![]() |
Dr. Ing. Rangga Galura Gumelar, M. Si (Foto: Istimewa/L3M Untirta) |
MENCERMATI
Tak perlulah berdebat panjang, berteori ke sana ke sini,
masyarakat lelah mendengarnya. Penulis hanya ingin menanyakan? Apakah Fitron
mengakui konstitusi dasar kita yakni Undang-Undang Dasar (UUD)1945? Kemudian
apakah tahu ada pasal 31, pasal 1 mengatakan bahwa setiap warga negara berhak
mendapat pendidikan; pasal 2 mengatakan bahwa setiap warga negara wajib
mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
Sebagai wakil rakyat semestinya Fitron membangun konstruksi
perdebatan dari amanat konstitusi dasar tersebut di atas, sehingga perdebatan
menjadi positif dan konstruktif.
Persinggungan argumentasipun bisa dipastikan mengarah kepada upaya
kritis membangun cara pada tujuan yang sama, yakni pemenuhan hak pendidikan
untuk masyarakat.
Tetapi yang terjadi sebaliknya, Fitron lebih senang menjegal
kepentingan rakyat, dengan kata-kata yang mengkhianati kepentingan rakyat,
seperti pendidikan gratis membahayakan, pendidikan gratis ambigu, bahkan
beredar pula video yang secara fulgar Fitron mengatakan bersikeras menolak
pendidikan gratis. Namun nyaris tidak pernah disertai argumentasi yang
mendasar.
Apa yang bisa kita teladani dari sikap Fitron sebagai wakil
rakyat? Kecuali hanya mengelus dada, betapa sia-sianya uang rakyat yang
digunakan untuk menggajinya karena ia gagal membawa kepentingan dan harapan
masyarakat untuk mendapatkan akses pendidikan gratis. Masyarakat agaknya sadar
juga terhadap penghianatan ini, dan tidak akan memilih Fitron sebagai calon
anggoa legislative (Caleg) pada Pemilu 2019 nanti. Saya berhadap Partai Golkar
mau mengevaluasi keberadaan Fitron di partai tersebut.
Nampaknya bukan penulis saja yang kecewa atas gagal pahamnya
Fitron sebagai wakil rakyat, di tengah tulisan ini dibuat, Bang Ojat (Moch Ojat
Sudrajat), pengamat pendidikan di Banten, mengirim pesan lewat WA (WhatsApp) yang
berbunyi: ...apa dasar pemikiran ketua komisi V hingga menolak kepentingan
rakyat?
“Saya akan menyurati Majlis Kehormatan untuk melaporkan
sikap Ketua Komisi V, karena apa yang dikatakan Fitron merupakan upaya
penjegalan terhadap pemenuhan hak rakyat
mendapat pendidikan.” Sungguh, tindakannya tidak pro rakyat, mengapa Golkar
masih memeliharanya ya?”
Semakin heran, ketika penulis mengetahui bahwa pendidikan
gratis sudah masuk dalam RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah-red)
Banten dan masuk dalam alokasi anggaran APBD (Anggaran Pendapatan Belanja
Daerah-red) Banten 2018. Hal ini menunjukkan betapa proses pembahasan
sebenarnya telah dilakukan antara pihak eksekutif dan legislatif, lalu kenapa
sekarang hendak dimentahkan? Apakah
tidak sebaiknya bersikap bijak untuk secara bertahap terus menstimulasi program
pendidikan gratis untuk rakyat, sehingga jika ada evaluasi akan berada pada
posisioning tupoksi dewan yang benar yakni pengawasan bukan penjegalan.
Bukankah anggota dewan yang harus berdiri di depan dan yakin
untuk melakukan apapun demi kepentingan masyarakat? Bukan kepentingan pollitik
pribadi, kelompok maupun golongan? Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa konsep
pendidikan gratis yang diusung Pemprov sudah sempurna, memang belum, tetapi
substansinya perlu didukung, manfaat dan dampaknya perlu dijaga untuk
kepentingan pada masa depan, bukan kemudian menjadi orang yang berdiri paling
depan menghalangi kepentingan rakyat.
Anehnya, kenapa hanya Fitron yang tidak setuju, jika melihat
sikap anggota komisi V lainnya, mereka justru mendukung dan bersikap pro aktif
terhadap pemenuhan hak pendidikan untuk rakyat, contohnya Ibu Encop yang saya
dengarkan ketika talk show di radio beberapa minggu ke belakang membahas
pendidikan gratis.
Jika Fitron mengatakan ia banyak mendengar komite sekolah
yang masih bingung, kepala sekolah yang belum siap karena alasan ini dan itu,
sehingga menyimpulkan bahwa pendidikan gratis dianggap belum layak dijalankan,
maka penulis pun ingin mengatakan kepada Fitron bahwa penulis telah banyak pula
mendatangi dan didatangi masyarakat, terutama dari kalangan miskin yang
berharap pendidikan gratis agar segera terwujud.
Maka persoalannya jadi sederhana, kebingungan komite sekolah
yang mengadu dan kepala sekolah yang mengadu kepada Fitron duduk bersama untuk
berdiskusi mencari alur dan konsep yang lebih baik dari sisi yang dianggap
rentan, tetapi aduan rakyat yang berharap pendidikan gratis dapat terwujud,
tidak bisa secara gegabah dipatahkan. Bukankah, program pendidikan gratis lahir
dari janji kampanye yang harus dibuktikan? Jangan-jangan Fitron bermaksud
menelikung janji kampanye tersebut juga, sehingga secara politis dapat
mengambil keuntungan?
Pada akhirnya, masyarakat hanya bisa menilai kerja wakil
rakyat pada satu indikator, yakni apa yang bisa diberikan kepada masyarakat
pada aspek perubahan ke arah yang lebih baik, jika memang Fitron tidak setuju
dengan pendidikan gratis, apa tawaran alternatif yang ingin disampaikan pada
substansi yang sama, yakni memberikan hak pendidikan berkualitas yang berbasis
pada amanat UUD 1945 pasal 31? Menyedihkan
sekali jika bisa mendengar Fitron menjawab.
Penulis adalah peneliti mutu pendidikan tinggi di Untirta
1 Comments
Wakil Rakyat Yang Tidak Pro Kepada Rakyat Harus Diberhentikan karena sudah melanggar sumpah sebagai wakil rakyat dan melanggar UUD 45
ReplyDelete