Memed Chumaedi: WH tidak tinggal diam. (Foto: dokumentasi pribadi) |
Oleh: Memed Chumaedi
SAYA masih teringat pendapat
Robert Alan Dahl - seorang pemikir politik, dia menyatakan demokrasi sejatinya
membutuhkan dua prasyarat; pertama seberapa tinggi tingkat kontestasi,
kompetisi atau oposisi. Dan kedua, seberapa banyak warga turut berpartisipasi.
Dua prasyarat ini memperoleh bentuknya jika dilaksanakan dalam sebuah pemilihan
umum/pemilihan kepala daerah (Pemilu/Pemilukada). Pemilu/Pemilukada dinilai
demokratis jika dua prasyarat ini terpenuhi oleh unsur kontestasi dan
partisipasi.
Pernyataan Robert Alan Dahl di atas
itu menjadi catatan saya dalam menkonstruksi politik di Kota Tangerang, ada
beberpa catatan.
Satu, Kota Tangerang menjadi kota yang penuh
prestasi sulit dibantah bahwa andilnya peran Wahidin Halim yang sering disebut
WH, selama dua priode menjadi kepala daerah dalam membangun fondasi
"Akhlakul Karimah" dalam pemerintahannya.
Kedua, keberhasilan Arief Rachadiono Wismansyah yang
kini menjadi Walikota Tangerang dengan pelbagai prestasi inipun tak
terbantahkan juga. Bahwa Arief yang dulunya merupakan wakil walikota pada
priode WH dapat mencapture kepemimpinan
WH yang pada akhirnya melanjutkan fondasi kepemimpinan WH.
Ketiga, kualitas daya
kepemimpinan Arief pun tak bisa dielakkan bahwa ke depannya (Pilkada) Arief
punya potensi kembali dapat terpilih dan sulit tertandingi oleh lawan-lawan
politik yang ingin bertarung di Pilkada tahun 2018.
Karena itu, Pemilukada Kota Tangerang
tahun 2018 kemungkinan besar hanya diikuti oleh minimnya para bakal calon
walikota yg akan siap menjadi rivalnya Arief. Dalam teori demokrasi di atas saya
korelasikannya bahwa dalam Pemilukada sekuat Arief apapun juga untuk
menciptakan ruang demokrasi dibutuhkan semangat kontestasi. Artinya, Arief
mesti harus ada lawan tangguh yang siap menjadi lawan petahana ke depannya.
Munculnya beberapa kandidat
selama ini masih sebatas di aras media saja tapi ini pun harus dijawab oleh kebutuhan
rival untuk menandingi Arief. Sama-sama yang sudah ada perlu menjadi
perhitungan Arief seperti Sachrudin, seorang Wakil Walikota Tangerang dan juga
Ketua DPD (Dewan Pimpinan Daerah-red) Partai Golkar Kota Tangerang yang hasil Rakerda
(Rapat Kerja Derah-red) kemarin seluruh kader Golkar menginginkan agar sachrudin
maju untuk menandingi Arief (petahana versus petahana).
Nah, yang menarik justru adalah
munculnya nama tokoh muda yang lagi
ramai-ramai digadang-gadang yaitu Fadhlin Akbar (Mohammad Fadhlin Akbar-red),
menarik untuk dianalisa. Ada beberapa analisa mengenai sosok anak muda ini.
Pertama, Fadhlin adalah anak muda
yang usianya lebih muda dari Arief dan juga sebagai anak dari mantan walikota
dan juga anak dari gubernur terpilih.
Kedua, dukungan politik terhadap
WH pada Pilgub (Pemilihan Gubernur-red) kemarin itu dapat menjadi salah satu
catatan bahwa ada kekuatan besar yang akan kembali mendukung keluarga WH di
Pilkada Kota Tangerang ke depannya. Hal ini dapat dijadikan dasar untuk merebut
tahta kekuasaan Kota Tangerang untuk menjaga kondusifitas kekuasaan
pemerintahan.
Ketiga; untuk menjaga
kesinambungan pemerintahan dengan kabupaten dan kota, maka Fadhlin sudah
saatnya untuk menjaga dan merawat daerah ini dan siap berpartisipasi dalam
kontestasi dalam mengamankan kebijakan gubernur.
Keempat; WH sebagai gubernur
sejatinya menginkan sinkronisasi kepala daerah (gubernur) dengan kepala daerah
lainnya ( bupati dan walikota) untuk mewujudkan visi misi Banten ke depannya.
Kelima; jika benar terjadi Arief
dan Sachrudin pecah kongsi maka akan besar kemungkinan Fadhlin menjadi kuda
hitam untuk menjadi penantang keduanya dan bisa adu jitu strategi untuk memenangkan
Pilkada di Kota Tangerang.
Dalam analisa tersebut menjawab
kebutuhan bahwa dalam demokrasi dibutuhkan rival dalam kontestasi, dan rival
keduanya sesungguhnya adalah Fadlin Akbar ini.
Catatan ini penting karena
bagaimanapun WH tidak tinggal diam jika pilihannya adalah Fadhlin, dan dapat
dipastikan jika terwujud maka WH akan all
out untuk menjadikan Fadhlin sebagai penantang sejati keduanya.
Dari itu semuanya maka kiranya
sosok Fadhlin yang mewakili generasi Z ini akan mendapatkan sokongan kelompok
milenial dalam partisipasinya di Pemilukada tahun 2018.
Wallahu a'lam bisshowab. ***
Penulis adalah:
Dosen pada Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP),
Universitas Muhammadiyah Tangerang (UMT).
0 Comments