Fahira Idris di antara sejumlah tokoh: kekerasan seksual. (Foto: Dade, TangerangNET.Com) |
NET - Fahira
Idris mengatakan dalam lima tahun terakhir, jumlah kekerasan terhadap anak di
seluruh Indonesia menembus angka 21,6 juta kasus yakni 58 persen merupakan
kekerasan seksual. Persoalan terbesar yang terjadi saat ini adalah, Indonesia
belum memiliki sistem perlindungan perempuan dan anak yang komprehensif dan
melibatkan seluruh masyarakat.
"Hal inilah
yang mengakibatkan angka kekerasan terus meningkat dan melahirkan persoalan
seperti, korban kekerasan takut melapor, baik karena fasilitas pelayanan dan
pengaduan yang belum optimal maupun ketidakpahaman terhadap persoalan hukum.
Kondisi inilah yang menjadi latar belakang lahirnya GPPA sebuah gerakan
Mendukasi, Pencegahan, Perlindungan, Advokasi untuk Perempuan dan Anak dari
berbagai kekerasan," ujar Fahira,
Kamis (11/8/2016), di Gedung BPMJ Polda Metro Jaya Jl. Jend. Sudirman 55
Jakarta.
Gerakan
Pencegahan Perlindungan Anak (GPPA), kata Fahira, bekerjasama dengan Polda
Metro Jaya, dan Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Himpunan Advokat Muda Indonesia
(HAMI) DKI Jakarta untuk memberi bantuan hukum probono atau gratis bagi
perempuan dan anak yang menjadi kekerasan. Kondisi ini ditambah dengan masih
rendahnya komitmen stakeholders terutama kementerian/lembaga untuk
mengintegrasikan isu perlindungan anak dan perempuan dalam perencanaan
pembangunan.
Fahira
menjelaskan di Indonesia kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak mengalami
peningkatan signifikan tiap tahunnya, dan Jakarta menjadi salah satu provinsi
yang tercatat dengan jumlah kasus kekerasan terbanyak. "Namun, persoalan
terbesar yang terjadi saat ini adalah, Indonesia belum mempunyai sistem
perlindungan anak dan perempuan yang komprehensif yang melibatkan seluruh
elemen masyarakat," ujar Fahira, penggiat sosial tersebut.
Oleh karena itu, kata
Fahira, ketiadaan sistem inilah yang mengakibatkan angka kekerasan elemen
masyarakat. Ketidadaan sistem inilah yang mengakibatkan angka kekerasan terus
naik dan melahirkan berbagai persoalan salah satunya kebanyakan korban
kekerasan takut melapor, baik karena fasilitas hukum.
Persoalan lainnya
adalah maindset masyarakat yang masih menganggap kekerasan terhadap anak dan
perempuan adalah kejahatan biasa, padahal komitmen internasional sudah
menegaskan bahwa kejahatan terhadap anak dan perempuan masuk dalam ketegori kejahatan
luar biasa. "Pada saat Pemilu, sangat jarang calon anggota dewan yang punya program perlindungan anak dan perempuan,"
ungkap Fahira yang juga anggota DPRD DKI Jakarta itu.
Sementara itu,
sangat sedikit calon kepala daerah yang mencantumkan konsep perlindungan anak
dan perempuan dalam program aksinya. Namun, kita belum ada perangkat hukum yang
tegas dan komprehensif serta penegakan hukum yang belum maksimal terhadap
kekerasan anak dan perempuan.
Memang sudah ada
peraturan perundang-undangan (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, UU Penghapusan
KDRT, UU Perlindungan Anak, UU PTPPO, dan lainnya) yang mengatur beberapa
bentuk kekerasan namun sangat terbatas bentuk dan belum spenuhnya mampu
merespon fakta kekerasan yang berkembang di masyarakat. "Pada umumnya
mampu sistem hukum lebih memberi fokus pada penanganan dan penindakan
pelaku," ucap Fahira.
Selain itu, kata
Fahira, upaya keterlibatan masyarakat untuk mencegah kekerasan seksual, dan
mencegah tindakan yang menyalahkan dan mengucilkan korban dan keluarga dan
mendukung adanya kondisi yang bebas dari kekerasan juga belum dibunyikan dalam
UU yang ada sekarang. Khusus untuk anak, Presiden sudah menerbitkan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang
Perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. (dade)
0 Comments