Wina Armada Sukardi. (Foto: Ist/koleksi pribadi WAS) |
F. Tata Ruang Kerajaan
DARI penelusuran antropologis, di
semua kerajaan Suku Batak, Radja mempunyai otoritas tertinggi dalam mengambil
semua keputusan. Meski demikian Radja dalam mengambil keputusan tetap harus
setidaknya lebih dahulu mendengarkan hasil musyawarah yang ada. Sebagian proses
musyawarah ini dalam prakteknya ternyata sudah seperti sebuah proses peradilan.
Dalam proses musyawarah atau proses yang mirip peradilan, inilah dalam suku
Batak mulai muncul peran semacam profesi advokat. Pada prosesi ini para advokat
sudah mulai dilibatkan.
Adanya mekanisme ini membuat di
banyak kerajaan Suku Batak mempunyai pola ruangan yang sama. Pertama, rumah
Radja di sisi kiri merupakan yang paling besar. Ke kanannya rumah kerabat. Di
bawah rumah kerabat inilah terdapat kolong untuk memelihara binatang. Selain
itu, ruang kolong rumah sekaligus dipakai untuk menempatkan para napi yang
bakal “diadili” melalui proses peradilan atau musyawarah.
G. Susunan Ruang Peradilan
Di depan rumah salah satu kerabat
terdapat semacam ruang pengadilan terbuka. Di ruangan inilah terjadi musyawarah
terhadap orang telah dituduh melakukan kejahatan.
Dalam area ruang terbuka itu,
susunannya mirip dalam ruang pengadilan modern. Hanya saja jaman dahulu
bangku-bangkunya tersebut masih terbuat dari batu. Sampai sekarang beberapa
peninggalan ruang dan batu-batu tempat musyawarah atau pengadilan masih dapat
ditemukan di beberapa sisa kerajaan di Suku Batak.
Ruangan “musyawarah” atau
pengadilan dibuat dalam bentuk arena berbentuk semi oval.
Di bagian paling depan terdapat
bangku yang paling besar, itulah bangku untuk Sang Radja. Setelah itu di sisi
kanan, ada bangku agak panjang. Itulah bangku untuk para anggota keluarga
kerajaan. Di sebelah kiri terdapat
bangku-bangku untuk para pemangku spritual, seperti dukun dan sebagainya.
Di tengah terdapat kursi kecil.
Inilah kursi untuk orang yang dianggap melakukan kejahatan. Di tempat itulah
mereka “diadili”.
Nah di sebelah kiri para terdakwa
tersebut terpada tempat duduk untuk “para pembela” yang mirip dengan peran
advokat seperti sekarang.
Para advokat inilah yang harus
bermusyawarah mewakil para terdakwa. Biasanya para “advokat” ini masih kerabat
dari terdakwa. Demikian pula para pendakwa atau pihak yang dirugikan kebanyakan
masih terbilang kerabat juga. Di sinilah para “advokat” tersebut diuji
kepiawaiannya bernegosiasi dengan berbagai kerabatnya.
H. Jenis Kejahatan
Dari berbagai penelusuran
antropologis, kerajaan-kerajaan di Suku Batak sudah memiliki katagorikal
kejahatan. Jika dikelompokan, rata-rata terdapat tiga jenis kejahatan, dengan
berbagai variannya. Kejahatan pertama, yang paling ringan, biasanya mencuri,
penggelapan dan sejenisnya. Untuk kejahatan ini hukumannya dapat dikompensasi
ganti dan berbagai aturan dengan filosofi keseimbangan adat. Misal jika mencuri
satu kerbau harus mengganti dengan empat kerbau dan berbagai upacara adat. Jika
tidak mampu mengganti sesuai dengan persyaratan adat, pelakunya harus
menjalankann hukuman.
Pada tingkat kedua, kejahatan yang
lebih berat, seperti pembunuhan. Selain pelaku harus menjalankan hukuman yang
lebih berat, tergantung pula kepada sikap keluarga korban. Apakah mau memaafkan
atau tidak. Demikian pula mungkin ada
hal-hal yang dapat dimaafkan tidak.
Lantaran berhadapan dengan sesama
kerabat yang punya hak untuk memberikan keringanan hak-hak tertentu, para
“advokat” ini dituntut memiliki keluwesan dan penguasaan terhadap aturan-aturan
yang ada.
Jenis kejahatan ketiga, kejahatan
yang dianggap sangat berat, yaitu kejahatan yang dianggap menyerang integritas
keluarga kerajaaan. Termasuk jenis ketiga ini, kejahatan yang merongrong
terhadap kedaulatan kerajaan seperti menjadi mata-mata atau penghianat. Untuk
jenis ini, biasanya tidak diperlukan lagi para advokat, tetapi langsung dihukum
berat. Biasanya mati. Umumnya digorok. Peninggalan tempat hukuman mati juga
masih dapat ditemui di beberapa peninggalan Suku Batak.
Bangku atau tempat duduk terdakwa terbuat dari batu, tempat terdakwa yang bersalah dan dihukum mati lewat cara penggal kepala. (Foto: Ist/koleksi pribadi WAS) |
Jhoni Sembiring, manakala
melakukan perampokan di sebuah rumah di Jakarta, mengikat korbannya suami
isteri. Lantas dia minum wine dan bermain piano lebih dahulu sebelum pergi,
namun dia tak melakukan kejahatan seksual sama sekali. Misal pelecehan seksual.
Jhony Sembiring merupakan proto tipe dalam kejahatan Suku Batak yang hampir
tidak pernah melakukan kejahatan seksual
Semua hukuman pada akhirnya berada
di tangan Raja. Setelah mendengarkan semua musyawarah, Raja menentapkan jenis
hukumannya.
Pasca hukuman dijatuhkan tidak
langsung dieksekusi. Kapan waktu pelaksanaan hukuman ditentukan oleh para
pemangku spiritual, seperti dukun dan ahli nujum.
I. Kesimpulan
Dari aspek antropologis ternyata Suku
Batak memiliki sistem kekerabatan yang kuat. Sistem kekerabatan yang kuat dan
pelik terdapat di seluruh Suku Batak.
Anggota Suku Batak manapun tak dapat keluar dari sistem ini.
Dari tinjauan antropologis,
ditemukan sistem budaya Suku Batak yang kuat, menonjol yakni, dalam mengambil
keputusan selalu melalui proses musyawarah. Sejak abad kesepuluh
kerajaan-kerajaan Suku Batak telah memiliki mekanisme semacam sistem musyawarah
mirip pengadilan modern. Para tersangka atau terdakwa sudah pada masa awal
munculnya kerajaan-kerajaan Suku Batak diberikan kesempatan untuk mengemukakan
keinginan dan atau pembelaannya. Dalam hal ini mereka dapat diwakili para
pembela yang mirip advokat.
Ini berarti sejak saat itu Suku
Batak telah mengenal dan memberikan ruang luas untuk para pembela terlibat
dalam proses musyawarah atau peradilan. Akar kebudayaan para advokat telah
dibuka lebar pada kebudayaan Suku Batak. Mereka sudah mulai terlatih terlibat
menyelesaikan persoalan kejahatan lewat proses musyawarah. Mereka sudah
terbiasa mewakili para terdakwa. Apa yang dimaui terdakwa d an tawar menawar
dengan keluarga kerabat.
Tradisi ini terus berlangsung
sampai Suku Batak beradaptasi dengan berbagai perubahan jaman.
Dari sinilah pertanyaan mengapa
terkesan banyak suku Batak yang menjadi atau berprofesi advokat terjawab. Suku Batak dalam bentuknya yang sederhana
sudah mengenal semacam “profesi advokat,” yang mewakili para tersangka/terdakwa
dalam suatu sistem musyawarah yang mirip proses peradilan modern. Tradisi ini terus dipertahankan dalam
berbagai bentuknya sampai jaman modern. Dengan demikian bagi Suku Batak profesi
advokat sudah menjadi profesi alamiah. Itu pulalah jawaban mengapa terkesan banyak Suku Batak menjadi advokat.
(***)
Penulis adalah advokat dan pakar
hukum pers.
0 Comments