![]() |
Diskusi Kajian Timur Tengah: radikal dan terorisme. (Foto: Dade, TangerangNET.Com) |
NET - Silang pendapat pun terus berlanjut antara penegasan gerakan terorisme sesuatu yang nyata dan
kebeadaannya harus diwaspadai dengan pendapat yang seringkali menganggap enteng
isu terorisme karena dianggap hanya rekayasa pihak tertentu.
Pendapat itu
mengemukan dalam seminar Focus Group Discussion (FGD) yang
digelar Program Kajian Timur Tengah dan Islam (PSKTTI) Universitas Indonesia
yang dihadiri Ulama dan Cendikiawan dalam mencari penyelesaian radikalisme dan
terorisme atas nama agama menghadirkan, Prof. Dr. Irvan Idris (Direktur
Deradikalisasi BNPT), Dr. Muhammad Lutfi Zuhdi (PSKTTI), KH. T. Zulkarnaen
(Wasekjen MUI), Prof. Dr. Endang Turmudzi (LIPI), Ust. Zaetun Rasmin
(KetuaOrmas Wahdah Islamiyyah), Dr. Yon Mahmudi (UI), Dr. Sri Mulyati (Muslimat
NU), Dr. M. Nurul Irvan (UIN Jakarta), dan Ahmad Zubaidi, MA (Universitas Islam
As-Syafiyah).
Dalam pembuka diskusi Cholil Nafis menyatakan radikalisme dan
terorisme atas nama agama adalah fenomena yang tidak dapat dipungkiri apapun penyebabnya.
Ia menyatakan sisi yang harus menjadi perhatian adalah mengapa ada orang yang
mau bergabung pada kelompok-kelompok radikal dan bahkan mau menjadi martir
untuk melakukan terorisme.
“Karena itu penanganan terorisme dan
radikalisme adalah wajib, karena pada hakekatnya justru akan menyelematkan
mereka kepada jalan jihad yang benar,” katanya, Senin (29/2), di UI Salemba,
Jakarta.
Sementara itu, Dr Lutfie, terkait dengan isu
pesantren menjadi sarang terorisme sebenarnya tidak benar, yang benar justru
pesantren tersebut menjadi incaran terorisme. Di samping memang ada pesantren
yang memang mengajarkan terorisme yang didasari oleh oleh keinginan untuk
mengadakan perubahan secara radikal di Indonesia.
“Karena menurut mereka bentuk negara Indonesia
belum final,” ujar Lutfie.
Irvan Idris, menjelaskan fenomena radikalisme
dan terorisme ini merupakan ekstra ordinary crime, agains humanity, dan gerakannya bersifat
bounderless. Terorisme lahir karena radikalisme. “Fenomena ini sangat
menyedihkan ketika para pelaku bom bunuh diri adalah remaja usia 13-18 tahun,”
ungkapnya.
Irvan menjelaskan solusi untuk mencegah
gerakan radikal terorisme dengan melindungi masjid dan pesantren dari
pembajakan kaum teroris. Karena mereka berusaha menguasai masjid dan pesantren
untuk menyukseskan misinya di masa yang akan datang.
“Salah satu cara pencegahan adalah dengan soft
approuch tidak mendahulukan pendekatan kekerasan. Terutama juga dengan mengawal
para teroris yang ada di dalam lapas dan yang sudah keluar dari lapas. Kita
kalah dalam penyebaran dakwah Islam rahmatan lil alamin, dibandingkan dengan
bulletin-bulletin yang disebarka oleh mereka,” ungkapnya.
Sementara itu, K Tengku Zulkarnaen
mengatakan, Indonesia secara aktif harus turut mendamaikan dunia. Intoleransi
berakar dari pemahaman agama yang keliru dan sesat serta tekstual. Pemahaman
tekstualisme mengakibatkan paham radikal dan merasa benar sendiri.
Menurut Tengku, dalam mengatasi masalah
seperti ini seharusnya ulama diajak bukan ditinggalkan dalam penanggulangan
terorisme. Pemerintah lebih memilih pendekatan keamanan.
“Karena itu terorisme makin berkembang. Kalau
mau berhasil dalam deradikalisasi maka harus harus dengann pendekatan soft”
ujarnya.
Sedangkan menurut Zaetun, FGD semacam ini
harus banyak dilakukan untuk menuntaskan persoalan radikalisme dan terorisme.
Bahwa akar masalah teroris itu sebenarnya, karena adanya pemahaman yang keliru
tentang jihad, nahi mungkar, sikap terhadap orang kafir, pembalasann terhadap
kezaliman orang kafir, hijrah, dan khilafah. “Kenapa ada orang kampenye khilafah
dibiarkan!. Nahi munkar harus dilakukan oleh pihak yang berkompeten. Penanganan
kekerasan tidak boleh dengan kekerasan,” ujarnya.
Sementara itu, mantan Sekjen PBNU, Endang
Trumudzi, bahwa radikalisme dalam term Barat adalah terorisme. Gerakan NII luar
biasa dan nyambung dengan Jamaah Islamiyyah dengan mengirim ke Afgan, dan
sepulang dari Afgan mereka semakin Radikal. Radikalisme lebih bahaya dari
terorisme, sehingga menangani isme harus lebih gencar dari penanganan gerakan
teror itu sendiri,” ujaranya. (dade)
0 Comments