![]() |
Yudi Purwantoro dan pejabat BPPT saat menyampaikan penjelasan kepada wartawan. (Foto: Dade, TangerangNET.Com) |
NET - Badan Pengkajian
dan Penerapan Teknologi melalui Pusat Teknologi Elektronika (PTE), menyebut
pihaknya memiliki teknologi navigasi surveillance (pemantauan,red) di bandara.
Keunggulan inovasi BPPT ini, adalah buatan dalam negeri, kemudian harganya
lebih terjangkau tanpa mengorbankan kecanggihan.
Inovasi BPPT ini tetap
mengedepankan dan menerapkan teknologi terkini, dan kejadian tabrakan pesawat
di Bandara Halim Perdana Kusuma beberapa waktu lalu harusnya dapat dihindari. "Alat navigasi
ini, dirancang menggunakan komponen yang dapat diperoleh di pasaran," ujar
Direktur Pusat Teknologi Elektronika Yudi Purwantoro, Selasa (19/4), di Executive
Lounge Lobby Gedung II BPPT, Jalan MH Thamrin, Jakarta.
Sementara itu, inovasi
ini pun telah mencapai desain purwarupa dan akan uji fungsi di lapangan dan
laboratorium sebagai bagian dari sertifikat. Teknologi tersebut siap diaplikasi
setelah sertifikat dan ada industri nasional yang melakukan komersialisasi, dan
kemudian juga berbasis software open source atau perangkat lunak berbasis
terbuka, kata Yudi.
Oleh karena itu, kata
Yudi, mudah dalam pemeliharaannya, didukung, dan pemangku kebijakan terkait,
khususnya dalam hal regulasi. "Selain itu, juga ada industri nasional yang
siap melakukan komersialisasi. Hal itu dapat berimbas pada keselamatan publik
dan mengganggu reputasi dan kredibilitasi industri penerbangan nasional di mata
publik nasional maupun internasional," ujarnya.
Yudi mengatakan
sebagai informasi bahwa kecelakaaan di Bandara Halim Perdana Kusuma beberapa
waktu lalu tidak boleh terulang. Bahkan kejadian itu dapat memengaruhi
klasifikasi keselamatan penerbangan Indonesia yang dilakukan oleh otoritas
penerbangan sipil internasional (International Civil Aviation Organisation,
ICAO). Namun, semoga Inovasi teknologi navigasi udara karya anak bangsa ini
segera menjadi solusi bagi dunia aviasi nasional.
Sementara itu, Kepala
Balai Besar Teknologi Energi BPPT Andhika Prastawa menjelaskan perubahan dalam
paradigma pengelolaan energi ini memiliki implikasi, baik pada tataran
kebijakan maupun pada tataran implementasinya. Karena itu kebijakan energi
nasional saat ini adalah mengubah pola pengelolaan dari sisi suplai (supply
side management) menjadi pola pengelolaan dari sisi kebutuhan (demand side
management).
Pembangunan infrastruktur
Indonesia telah menjadi prioritas nasional guna memacu pertumbuhan ekonomi,
juga meningkatnya pembangunan infrastruktur akan selaras dengan kebutuhan
konsumsi energi yang juga tidak sehat. "Namun, berangkat dari kebijakan
tersebut Balai Besar Teknologi Konversi Energi (B2TKE-BPPT) yang memiliki
tupoksi kegiatan pada riset kelistrikan di BPPT, memfokuskan diri pada layanan
teknologi bidang audit energi yang ditujukan pada sektor industri, rumah
tangga, publik dan bangunan komersial," ungkap Andhika.
Audit energi ini dapat
memberikan rekomendasi peningkatan efisiensi energi dengan skema tanpa
investasi, dengan investasi rendah, dan dengan investasi tinggi. Namun, secara
aggregat untuk sektor industri dan rumah tangga saja berpotensi menunda
kebutuhan pembangunan pembangkit listrik baru sebesar 6.951 MW dalam satu
dekade kedepan.
Hal ini berarti Pemerintah
dapat menghemat pengeluaran untuk pemb angunan pembangkit (asumsi PLTU batu
bara) sebesar Rp 190 triliun, berarti penghematan bahan bakar batu bara sebesar
32 juta ton per tahun atau setara dengan Rp 16,5 triliun. "Belum lagi
biaya eksternalitas yang dapat dihindari akibat pencemaran udara PLTU batubara
yang berkirakan sebesar Rp 2,4 triliun dalam bentuk avoided cost biaya
kesehatan masyarakat dan akibat lain pencemaran udara," katanya.
Oleh karena itu,
konsumsi energi listrik nasional pada 2014 adalah sebesar 198.601,78 GWh atau
meningkat 5,90 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Kelompok pelanggan
industri mengonsumsi 65.908,68 GWh (33,19 persen), rumah tangga 84.086,46 GWh
(42,34 persen), bisnis 36.282,42 GWh (18,27 persen), dan lainnya (sosial,
gedung pemerintah dan penerangan jalan umum) 12.324,21 GWh (6,21 persen).
"Dengan demikian
sektor rumah tangga dan industri berpotensi untuk dilakukan usaha-usaha
penghematan, upaya pemberlakukan label tingkat hemat energi peralatan listrik
menjadi pilihan kebijakan," ujar Andhika. (dade)
0 Comments