![]() |
Wina Armada Sukardi. (Foto: Ist/koleksi pribadi Wina AS) |
SHOLAT subuh di mesjid mengajarkan kepada kita: kejujuran
pada diri sendiri. Kejujuran yang tanpa pretensi. Kejujuran tanpa pengawasan
manusia. Kejujuran yang merefleksikan kebenaran.
Betapa tidak. Subuh
hari masih dingin. Masih ngantuk pula. Kita harus mengambil wudu atawa air
sembayang. Meski memakai air panas, rasa malas pun masih belum hilang. Apalagi
kalau memakai air biasa yang terasa dingin.
Setelah kita ambil air wudu, lantaran hari masih subuh, kini
sering lantas mau buang air kecil lagi, terutama pada bulan puasa. Maklumlah
baru selesai sahur. Berarti harus mengambil lagi air wudu lagi.
Selesai? Belum! Saat kita sudah selesai wudu, dan mau
memakai baju, eh, terkadang tak dapat ditahan, kita buang angin, alias, maaf,
kentut.
Konsukuensinya, kita harus mengulang kembali mengambil wudu.
Terkadang, setelah membuang angin pertama, di bulan puasa, kita sering kembali
kentut.
Wah, repot juga ya? Kita wajib mengulang berwudu.
Di sinilah dibutuhkan kejujuran sejati. Kita batal wudu,
tidak ada yang tahu. Kalau kita langsung sholat, tidak ada yang complain. Tidak
ada yang protes. Tidak ada yang marah.
Juga tak ada sanksi dari sesama manusia. Jika kita tetap
berangkat sholat subuh di mesjid, sesama jemaah tetap memperlakukan kita
seperti biasa. Tak ada yang mencela atau mengucilkan kita, karena memang tak
ada yang faham.
Kendati begitu, toh, kita tetap mengulang kembali seluruh
prosesi mengambil air wudu.
Kenapa? Ini lantaran kita merasa harus jujur. Jujur terhadap
diri sendiri. Jujur terhadap kebenaran fakta. Jujur sebagai sebuah pola pikir
dan pola sikap yang berasal dari budi luhur diri sendiri, bukan jujur agar
dianggap baik oleh sesama manusia.
Sebuah kejujuran yang hanya merefleksikan kebenaran.
Kejujuran yang sejati. Sebuah kejujuran yang justeru menghormati Allah. Jika
kita jujur kepada diri sendiri, berarti kita bakalan jujur pula kepada Allah.
Itulah jujurnya kejujuran.
Dari sihilah kita faham, sholat subuh di mesjid memiliki
banyak dimensi. Sholat subuh selain merupakan perwujudan ketaatan kita kepada
Allah, juga mengajarkan dan membentuk berbagai dimensi: disiplin waktu dan
membangun kejujuran pribadi. Kejujuran sebagai sebuah nilai mulia. Kejujuran
yang lahir dari sanubari dan bukan kejujuran yang merupakan tuntutan dari
masyarakat. Kejujuran yang paling
tinggi.
Sepanjang kita masih mampu, tak peduli berapa kali kita
batal wudu jelang sholat subuh di mesjid, sebanyak itu pula kita perlu
mengulanginya kembali sampai wudu sempurna. Kejujuran yang membimbing dan
menuntun kita.
Konsepsi inilah yang kemudian melahirkan inspirasi kepada
hamba ini untuk menuliis sebuah puisi sebagai berikut:
KEBENARAN TANPA SAKSI
Ini kali keempat mengulang wudu
dalam waktu rentang sekejap
di sebuah dingin yang sama.
Membersihkan telapak dan jari-jari tangan
dilanjutkan dengan berkumur
selesai sempurna yang pertama
tiba-tiba buang air kecil
lalu wudu diulang dari awal.
Rampung yang kedua
langsung disambut buang angin yang ketiga.
Jika yang keempat
masih batal lagi
haruskah jujur, senantiasa mengulang dari awal.
Bukakah hanya diri sendiri yang faham
Bukankah tidak ada orang lain yang mengetahui
Bukankah Tuhan juga Maha Pemurah, Pengasih dan Penyayang?
Ada kebenaran yang tidak perlu saksi
terletak di nurani.
Meski tak ada mata memandang
meski tidak ada cemooh dari manusia manapun
Kebenaran sejati
hadir dalam hati
yang bersih.
Wudu sampai kapanpun
tetap barus senpurna
Kendati cuma diri pribadi yang tahu keasahanya.
Kebenaran kesempurnaan wudu tak butuh pengakuan
juga tak perlu bukti dukungan
atau saksi penjelas.
Kebenaran kesempurnaan wudu
Pertanggungjawaban
nurani
dari seorang hamba
kepada Allah.
Jakarta, 9 Juni 2020, (Dikutip dari buku kumpulan puisi
Religi “Mata Burung Gagak Gitaris Rock,” karya Wina Armada Sukardi)
T a b i k.*
Bersambung……
Penulis adalah wartawan dan advokat senior serta Dewan
Pakar, Pengurus Pusat Muhammadiyah. Tulisan ini merupakan repotase/opini
pribadi.
0 Comments