
Tumpukan kayu gelondongan dan eskavator
seusai banjir bandang di Desa Aek Garoga,
Kecamatan Batang Toru, Kabupaten
Tapunuli Selatan, Sumatera Utara.
(Foto: Antara/Yudi Manar)
PENULIS harap kalian tidak bilang, preet! Bila perlu duduk yang rapi, Raja Juli sang Menhut (Menteri Kehutanan) kita telah berjanji. Janjinya bukan kaleng-kaleng, akan mengevaluasi besar-besaran perusahaan yang terkait pembalakan hutan. Simak narasinya sambil seruput Koptagul, wak!
Negara ini benar-benar punya bakat menjadi stand-up comedian tanpa latihan. Setelah 604 orang tewas, 402 hilang, 1,5 juta terdampak, dan 570 ribu mengungsi akibat "bencana tanda tangan" di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, barulah pemerintah, dengan wajah sok syahdu dan nada penuh penyesalan, mengeluarkan jurus pamungkas, evaluasi besar-besaran.
Di tengah tumpukan kayu gelondongan yang hanyut seperti kapal perang hutan yang tumbang, masyarakat menunggu jawaban. Muncullah Menhut Raja Juli Antoni. Ia berdiri seolah-olah baru saja menerima wahyu ekologis. Ia berkata, kayu gelondongan hanyut adalah bukti ada masalah serius dalam pengelolaan hutan. Tepuk tangan pun terdengar, bukan dari rakyat, tapi dari ironi yang sudah bekerja lembur sejak bencana dimulai. Masalah serius? Pak, hutan sudah bolong seperti saringan teh, dan baru sekarang Bapak merasa ada yang tidak beres?
Gelondongan-gelondongan itu bukan sekadar kayu. Mereka adalah surat pengunduran diri massal dari ekosistem, meluncur deras sambil berteriak, “Kami bosan ditebang sembarangan!” Mereka membawa tato bekas gergaji sebagai tanda, yang mati bukan hanya pohon, tetapi kesadaran ekologis negara yang sejak lama koma. Sementara itu, pemerintah meminta rakyat untuk sabar. Kalimat yang sudah diulang ribuan kali setiap kali negara kecolongan, ketiduran, atau pura-pura tidak melihat izin-izin yang dikeluarkan dengan kecepatan cahaya.
Greenpeace dan WALHI masuk dengan laporan lengkap. Kayu gelondongan yang berserakan bukan fenomena alam, tetapi tanda, pembalakan liar dan investasi ekstraktif sudah melewati batas kewarasan. Greenpeace menyebutnya bukti penebangan brutal di Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, dan Sibolga.
WALHI datang membawa data, ada 631 perusahaan tambang, sawit, dan energi yang beroperasi di kawasan hutan seluas 1,4 juta hektare. Ini menjadi penyumbang deforestasi yang membuat hutan menangis tanpa air mata. Sementara DPR RI tampil seperti pahlawan kesiangan, mendesak agar semua perusahaan dikupas tuntas, padahal banyak izin yang dulu lewat dari meja mereka sendiri.
Raja Juli kemudian menjanjikan evaluasi total. Izin-izin perusahaan HPH (Hak Pengusahaan Hutan), HTI (Hutan Tanam Industri), sawit, tambang. Semua akan ditinjau ulang. Investigasi sumber gelondongan akan dilakukan. Apakah itu dari pembalakan liar atau dari perusahaan yang “berizin tapi nakal”.
Namun ketika ditanya siapa perusahaan yang akan dibidik, jawabannya kosong seperti hutan yang sudah ditebang. Belum ada nama yang disebut. Bahkan satu saja pun tidak. Bukannya menyebut, pemerintah justru memberikan jawaban lembut seperti lagu pengantar tidur. “Kami masih dalam tahap evaluasi menyeluruh…”
Di tengah absurditas itu, muncullah Cak Imin mengirim surat resmi yang mengajak para menteri melakukan tobat nasuha. Ia menyebut bencana ini sebagai “tanda kiamat ekologis”. Ia menuntut Raja Juli, Bahlil Lahadalia, dan Hanif Faisol Nurrofiq untuk mengevaluasi total semua kebijakan ekstraktif, izin tambang, dan kelalaian yang selama ini dianggap enteng. Sebuah ajakan dramatis yang terdengar seperti adegan penutup sinetron Ramadhan, kecuali ini bukan fiksi, ini tragedi nasional.
Sementara pejabat masih sibuk berorasi dan bersurat-surat, warga di lapangan dikepung banjir, longsor, dan ketidakpastian. Basarnas mengangkat 447 jenazah. Lebih dari 33 ribu korban selamat berhasil dievakuasi. Jembatan ambruk, rumah tersapu sampai pondasi, dan gelondongan terus melaju, entah menuju muara atau menuju sejarah panjang kebodohan manusia.
Di antara semua suara bising itu, hanya kayu gelondongan yang jujur. Mereka hanyut sambil berbisik dalam bahasa alam yang tak lagi kita pahami, “Tenang, manusia…Kalian tinggal menunggu giliran.” (***)
Penulis adalah Ketua Satupena Kalbar



0 Comments