![]() |
Kondisi tambang PT Freeport Indonesia di Timika. (Foto: Istimewa) |
NET - Permasalahan
Freeport di Indonesia bukanlah membawa kesejahteraan rakyat Papua,
melainkan menyengsarakan sebagaian besar
rakyat Papua. Pasalnya Corporate Social Responsibility (CSR) dalam Undang-Undang
Pereseroan Terbatas (UU PT) Nomor 40 Tahun 2007 cukuplah lemah, besarnya
jumlah bantuan CSR tidak disebutkan dalam UU PT tersebut.
“Padahal bila kita berhitung secara matematis dan
logika sederhana saja, bila Freeport dan Pemerintah Indonesia pada masa yang
lalu konsisten tentunya rakyat Papua sekarang tidak ada yang sengsara," ujar juru bicara Komiter Rakayt Nasional
(Kornas) Akhrom Saleh kepada wartawan, Selasa (28/3/2017).
Bila CSR bersifat mendidik, kata Akhrom, pastinya rakyat Papua sudah lepas landas bukan
malah semakin mundur dalam konteks apapun. Misalnya, CSR dibidang usahawan,
selama 10 tahun kebelakang semasa pemerintah Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY),
sudah pasti banyak mencetak pengusaha baru yang bekerja sama dengan Freeport
secara berkesinambungan.
"CSR Freeport bila secara asumsi memiliki
keuntungan 10 triliun rupiah per tahun, maka satu persen nya bila tidak salah
hitung maka CSR nya adalah 100 miliar rupiah dalam pertahun. Dapat dibayangkan bila
itu direalisasikan dengan baik dan konsisten untuk masyarakat Papua
khususnya," ungkap Akhrom.
Belum lagi Freeport memiliki limbah berbahaya
(B3), yang berdampak pada lingkungan, yakni kerusakan lingkungan berdampak pada kehidupan
manusia, sehingga timbul pertanyaan apakah hal ini menjadi perhatian khusus
Pemerintah Daerah ? Sangat disayangkan bila Bupati Timika hanya berdiam diri
serta hanya menikmati hasil bumi Timika saja.
"Pengelolaan CSR bila salah urus maka menjadi
korupsi gaya baru korporasi khususnya dibidang pertambangan, pelaporan
pendapatan hasil tambang dapat dimanipulasi, sehingga CSR pun secara otomatis
termanipulasi besarnya untuk dikeluarkan. Begitu juga pembayaran Pajak dan
Royalti kepada negara turut serta termanipulasi," tutur Akhrom.
Oleh karenanya, kata Akhrom, menjadi harapan kami Komite Rakyat Nasional
khususnya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kementerian ESDM untuk
bekerja sama dalam mengaudit hasil pendapatan emas PT Freeport Indonesia, baik
PT FI itu dan Dinas Pertambangan, Dinas
Kehutanan serta instansi terkait lainnya, bila perlu Bupati Mimika yang sudah
terperiksa sebagai tersangka penggunaan ijazah palsu turut diperiksa.
"Sehingga transparansi pendapatan emas dapat
diketahui berapa hasil perhari, perbulan, dan pertahunnya. Bila negara
mengetahui maka manipulasi pajak, royalti dan CSR dapat dihindari serta bisa
dikontrol dengan memegang prinsip kesejahteraan rakyat Indonesia khususnya rakyat
Papua," kata Akhrom. (dade)
0 Comments