Berita Terkini

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Pengembangan Wilayah Megapolitan Jabodetabekpunjur, Bisa Tenggelamkan Jakarta

Oki Oktariadi saat memberi penjelasan kepada wartawan.
(Foto: Dade, TangerangNET.Com)   
NET -  Bila wilayah Jabodetabekpunjur (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur) dikembangkan sebagai sebuah megapolitan, kemungkinan Jakarta, Tangerang, dan Bekasi akan semakin tenggelam oleh meningkatnya aliran permukaan.

Kepala Pusat Sumber Daya Air Tanah dan Geologi  Lingkungan Badan Geologi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Oki Oktariadi mengatakan megapolitan adalah fenomena pertumbuhan wilayah perkotaan akibat menyatunya beberapa wilayah metropolitan yang terjadi secara alamiah dan tanpa dikehendaki.

"Bersyukurlah ternyata yang disahkan adalah Peraturan Presiden No.54 Tahun 2008 tentang Kawasan Jabotedabekpunjur yang mengarahkan pengembangan ke arah timur dan barat wilayah pesisir meliputi Jakarta, Tangerang, dan Bekasi (Jatabek)," ujar Oki Oktbariadi kepada wartawan, Senin (14/12/2015).

Hal itu dikatan Oki saat Koordnasi Media dan Kemitraan dengan tema "Sosialisasi Peran dan Fungsi Badan Geologi untuk Masyarakat Perkotaan", di Kantor Badan Diklat ESDM, Jalan. Gatot Subroto kav 49, Jakarta.

Sementara itu, wilayah Selatan seperti Bogor, Puncak, dan Cianjur (Bopunjur) yang berada di bagian hulu atau imbuhan air tanah diharapkan dapat dipertahankan sebagai kawasan konservasi air untuk menyelamatkan kawasan bawahan yaitu Jatabek.

“Pengembangan Jabodetabekpunjur tidak bisa lepas dari konsep river basin development,” ungkap Oki.

Oki menjelaskan megapolitan pada hakeketanya adalah road basin development menetapkan pengembangan wilayah megapolitan Jabodetabekpunjur akan pada pelaksanaan pembangunan secara masif dan besar-besaran yang mengarah ke Selatan ke arah Bogor sampai ke Cianjur. Dengan demikian,  daerah imbuhan air tanah (resepan air) akan banyak tertutup dan bisa menyebabkan aliran permukaan meningkat yang akhirnya wilayah bawahan banjir.

"Oleh karena itu, bisa dibayangkan apa jadinya bila wilayah Jabotabekpunjur dikembangkan sebagai sebuah megapolitan. Kemungkinan Jakarta, Tangerang, dan Bekasi akan semakin tenggelam oleh meningkatnya aliran permukaan bisa terjadi seperti yang dirasakan saat ini. Istilah yang digunakan awalnya adalah megalopolis, dicetuskan tahun 1961 oleh seorang ilmuwan Perancis Profesor  Jean Gottmann," ujarnya.

Pada awalnya, kata Oki, beliau menggunakan istilah megalopolis untuk sebuah wilayah perkotaan yang berkembang sangat pesat di sepanjang pesisir timur Amerika Serikat. Namun, beliau meminjam istilah ini dari perancang kota kuno Yunani pada zaman dahulu yang diriwayatkan adanya sekelompok manusia kota kuno Yunani pada zaman dahulu yang diriwayatkan adanya sekelompok manusia di Peloponnesus Yunani yang merencanakan pembangunan sebuah kota raksasa bernama megalopolis.

Oki menjelaskan impian mereka tidak pernah menjadi kenyataaan, kota megalopolis yang mereka bangun. Sekarang ini tidak lebih dari sebuah kota kecil yang tercantum dalam peta modern Peloponnesus.

"Namun istilah tersebut kurang berkenan bagi beberapa institusi di Amerika Serikat, salah satunya adalah Regional Plan Association, sehingga muncul beberapa istrilah seperti  transmetropolitan, urban region, super city," ungkap Oki.

Sementara itu, kata Oki, ternyata berbagai macam istilah tersebut tidak dapat diterima secara umum dan akhirnya lambat laun istilah megapolitan menjadi kesepakatan bersama. Istilah megapolitan itu mulai digunakan pada wilayah perkotaan yang berkembang pesat di Amerika Serikat, terbentang dari selatan New Hampsire sampai ke Utara Virginia dan dari pantai Atlantic sampai ke kaki bukit Applachian.

Oki mengungkapkan di sepanjang koridor dengan panjang lebih kurang 600 mil (atau lebih kurang 1.000 Km) dan lebar bervariasi dari 30 sampai 60 mil tersebut terdapat pertumbuhan wilayah perkotaan yang kontinu yang menyatukan 5 kota metropolitan utama, yaitu Boston, New York, Philadelphia, Baltimore, dan Washington (sekarang ini popular dengan sebutan Boswash).

Namun, apabila  melakukan perjalanan menggunakan kendaraan atau naik kereta api di sepanjang koridor ini maka sejauh mata memandang yang tampak hanya bangunan. "Jumlah penduduk yang menghuni koridor ini pada 1961 mencapai 37 juta jiwa dengan kepadatan 700 jiwa per square mile, sedangkan pada  2003 jumlah penduduknya mencapai 50 juta jiwa dengan kepadatan 1150 jiwa persquare mile," kata Oki.

Secara geografis wilayah megapolitan umumnya memiliki karakteristik daerah pesisir yang perkembangan koridor wilayahnya ditandai dengan pertumbuhan fisik kota-kota menyatu secara kontinu/tanpa terputus. Konsentrasi penduduk dan bangunan sangat tinggi, kegiatan sangat heterogen dengan fungsi-fungsi yang padat. Corak masyarakat bergaya hidup kota dan tidak ada lagi dichotomy rural urban, mobilitas social ekonomi sangat tinggi. (dade)



Post a Comment

0 Comments