![]() |
Dodi Prasetya Azhari. (Foto: Dokumentasi pribadi) |
Oleh Dodi Prasetya Azhari SH
MENGKRITISI ucapan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok soal
memilih berdasarkan agama itu melawan konstitusi.
Hal tersebut
disampaikan Ahok dalam sambutan acara Serah Terima Laporan Nota Singkat
Pelaksanaan Tugas Plt Gubernur ke Gubernur Petahana DKI Jakarta, di Balaikota
DKI Jakarta, Sabtu (11/2/2017).
Ini adalah suatu
pernyataan yang keliru dan cenderung menyesatkan. Padahal dalam masa tenang ini
seharusnya semua pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur (Paslon Cagub dan
Cawagub) mampu menahan diri dan sama-sama mengedepankan situasi yang kondusif
demi terselenggaranya Pemilihan Kepala
Daerah (Pilkada) yang aman bukanlah malah bertindak sebaliknya mencoba
mengarahkan pilihan para aparatur sipil negara (ASN) saat serah terima jabatan
kembali sebagai Gubernur DKIJakarta dari masa cutinya.
Perlu diketahui
bersama bahwa seorang pejabat birokrat diangkat dengan disumpah taat kepada Undang-Undang
Dasar (UUD) 1945 dan dasar negara Pancasila atau disumpah dengan konstitusi.
"Konstitusi
yang sah dan legal di NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia-red) yaitu UUD NRI (Negara Republik Indonesia-red) 1945. Jelas, tidak melarang apalagi menganggap
memilih pemimpin berdasarkan agama sebagai melawan konstitusi,".
Pasal 29 ayat (2)
UUD 1945 yang menyebutkan bahwa: 'Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama
dan kepercayaannya itu'.
Perlu ditegaskan
bahwa kebebasan memeluk agama dan beribadah juga diatur di pasal 28 UUD 1945.
Kebebasan yang
dikaruniai oleh Allah SWT kepada manusia mendapatkan tempatnya juga ketika kita
hendak memilih pemimpin. Tetapi, seperti dipahami bahwa kebebasan kita adalah
kebebasan dalam ketergantungan kepada perintah dan larangan Allah SWT sesuai Tuntunan
Agama yang terdapat dalam Kitab Al Quran dan Hadist bila dalam Agama Islam,
maka kebebasan memilih pemimpin pun demikian. Kita bebas bertindak, melakukan
perbuatan memilih tetapi dalam kebebasan itu, kita melakukannya dalam kehendak
dan kemuliaan kita sebagai Pemeluk Agama. Kebebasan yang dilaksanakan tanpa
adanya hubungan dengan Agama, jelas bukan kebebasan yang baik sesuai dengan
ajaran agama islam.
"Dan di
antara ajaran Agama Islam, adalah tentang kepemimpinan dan memilih pemimpin,
sebagaimana diatur Alquran dalam Surat Al-Maidah ayat 51 itu,".
Tentang negara
ini Negara Pancasila bukan Negara Islam sehingga non- muslim berhak menjadi
Gubernur bahkan Presiden sekalipun. Untuk pernyataan ini, saya yakin umat Islam
sama sekali tidak keberatan atas dipilihnya non-muslim sebagai Gubernur, bahkan
Presiden sekalipun. Akan tetapi umat Islam akan sangat berkeberatan bila ada
pihak-pihak yang membatasi keyakinan umat Islam tentang kewajiban memilih
pemimpin diantara sesama Muslim dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Negeri ini
dibangun dalam landasan Perjanjian luhur Bangsa Indonesia dimana Pancasila
disepakati sebagai Landasan Fundamental Ideologi Bangsa dengan memberikan
kebebasan penuh bagi warga negara untuk melakukan ibadah sesuai dengan
keyakinannya tanpa menyakiti keyakinan orang lain. Bila kemudian orang Islam hanya
memilih Pemimpin Islam berdasarkan keyakinannya berakibat pada sempitnya
kesempatan kalangan non-Islam untuk terpilih dalam pemilihan yang dikarenakan
mayoritas adalah umat Islam, itu adalah sebuah konsekuensi logis dari sebuah Demokrasi.
Demokrasi yang
mana faktanya juga umat Islam tidak akan mempermasalahkan saat di suatu daerah
penduduk Muslim Minoritas seperti di NTT (Nusa Tenggara Timur-red) dan Papua juga Bali.
Kemudian tidak ada Wakil Islam yang terpilih di sana. Umat Islam akan sangat
menerima dengan jiwa besar dan mendukung sepenuhnya.
Kalau ada orang,
misalnya ulama atau ustadz, yang mengimbau masyarakat untuk tidak memilih
pemimpin non-muslim, apa masalahnya? Itu hak politik mereka. Selama ini, tak
ada larangan bagi seseorang, termasuk ulama, memiliki pandangan politik.
Lalu, mengapa
Ahok menuduh orang yang memiliki tafsir demikian sebagai pembohong dan orang
yang membodoh-bodohi? Itulah kesalahannya. Ia sudah masuk ke ranah tafsir
orang, apalagi Ahok bukan muslim. Ia boleh saja tak suka atau tak setuju dengan
tafsir seperti itu.
Tapi, ia tak
berhak melarang orang memiliki tafsir lain, apalagi kalau orang tersebut ulama
yang dianggap memiliki ilmu agama yang tinggi. Kalau ada dua ulama yang
memiliki tafsir berbeda, salah satu tafsir di antara keduanya tak bisa
dikatakan salah.
Berbeda bukan
berarti salah. Bisa jadi keduanya betul. Sekarang pertanyaannya, siapa yang
bisa memastikan salah satu tafsir itu salah? Belum ada, bukan? Jadi, tak ada
yang boleh menyalahkan salah satu tafsir.
Jadi, Ahok
sebagai non-muslim tak punya hak melarang muslim menafsirkan ayat Alquran,
apalagi menuduh orang yang punya tafsir itu sebagai pembohong dan membodohi
orang.
"Jadi
pernyataan Basuki Tjahaja Purnama, Cagub yang kini sudah berstatus terdakwa
dalam kasus penistaan Agama itu, jelas malah itulah yang bertentangan dengan
Konstitusi RI yaitu UUD NRI 1945".
Penulis adalah:
Ketua Umum Suara Kreasi Anak Bangsa (SKAB), sekaligus
Pengamat Pelaksanaan Proses Demokrasi Indonesia.
0 Comments