![]() |
Suku Anak Dalam (SAD) Kabupaten Batang Hari, Provinsi Jambi, saat diterima di kantor staf Presiden. (Foto: Dade, Tangerangnet.com) |
NET - Konflik berkepanjangan
antara Suku Anak Dalam (SAD) Kabupaten Batang Hari, Provinsi Jambi dan PT
Asiatic Persada sebagai anak Perusahaan Wilmar Grup sudah berlangsung 31 tahun
lamanya tanpa penyelesaian dan hampir tak berujung sehingga persoalan agraria
ini menjadi perhatian Pemerintah pusat era-Presiden Joko Widodo.
"Konflik tersebut telah
banyak mengorbankan baik materi, tenaga, dan pikiran. Bahkan korban jiwa dari
pihak masyarakat Suku Anak Dalam, sudah banyak. Proses mediasi dan keputusan-keputusan
Pemerintah, legislatif dan yudikatif tentang Wilmar Grup harus mengembalikan
hak lahan masyarakat. Namun keputusan-keputusan itu tidak juga diindahkan oleh
PT Asiatic Persada," ujar Pelaksana tugas (Plt) Sekretaris Jenderal Komite
Rakyat Nasional Akhrom Saleh, Sabtu (6/5/2017) di Jakarta.
Akhrom mengatakan pada 5
Mei 2017 Komite Rakyat Nasioanal tergugah untuk turut serta membela Suku Anak
Dalam memperjuangkan agar PT Asiatic Persada mengembalikan hak-hak SAD. Dengan
mengadukan penyelesaian konflik itu kepada Kantor Staf Presiden yang ditemui
oleh Deputi 4 Bidang Komunikasi Politik dan Desiminasi Informasi Eko Sulistyo.
“Syukur alhamdulilah Bapak Eko
Sulistyo sangat antusias dan respon positif untuk membela Suku Anak Dalam,”
tutur Akhrom.
Padahal alas Hak Masyarakat sudah
ada secara tertulis dari jaman Belanda yang diberikan pada tahun 1927, 1930-an
dan masa terbentuknya pemerintahan Republik Indonesia. Namun lagi-lagi alas hak
itu tidak juga menjadi dasar Wilmar Grup untuk mengembalikan tanah adat kepada
Suku Anak Dalam, kata Akhrom.
“Kami maklum penguasa pada saat
itu adalah pemerintahan Orde Baru yang begitu otoriternya sehingga penyerobotan
adalah hal yang mudah. Dengan menggunakan kekuatan aparat maka tanah seluas
3.550 hektar dapat dikuasai dan dijadikan Lahan Sawit oleh pengusaha yaitu
Wilmar Grup," ujarnya.
Oleh karena itu, kata Akhrom, kenapa pihak perusahaan ketika dilakukan
pengukuran ulang sangat enggan mereka laksanakan. Bahkan perusahaan melarang
masyarakat berada di tanahnya sendiri. “Ini kan sangat lucu, Suku Anak Dalam
adalah pemilik tanah leluhur itu. Namun mereka tidak merasakan manfaat tanah
tersebut. Bahkan mereka berada digaris kemiskinan dan buta huruf sampai dengan
sekarang,” ucap Akhrom.
Artinya, kata Akhrom, ini harus ada perhatian serius dari Pemerintah
pusat untuk sesegera mungkin menyelesaikan konflik agraria tersebut, sehingga
masyarakat tidak dirugikan dan dapat mencari makan demi bertahan hidup. “Kan
aneh ada perusahaan yang sangat kaya namun masyarakat sekitar perusahaan masih
banyak yang buta huruf dan masih dibawah garis kemiskinan. Ini sudah tidak
benar dan keterlaluan. Buat apa perusahaan ada di sekitar mereka bila tidak ada
efek ekonomisnya,” ungkap Akhrom.
Oleh karena itu, kata Akhrom, Komite Rakyat Nasional sebagai Organisasi
Masyarakat akan terus mengawal persoalan ini sampai dengan selesai dan tanah
adat dikembalikan oleh Wilmar Grup. Apalagi persoalan ini sampai di Kantor Staf
Presiden untuk menjadi pertimbangan Presiden dalam mengambil keputusan.
“Harapan kami kepada Kantor Staf
Presiden agar membuat tim yang dipimpin oleh KSP sendiri. Kedua hasil dari
kerja itu menjadi rekomendasi kepada Presiden Joko Widodo untuk mengambil
keputusan yang berpihak kepada Suku Anak Dalam di Kabupaten Batang Hari
Provinsi Jambi,” ujarnya.(dade)
0 Comments