Kepala BMKG Pusat Dr Andi Eka Sakya bersama jajaran saat memberi penjelasan kepada wartawan. (Foto: Dade, TangerangNET.Com) |
NET -- Badan Meterorologi Klimatologi dan Geofisika
(BMKG) telah merilis Maret 2016 sebagian besar wilayah Indonesia diprediksi
awal musim kemarau 2016 mundur. Hal ini sesuai dengan hasil evaluasi awal musim
kemarau sampai dengan pada Mei 2016 menunjukkan baru sekitar 31,6 persen daerah yang sudah
memasuki musim kemarau.
Kepala BMKG Pusat Dr
Andi Eka Sakya mengatakan monitoring dinamika atmosfer sampai awal Juni 2016
menunjukkan bahwa El Nino sudah meluruh menjadi Netral (Nilai Indeks ENSO = -
0,09).
"Saat ini kondisi
angin monsun timuran mulai menguat, menunjukkan kita berada pada musim peralihan (transisi)
dari musim hujan ke musim kemarau," ujar
Andi Eka Sakya kepada wartawan, Jumat (3/6/2016), di Gedung Serba Guna BMKG, Jakarta.
Sementara itu, kata
Andi, berdasarkan statistik kejadian dalam 50 tahun terakhir, 75 persen El Nino
kuat dapat diikuti oleh munculnya La Nina. Dengan demikian, diperkirakan El
Nino 2015/2016 sangat berpualang diikuti oleh La Nina.
Andi mengatakan BMKG
memprediksi peluang La Nina mulai muncul pada periode Juli, Agustus, dan
September 2016 dengan intensitas lemah sampai sedang. "Namun, bersamaan
dengan menculnya La Nina, terdapat pula fenomena lain yang perlu diperhatikan
yaitu Dipole Mode Negatif. Yakni kondisi suhu muka lautdi bagian Barat Sumatera
lebih hangat dari suhu muka laut di pantai timur Afrika, sehingga menyebabkan
tambahan pasokan uap air yang dapat menyebabkan bertambahnya curah hujan untuk
wilayah Indonesia bagian Barat," ungka Andi.
Sementara itu, Indeks
Dipole Mode diprediksi menguat pada Juli-September yang dapat memicu bertambahnya
potensi curah hujan di wilayah barat Sumatera dan Jawa. Untuk wilayah Jawa
Timur, Bali, dan Nusa Tenggara tidak berdampak oleh Dipole Mode dan sifat hujan
di wilayah tersebut pada musim kemarau 2016 diprediksi normal.
Daerah-daerah yang
diprediksi mengalami curah hujan atas normal pada periode musim kemarau (Juli,
Agustus, September) meliputi Sumatera Utara bagian Barat, Sumatera Barat bagian
Barat, Sumatera Selatan, Lampung, Jawa Bagian Barat, Kalimantan Utara,
Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan,
Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Papua.
Andi menjelaskan perlu
diwaspadai terjadinya fenomena La Nina yang bersamaan dengan terjadinya Indeks
Dipole mode negatif dapat berdampak pada meningkatnya potensi curah hujan pada
periode musim kemarau 2016 dan periode musim hujan Tahun 2016/2017. "Hal
ini memungkinkan beberapa daerah mengalami periode musim kemarau dengan sifat
hujan atas normal (kemarau basah) dan periode musim hujan dengan curah hujan
tinggi yang dapat berpotensi menimbulkan banjir," ungkapnya.
“Dampak positif
terjadinya kemarau basah terhadap sektor pertanian adalah meningkatnya luas
lahan tanam dan produksi padi. Namun, perlu diwaspadai munculnya serangan hama
penyakit tanaman pada kondisi tanah yang lembab,” urai Andi.
Andi mengungkapkan
dampak negatif dari kemarau basah di antaranya menurunnya hasil produksi
beberapa komoditas perkebunan seperti tembakau, tebu, dan teh serta tanaman
hortikultura lainnya.
"Pada kondisi La
Nina, hangatnya suhu muka laut dapat berdampak positif bagi meningkatnya
tangkapan ikan tuna, sementara kurang begitu menguntungkan bagi para petambak
garam," kata Andi. (dade)
0 Comments