Oleh Dodi
Prasetya Azhari, SH
![]() |
TPP adalah
perjanjian perdagangan bebas yang melibatkan sejumlah negara di kawasan Asia
Pasifik, dengan Amerika Serikat (AS) sebagai motor utamanya. Perjanjian ini
bersifat komprehensif, yang meliputi liberalisasi di semua sektor menyangkut
barang, jasa, dan investasi, dengan sifat terjadwal dan mengikat secara legal.
Isu-isu lainnya
yang biasa disebut isu “WTO Plus” yang dibahas dalam TPP adalah Intelectual Property
Rights atau Hak Kekayaan Intelektual (HAKI), kebijakan kompetisi (competition
policy), belanja Pemerintah (government procurement), dan fasilitasi
perdagangan. Artinya, TPP merupakan kesepakatan perdagangan bebas dengan
standar yang sangat tinggi, yang berada di atas standar kesepakatan perdagangan
bebas di WTO, APEC, dan ASEAN.
Dalam konteks
TPP, yang menarik adalah kebijakan investasi tersebut akan diarahkan pada pembentukan
pengadilan arbitrase negara investor. Di sini, sebuah perusahaan bisa menggugat
negara dalam posisi hukum yang setara (equal standing) jika terjadi konflik
investasi.
Trans-Pacific
Partnership (TPP) juga mempreteli hak istimewa Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
di setiap negara anggota dan menyetarakannya dengan perusahaan swasta biasa.
TPP juga diwajibkan membubarkan perusahaan BUMN karena dianggap tidak adil
dalam sistem persaingan dengan perusahaan swasta. Yang menonjol dalam TPP ini
adalah perdagangan dan investasi bisa berkembang di negara apabila intervensi Pemerintah
dihilangkan dan dunia usaha diberi kebebasan sepenuhnya untuk menanggapi sinyal
ekonomi pasar.
Ada ketimpangan
pasar bebas yang membuat Indonesia hanya menjadi obyek dalam parthnership.
Indonesia akan mengalami kerugian yang besar jika tetap memaksakan diri bergabung
ke dalam TPP tanpa memperhitungkan kekuatan internal. Mempreteli hak istimewa
BUMN artinya, dalam konteks Indonesia, BUMN bukan lagi sebagai kepanjangan
tangan negara untuk mengelola sektor-sektor strategis yang menguasai hajat
hidup orang banyak sebagaimana diamanatkan Pasal 33 UUD 1945.
Akan tetapi
diperlakukan sebagai badan usaha murni sebagaimana perusahaan swasta. Karena
dibandingkan dengan perjanjian dalam bentuk Free Trade Area (AFTA, CAFTA, AEC,
dan lainnya) TPP jauh lebih luas dan persyaratannya jauh lebih berat sehingga
cenderung menjauhkan Pelaksanaan Ekonomi berbasis konsitusi UUD 1945 dan
menyulitkan pencapaian kesejahteraan rakyat.
Meski demikian,
Indonesia harus tetap mencermati dan memperhatikan dinamika dan proses yang
terjadi di dalam negeri, tanpa harus tergesa-gesa untuk bergabung dalam TPP,
mengingat banyaknya hal yang bersifat internal maupun eksternal yang harus
dijadikan bahan pertimbangan. Seperti ekonomi Indonesia sendiri belum cukup
kuat untuk melibatkan diri dalam sebuah perjanjian perdagangan bebas yang
sangat komprehensif dan mengikat, dan masih rendahnya daya saing ekonomi
nasional secara umum dan banyaknya kelemahan dalam ekonomi domestik yang harus
lebih dahulu dibenahi.
Yang belum kita
lakukan adalah bagaimana menerjemahkan ekonomi Pancasila itu dalam realitas
kebijakan untuk kemandirian ekonomi. Pemerintah harus mengupayakan penurunan
kemiskinan, pengangguran. Jangan sampai TPP ini Pemerintah terkecoh karena
peluang ekspor sektor tertentu, namun merugikan sektor lain, terutama bagaimana
mencapai kemandirian dan keberdaulatan ekonomi demi kesejahteraan Rakyat
seperti visi besar Jokowi JK dengan Nawa Cita dan Trisakti. TPP tidak lebih
dari bentuk kolonialisme gaya baru.
Penulis: Ketua
Umum Suara Kreasi Anak Bangsa (SKAB)
0 Comments