangun yang
bersandar pada hutang & kepentingan modal asing melumpuhkan sektor ekonomi
vital dengan diekploitasinya kekayaan sumber daya alam yang dihisap hegemoni
korporasi pihak asing.
Kasus mahar politik menampar kesadaran kita bahwa ada yang salah
dalam menafsirkan pesta demokrasi. Bunyi Sila ke-4 dalam Pancasila sebaiknya
harus kembali kita fahami; Reinterpretasi atas kontrukai teks falsafah
kehidupan berbangsa & bernegara juga mata air yang menjadi sumber sistem
negara & pemerintahan.
Masih layakah Pilkada dipilih
secara langsung oleh rakyat? Ketika gempa tektonik terus mengguncang
perekonomian di Republik ini yang tak kunjung menemukan solusi.
Tangerang, Januari 2018
Penulis adalah:
Koordinator Divisi Komunikasi
Eksternal Satgas Advokasi Pemuda Muhammadiyah
0 Comments