Margarit0 Khamis (baju putih): problem putusan MK ketika dinilia sesat. (Foto: Dade, Tangerangnet.com) |
NET - Mahkamah Konstitusi (MK) bukanlah dewa yang luput dari kesalahan,
dalam pengambilan keputusan terutama saat menangani sengketa Pemilihan Kepala
Daerah (Pilkada). Namun, prinsip final and binding (terkahir dan mengikat) yang
menjadi mahkota bagi MK justru menimbulkan problem tersendiri ketika putusan MK
dinilai sesat. Namun ruang untuk mencari kedilan hukum sudah tertutup.
"Hal ini, tengah dirasakan oleh besar masyarakat Kabupaten Intan Jaya
yang mendukung pasangan calon nomor urut 2 yaitu Yulius dan Yunus Kalabetme. Paslon
nomor dua menurut hasil perhitungan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Intan Jaya yang dilakukan secara
berjenjang adalah pemenang Pilkada tahun 2017 yang tertuang dalam berita acara
nomor 7/BA/KPUD IJ/II/2017," ujar Margarito Khamis, pakar Hukum Tata
Negara, Sabtu (16/9/2017), saat jumpa pers, di Restoran Bumbu Desa, Cikini,
Jakarta.
Margarito menilai putusan MK tersebut juga tidak konsisten, karena dalam
putusan sebelumnya MK menggugurkan perolehan semua paslon hanya di 7 Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang dinilai
bermasalah. Kemudian MK memerintahkan dilakukannya pemungutan suara ulang (PSU)
di 7 TPS tersebut. MK memutuskan dan memenangkan pasangan petahana (incumbent) yakni
Natalis Tabuni dan Yaan Robert Kobogoyaw tapi putusan itu jelas sekali sesat
dan tidak konsisten.
"Terdapat hal terkait putusan MK yang dinilai sesat tersebut, MK
memutuskan pasangan calon incumbent sebagai pemenang berdasarkan C-1 KWK yang
dihitung oleh MK saat Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH). Namun hasil tersebut
berbeda dengan jumlah Daftar Pemilih Tetap yang ditetapkan sebelumnya dalam rapat
pleno KPU Intan Jaya," tutur Margarito.
Margarito menjelaskan hasil hitungan MK total suara sah di Distrik Wandai
sebesar 14.509 sementara dalam Datar Pemilih Tetap (DPT)-nya hanya 8.352 suara,
di Distrik Homeyo, hasil hitungan MK total suara sah 18.079 sementara DPT- nya
hanya 14.881 suara, dan Distrik Mbiandoga hasil hitungan suara sah sebanyak
567, padahal jumlah DPT sebanyak 14.509 suara.
"Seharusnya MK tinggal menghitung suara dasar tersebut dan ditambahkan
dengan suara hasil PSU di 7 TPS. Namun kenyataannya tidak, suara semua pasangan
calon di luar 7 TPS bermasalah itu bersifat final sebagai suara sah yang telah
ditetapkan sendiri oleh MK. Ini kan menunjukkan bahwa data C-1 yang diserahkan
ke MK oleh Rafly Harun sebagai kuasa hukum nomor 3 adalah tidak valid dan penuh
rekayasa, kenapa MK masih menghitungnya? Kenapa tidak dicek dulu DPT -nya,"
ujarnya keheranan.
Margarito menjelaskan membeberkan perolehan suara seluruh pasangan calon
selain 7 TPS bermasalah yakni paslon nomor 1 : 8.636, nomor 2 : 33.958, nomor 3
: 31.476 dan nomor 4 : 1.928. Perolehan suara tersebut harusnya ditambhkan
dengan suara perolehan suara hasil PSU 7 TPS yakni suara paslon nomor 1 : 120,
nomor 2 : 1076, nomor 3 : 2,048, nomor 4 : nol, total suara paslon bila
ditambahkan suara dasar dan hasil PSU maka sebagai berikut : Paslon nomor 1 :
8.756, nomor 2 : 35.034, nomor 3 : 33.524, dan nomor 4 : 1.928.
"Namun MK dengan C-1 KWK yang tidak valid itu memenangkan paslon nomor
3 dengan suara 36.883 dan paslon nomor 2 : 34.395, akibat putusan yang sesat
itu. MK harus menanggung dampak sosial yakni konflik masyarakat di Kabupaten
Intan Jaya. Paslon nomor dua adalah utusan suku Moni, suku asli dan mayoritas
di Intan Jaya, sehingga mereka sadar betul bahwa kekalahan ini akibat adanya
kecurangan yang dilakukan oleh penyelenggara yakni KPU Intan Jaya yang memanipulasi C-1 KWK yang oleh
MK dijadikan dasar penghitungan suara," ungkap Margarito.
Sebagai penjaga konsititusinya, kata Margarito, harusnya MK memberikan
keadilan kepada masyarakat, bukan justru menjadi pemicu munculnya konflik
masyarakat, harusnya hakim-hakim MK belajar dari kasus Akil Mukhtar. (dade)
0 Comments