
Hutan belantara di Sumatera Utara
berubah jadi kebon sawit.
(Foto: Ist/kabar tamiang)
"Kalau kita tergantung impor, kita nggak mampu bayar nanti harga BBM. Tapi kita diberi karunia oleh Yang Maha Kuasa, kita punya kelapa sawit yang bisa jadi BBM, solar, bisa jadi bensin, kita punya teknologinya,"
[Prabowo Subianto, 5/12/2025]
HINGGA hari Ahad kemarin (7/12/2025), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) telah mencatat kenaikan korban meninggal dalam banjir Sumatera dengan jumlah korban jiwa mencapai 961 orang. Korban meninggal terbesar di Aceh mencapai 366 jiwa. Kemudian di Sumatera Utara 329 jiwa dan Sumatera Barat mencapai 226 jiwa.
Sementara korban hilang di tiga provinsi tersebut mencapai 329 orang. Korban hilang terbanyak terjadi di Sumatera Barat dengan 213 jiwa. Sedangkan di Aceh korban hilang mencapai 97 jiwa dan Sumatera Utara 82 jiwa. Total korban luka di ketiga provinsi mencapai lima ribu jiwa.
Angka-angka tersebut bukanlah sekadar jumlah statistik. Melainkan jumlah nyawa dan kerugian hilangnya sebuah peradaban, dimana di dalamnya turut hanyut harapan, kebahagiaan yang terenggut, hingga masa depan yang suram. Fenomena ini, semestinya wajib membuat kita semua (terutama para penguasa) untuk berfikir, melakukan refleksi diri, sekaligus membesarkan sikap empati.
Sebagai hamba Allah SWT yang beriman, pusat berfikir dan refleksi diri kita harus bermula pada maksiat apa yang telah dilakukan manusia. Sehingga, ayat-ayat kauniyah berlaku pada sebuah malapetaka.
Sedangkan secara Kauniyah, sains yang merupakan landasan empiris untuk menggali hukum kausalitas (sebab-akibat), wajib dijadikan dasar evaluasi atas apa yang telah, sedang dan terus dilakukan manusia terhadap alam.
Secara akidah, bencana tak mungkin hadir tanpa adanya maksiat. Sebagaimana dahulu, pengingkaran Kaum Nabi Nuh AS, yang mendatangkan banjir bandang, merenggut sebuah generasi, kecuali mereka yang beriman dan diselamatkan oleh Allah SWT.
Dalam konteks akidah, maksiat kepada Allah SWT bukan saja mengingkari syari'at-Nya, namun juga menentang dan menelantarkannya dalam kehidupan nyata. Maraknya zina dan riba, telah dikabarkan oleh syara' sebagai sebab dari dihalalkannya azab yang menimpa manusia.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا ظَهَرَ الزِّنَا وَالرِّبَا فِيْ قَرْيَةٍ فَقَدْ أَحَلُّوْا بِأَنْفُسِهِمْ عَذَابَ اللّٰهِ
“Jika zina dan riba sudah menyebar di suatu kampung (negeri) maka sesungguhnya mereka telah menghalalkan azab Allah atas diri mereka sendiri.”
(HR. Al-Hakim, Al-Baihaqi dan Ath-Thabrani).
Hari ini, sistem ekonomi kapitalisme yang diterapkan di negeri ini, telah menjadikan riba sebagai darah dan jantung perekonomian. Nyaris, hampir tidak bisa ditemui transaksi ekonomi dalam bentuk apapun yang tidak mengandung riba. Kalaupun bisa membebaskan diri dari riba, setidaknya debu-debu riba telah menjangkiti seluruh nadi perekonomian.
Sementara zina? Budaya hedonisme dari prinsip liberalisme kapitalisme telah menjadikan manusia tak ubahnya binatang ternak. Mereka kawin (seks) dengan siapapun dan dimanapun tanpa ikatan akad nikah. Persis seperti ayam, kambing, bahkan babi.
Adapun secara kausalitas, alam sudah dirusak sedemikian rupa. Penggundulan hutan yang dieksploitasi hanya untuk tujuan keuntungan bisnis, telah merusak ekosistem alam yang merupakan ayat-ayat Kauniyah yang tak bisa dilanggar.
Pada mulanya, rencana perusakan hutan itu didahului dengan rencana menanam sawit. Padahal, sebelum menanam sawit mereka harus membuka lahan.
Lahan itu tidak diperoleh dengan membebaskan kebun-kebun milik warga. Akan tetapi melakukan transaksi dengan pejabat yang memperjual belikan kewenangan. Mereka menjual hutan yang sebenarnya milik seluruh rakyat, untuk diberikan pada pengusaha sawit.
Setelan konsesi sawit diterbitkan di atas lahan hutan, mulailah oligarki sawit ini menggunduli hutan. Mereka mengambil keuntungan dari hasil hutan (kayu, dll), tanpa membayar sepeser pun pada negara, berdalih membuka lahan sawit.
Setelan hutan gundul dan mereka untung beliung dari kayu hutan, mereka baru menyemai sawit. Mulailah, sawit itu bertumbuh dan menghasilkan banyak cuan.
Sadar bahwa menggunduli hutan jauh lebih cuan ketimbang menunggu sawit tumbuh dan berbuah, oligarki ini berlomba-lomba meminta konsesi hutan untuk berebut menggunduli hutan, untuk mendapatkan kekayaan kayu hutan yang tinggal tebang dan cuan, tanpa perlu menanam dan menunggunya siap panen.
Saat kerakusan itu memuncak, seluruh oligarki berebut menggunduli hutan. Para pejabat menerbitkan izin, mereka duduk di kursi kekuasan juga karena biaya dari oligarki. Bahkan, ada pejabat yang juga merangkap menjadi oligarki dan ikut berlomba lomba menggunduli hutan.
Inilah, awal dari mula bencana Sumatera. Bencana banjir bandang, karena penggundulan hutan yang melayani kerakusan oligarki yang didukung penuh oleh penguasa.
Hutan tak lagi mampu mengkonversi air hujan sebagai rezeki dari langit, menjadi nikmat bagi penduduk bumi. Hutan yang tadinya menampung air hujan, menjadikannya berkah bagi sumber penghidupan, kini membiarkan air yang turun dari langit itu, meluncur ke seluruh daratan dan menyapu banyak perkampungan.
Padahal, praktik penggundulan hutan dan pengelolaan lahan sawit di area hutan ini jelas maksiat karena bertentangan dengan syari'at Islam. Rasulullah SAW bersabda :
اَلْمُسْلِمُوْنَ شُرَكَاءُ في ثلَاَثٍ فِي الْكَلَإِ وَالْماَءِ وَالنَّارِ
“Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api.”
(HR Abu Dawud dan Ahmad)
Hadis di atas menyatakan bahwa kaum muslim (manusia) berserikat dalam air, padang rumput (hutan), dan api. Ketiganya tidak boleh dimiliki oleh individu.
Di dalam hadis ini terdapat penetapan bahwa manusia, baik muslim maupun kafir, berserikat dalam ketiga hal itu. Demikian juga penafsiran syirkah (perserikatan) dalam air yang mengalir di lembah, sungai besar seperti Jihun, Sihun, Eufrat, Tigris dan Nil.
Pemanfaatan air itu posisinya seperti pemanfaatan matahari dan udara. Muslim maupun non muslim sama saja dalam hal ini.
Tidak ada seorang pun yang boleh menghalangi seseorang dari pemanfaatan itu. Ini seperti pemanfaatan jalan umum dari sisi berjalan di jalan itu. Maksud lafaz syirkah bayna an-nâs (berserikat di antara manusia) adalah penjelasan ketentuan pokok ibahah (boleh) dan kesetaraan (musâwah) di antara manusia dalam pemanfaatan (ketiganya).
Hal itu bukan hanya berlaku pada air, tetapi juga pada padang gembalaan (termasuk hutan), yang kepemilikan dan manfaatnya harus dimiliki secara bersama-sama.
Negara, menjadi wakil rakyat selalu pengelolah, sementara hasilnya harus dikembalikan kepada rakyat. Praktik penerbitan konsesi lahan, baik dalam bentuk HPH (Hak Pengelolaan Hutan), Konsesi Tambang dan Sawit di Area Hutan, semuanya melanggar syariat. Karena hal itu akan memindahkan kepemilikan atas hutan, dari kepemilikan bersama (rakyat) menjadi milik pribadi atau korporasi (oligarki).
Saat Negara yang mengelola hutan, maka illat nya adalah kemaslahatan rakyat. Namun, saat oligarki yang mengelola hutan maka illatnya hanya cuan. Oligarki tak peduli dampak penggundulan hutan akan menyebabkan banjir yang menyapu sebuah peradaban manusia hingga hilang dari permukaan bumi.
Sayangnya, saat banjir Sumatera melanda, saat Negara semestinya menghukum para oligarki sawit yang menggunduli hutan, Presiden Prabowo Subianto malah bicara lain. Alih-alih mengunggah empati, Prabowo justru implisit mengapresiasi oligarki sawit dengan menyatakan sawit adalah anugerah.
Pada Puncak HUT ke-61 Partai Golkar yang digelar di Istora Senayan, Jakarta, pada Jumat (5/12/2025), Prabowo mengeluarkan pernyataan yang tidak empatik. Apakah, motifnya karena Prabowo selain Presiden juga merangkap sebagai oligarki sawit yang menyebabkan bencana banjir di Sumatera?
Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) mengecam pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang menyebut kelapa sawit adalah anugerah dari Tuhan yang membuat Indonesia tidak perlu mengimpor bahan bakar minyak (BBM).
Kami sendiri sebagai rakyat bingung. Kami bertanya-tanya kepada pemimpin di negeri ini, apakah Pokok (baca: pohon) Sawit lebih berharga dari nyawa manusia? (***)
Penulis adalah Sastrawan Politik



0 Comments