Berita Terkini

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Gagal Jadi Wakil Rakyat, Menyikapi Penolakan Pendidikan Gratis Oleh Ketua Komisi V

Dr. Ing. Rangga Galura Gumelar, M. Si 
(Foto: Istimewa/L3M Untirta)    
Oleh:  Dr. Ing. Rangga Galura Gumelar, M. Si

MENCERMATI 
 pemberitaan pendidikan gratis di media lokal Banten, membuat hati miris, ketika Pemerintah Provinsi (Pemprov) Banten berupaya meningkatkan kualitas kesejahteraan masyarakat Banten melalui pendidkan gratis, muncul penolakan oleh wakil rakyat, Ketua Komisi V DPRD Banten Fitron Nur Ikhsan, tanpa alasan dan argumentasi yang mendasar. 

Tak perlulah berdebat panjang, berteori ke sana ke sini, masyarakat lelah mendengarnya. Penulis hanya ingin menanyakan? Apakah Fitron mengakui konstitusi dasar kita yakni Undang-Undang Dasar (UUD)1945? Kemudian apakah tahu ada pasal 31, pasal 1 mengatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan; pasal 2 mengatakan bahwa setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.

Sebagai wakil rakyat semestinya Fitron membangun konstruksi perdebatan dari amanat konstitusi dasar tersebut di atas, sehingga perdebatan menjadi positif dan konstruktif.  Persinggungan argumentasipun bisa dipastikan mengarah kepada upaya kritis membangun cara pada tujuan yang sama, yakni pemenuhan hak pendidikan untuk masyarakat.

Tetapi yang terjadi sebaliknya, Fitron lebih senang menjegal kepentingan rakyat, dengan kata-kata yang mengkhianati kepentingan rakyat, seperti pendidikan gratis membahayakan, pendidikan gratis ambigu, bahkan beredar pula video yang secara fulgar Fitron mengatakan bersikeras menolak pendidikan gratis. Namun nyaris tidak pernah disertai argumentasi yang mendasar.

Apa yang bisa kita teladani dari sikap Fitron sebagai wakil rakyat? Kecuali hanya mengelus dada, betapa sia-sianya uang rakyat yang digunakan untuk menggajinya karena ia gagal membawa kepentingan dan harapan masyarakat untuk mendapatkan akses pendidikan gratis. Masyarakat agaknya sadar juga terhadap penghianatan ini, dan tidak akan memilih Fitron sebagai calon anggoa legislative (Caleg) pada Pemilu 2019 nanti. Saya berhadap Partai Golkar mau mengevaluasi keberadaan Fitron di partai tersebut.

Nampaknya bukan penulis saja yang kecewa atas gagal pahamnya Fitron sebagai wakil rakyat, di tengah tulisan ini dibuat, Bang Ojat (Moch Ojat Sudrajat), pengamat pendidikan di Banten, mengirim pesan lewat WA (WhatsApp) yang berbunyi: ...apa dasar pemikiran ketua komisi V hingga menolak kepentingan rakyat? 

“Saya akan menyurati Majlis Kehormatan untuk melaporkan sikap Ketua Komisi V, karena apa yang dikatakan Fitron merupakan upaya penjegalan terhadap  pemenuhan hak rakyat mendapat pendidikan.” Sungguh, tindakannya tidak pro rakyat, mengapa Golkar masih memeliharanya ya?”

Semakin heran, ketika penulis mengetahui bahwa pendidikan gratis sudah masuk dalam RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah-red) Banten dan masuk dalam alokasi anggaran APBD (Anggaran Pendapatan Belanja Daerah-red) Banten 2018. Hal ini menunjukkan betapa proses pembahasan sebenarnya telah dilakukan antara pihak eksekutif dan legislatif, lalu kenapa sekarang hendak dimentahkan?  Apakah tidak sebaiknya bersikap bijak untuk secara bertahap terus menstimulasi program pendidikan gratis untuk rakyat, sehingga jika ada evaluasi akan berada pada posisioning tupoksi dewan yang benar yakni pengawasan bukan penjegalan.

Bukankah anggota dewan yang harus berdiri di depan dan yakin untuk melakukan apapun demi kepentingan masyarakat? Bukan kepentingan pollitik pribadi, kelompok maupun golongan? Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa konsep pendidikan gratis yang diusung Pemprov sudah sempurna, memang belum, tetapi substansinya perlu didukung, manfaat dan dampaknya perlu dijaga untuk kepentingan pada masa depan, bukan kemudian menjadi orang yang berdiri paling depan menghalangi kepentingan rakyat.

Anehnya, kenapa hanya Fitron yang tidak setuju, jika melihat sikap anggota komisi V lainnya, mereka justru mendukung dan bersikap pro aktif terhadap pemenuhan hak pendidikan untuk rakyat, contohnya Ibu Encop yang saya dengarkan ketika talk show di radio beberapa minggu ke belakang membahas pendidikan gratis.

Jika Fitron mengatakan ia banyak mendengar komite sekolah yang masih bingung, kepala sekolah yang belum siap karena alasan ini dan itu, sehingga menyimpulkan bahwa pendidikan gratis dianggap belum layak dijalankan, maka penulis pun ingin mengatakan kepada Fitron bahwa penulis telah banyak pula mendatangi dan didatangi masyarakat, terutama dari kalangan miskin yang berharap pendidikan gratis agar segera terwujud.

Maka persoalannya jadi sederhana, kebingungan komite sekolah yang mengadu dan kepala sekolah yang mengadu kepada Fitron duduk bersama untuk berdiskusi mencari alur dan konsep yang lebih baik dari sisi yang dianggap rentan, tetapi aduan rakyat yang berharap pendidikan gratis dapat terwujud, tidak bisa secara gegabah dipatahkan. Bukankah, program pendidikan gratis lahir dari janji kampanye yang harus dibuktikan? Jangan-jangan Fitron bermaksud menelikung janji kampanye tersebut juga, sehingga secara politis dapat mengambil keuntungan?

Pada akhirnya, masyarakat hanya bisa menilai kerja wakil rakyat pada satu indikator, yakni apa yang bisa diberikan kepada masyarakat pada aspek perubahan ke arah yang lebih baik, jika memang Fitron tidak setuju dengan pendidikan gratis, apa tawaran alternatif yang ingin disampaikan pada substansi yang sama, yakni memberikan hak pendidikan berkualitas yang berbasis pada amanat UUD 1945 pasal 31?  Menyedihkan sekali jika bisa mendengar Fitron menjawab.

Penulis adalah peneliti mutu pendidikan tinggi di Untirta

Post a Comment

1 Comments

  1. Wakil Rakyat Yang Tidak Pro Kepada Rakyat Harus Diberhentikan karena sudah melanggar sumpah sebagai wakil rakyat dan melanggar UUD 45

    ReplyDelete