Berita Terkini

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Basa-Basi Seleksi, Pengkondisian Calon Pimpinan KPK, Diduga Bisa Kompromi Korupsi

Ilustrasi, kantor KPK di Jakarta. 
(Foto: Istimewa)  


NET – Dua praktisi hukum yakni Julius Ibrani dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) dan Alvin Nicola dari Transparancy Internasional Indonesia (TII) menilai seleksi calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hanya basa-basi, pengkondisian calon pimpinan KPK yang diduga bisa kompromi korupsi.

Yulius Ibarni mengatakan di tengah krisis integritas, sudah seharusnya Komisi III DPR RI memilih “manusia setengah dewa” dalam wujud Calon Pimpinan (Capim) dan Dewan Pengawas (Dewas) KPK 2024-2029 dengan rekam jejak nyaris sempurna, berpihak pada agenda pembenahan kelembagaan KPK dan pemberantasan korupsi. Faktanya, Komisi III DPR memilih calon dengan latar belakang bermasalah yang dekat dengan kepentingan politik.

“Koalisi Masyarakat Sipil menilai bahwa proses seleksi ini sudah cacat sejak awal,” ujar Yulius Ibarani kepada wartawan di Jakarta, Jumat (22/11/2024).

Pertama, kata Yulius, Panitia Seleksi (Pansel) diduga kuat memilih calon yang memiliki kedekatan personal dengan Joko Widodo (Jokowi). Hal itu dapat dibuktikan dari banyaknya nama yang secara rekam jejak dinilai cukup baik dan berkomitmen dalam pemberantasan korupsi justru dipenggal dalam proses seleksi awal.

“Pansel justru meloloskan nama-nama yang jelas-jelas memiliki rekam jejak buruk,” tutur Yulius.

Kedua, imbuh Yulius, proses seleksi yang terkesan sekadar formalitas. Seleksi wawancara yang dilakukan oleh Pansel maupun Fit and Proper Test di Komisi III DPR tidak menggali lebih dalam kepada calon terkait mulai dari tidak patuh dalam melaporkan harta kekayaan, harta kekayaan yang mengalami fluktuasi tidak wajar, nir integritas dan potensi benturan konflik kepentingan, hingga langkah konkret dalam upaya membenahi kelembagaan KPK pasca Revisi UU KPK 2019.

“Padahal tanpa adanya perbaikan internal, KPK hanya jadi harimau yang kehilangan taringnya,” ucap Yulius.

Ketiga, kata Yulius, Fit and Proper test yang justru menetapkan lima calon sebagai Komisioner KPK 2024-2029  dengan rekam jejak buruk tanpa komitmen dalam memberantas korupsi. Salah satunya Johanis Tanak yang diduga melanggar kode etik karena pertemuan dengan tersangka Kasus Suap Penangkapan Perkara di Mahkamah Agung yakni mantan Komisaris PT Wika Beton, Tbk, pada 28 Juli 2023. Selain itu, dalam paparannya saat Fit and Proper Test, Johanis Tanak menegaskan akan menghapus Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK karena dianggap tidak sesuai dengan aturan KUHP yang berlaku.

Yulius menyebutkan koalisi menilai bahwa Johanis Tanak tidak mampu mengukur efektivitas dan persentase keberhasilan pemberantasan korupsi melalui OTT, atau niat menghapus OTT karena adanya transaksi politik dengan seseorang dan/atau kelompok tertentu sehingga menjadikan KPK sebagai lembaga yang mati suri dalam menjalankan mandatnya sebagai pemberantas korupsi. 

“Lebih parahnya, Komisi III DPR RI bahkan memberikan apresiasi dan tepuk tangan meriah saat Johanis Tanah menjelaskan bahwa akan menghapuskan OTT KPK,” ungkap Yulius.

Alvin Nicola mengatakan Komposisi Komisioner KPK 2024-2029 pilihan Komisi III DPR yang didominasi oleh APH (aparat penegak hukum) ini menjadi tantangan untuk mengaktifkan kembali fungsi trigger mekanism KPK. Semangat ini muncul ketika Kejaksaan dan Kepolisian dianggap belum cukup efektif dalam pemberantasan korupsi—faktanya, calon yang dipilih oleh DPR adalah mereka dengan rekam jejak Kejaksaan dan Kepolisian yang juga tidak efektif dalam melakukan pemberantasan korupsi di lembaga sebelumnya. Bahkan, Kejaksaan dan Polri menjadi lembaga yang paling banyak melakukan korupsi.

Meskipun Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) dan Transparency International Indonesia, kata Alvin, telah mengirimkan rekam jejak seluruh nama Capim dan Dewas yang sedang menjalankan Fit and Proper Test, sayangnya Komisi III DPR RI tidak mengindahkan rekam jejak tersebut.

“Padahal rekam jejak tersebut dapat menjadi indikator nilai apakah calon yang ada memiliki niat baik dalam pemberantasan korupsi atau tidak,” ucap Alvin.

Dalam prosesi akhir yang sangat politis ini, imbuh Alvin, Komisi III DPR awalnya menjadikan rapat pemilihan/voting  calon pimpinan KPK mendatang tertutup bagi publik. Namun akhirnya rapat dilakukan secara terbuka terbatas dan hanya memperbolehkan jurnalis yang masuk ke dalam ruang sidang untuk meliput.

“Namun, elemen masyarakat sipil tidak diperbolehkan untuk melihat proses akhir seleksi ini,” tukas Alvin. (*/rls/pur)

 

 


Post a Comment

0 Comments