Berita Terkini

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Charlie Chandra: Saya Tidak Membuat Dan Tidak Menyuruh Membuat Surat Palsu

Suasana ruang sidang pengadilan saat 
Charlie Chandra membacakan pembelaan. 
(Foto: Istimewa) 

 
NET – Terdakwa Charlie Chandra membacakan pembelaannya setebal 29 halaman dan menyatakan dalam proses pengajuan balik nama Sertipikat Hak Milik (SHM) Nomor 05 /Lemo atas nama ayahnya Sumita Chandra tidak pernah sama sekali melakukan pemalsuan dan menyuruh melakukan surat atau dokumen.

”Maka, saya tegaskan: Saya tidak membuat surat palsu. Saya tidak menyuruh membuat surat palsu. Saya tidak menyembunyikan apa pun. Saya tidak menjual tanah itu. Justru saya menolaknya. Saya tidak merugikan siapa pun. PT MBM (Mandiri Bangun Makmur-red) bahkan tidak punya alas hak,” ujar Charlie Chandra.

Hal itu disampaikan Charlie Chandra pada sidang lanjutan di Pengadilan Negeri (PN) Tangerang, Jalan TMP Taruna, Kota Tangerang, pada Jumat (8/8/2025) dengan agenda pembelaan pribadi sebagai terdakwa setelah dituntut Jaksa Penuntut Umum (JPU) selama 5 tahun penjara karena melanggar pasal 263 ayat (1) pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Majelis Hakim pada sidang dipimpin oleh Muhammad Alfi Sahrin Usuf, SH MH dan dihadiri oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Dayan Sirait, SH MH dan Esti Alda Putri, SH MH.

Sedangkan terdakwa Charlie Chandra didampingi oleh tim Penasihat hukum Ahmad Khozinudin, SH, Fajar Gora, SH MH, Syamsir Jalil, SH MH, Johanes de Britto Yuda AW, SH, Hendra Cahyadi, SH, dan Rino Garea, SH.

Charlie Chandra menyebutkan balik nama waris bukan tindak pidana. Jika proses ini salah, maka itu merupakan kesalahan administratif, bukan merupakan pidana. Bahkan Ahli Pidana Prof. Sadjijono dan Ahli PertanahanDr. FX. Arsin Lukman menyampaikan di dalam persidangan bahwa perbedaan informasi administratif tidak otomatis menjadi pidana. Dan orang yang memberi kuasa tidak otomatis ikut bersalah jika tidak tahu atau tidak menyuruh.

“Yang saya lakukan hanyalah menjalankan hak saya sebagai ahli waris sah atas SHM No. 5/Lemo, milik ayah saya sendiri,” tutur Charlie yang pada sidang itu dihadiri oleh istrinya, Elice.

Charlie Chandra menyampaikan tiga pertanyaan penting kepada Majelis Hakim yang Mulia.

“Pertama, bagaimana mungkin saya dituduh turut serta dalam tuduhan membuat surat palsu,  khususnya Lampiran 13, jika orang yang diduga membuat surat itu sendiri, yakni Notaris Sukamto, bahkan belum disidangkan hingga hari ini? Apakah adil menuduh saya ikut serta bersama-sama dalam suatu perbuatan yang pelakunya sendiri belum pernah diuji secara hukum,” tutur Charlie.

Kedua, kata Charlie, siapa sebenarnya yang dianggap menguasai tanah itu secara fisik?

“Apakah pihak yang sudah menguruk dan menduduki tanah secara ilegal sejak 2013, dengan saksi Kelana yang sendirinya mengaku tidak semuanya yang ia katakan benar karena hanya berdasarkan cerita dari pamannya. Atau kami,  keluarga Sumita Chandra,  yang memiliki SHM sah sejak 1988, membayar pajak selama 35 tahun, mengelola tambak di atas tanah tersebut, sebelum akhirnya diusir oleh sekelompok orang tak dikenal,” ujar Charlie.  

Charlie menyebutkan semua sudah dikonfirmasi oleh saksi-saksi yang dihadirkan dan bukti-bukti yang sudah diserahkan. “Bagaimana Majelis Hakim Yang Mulia menentukan siapa penguasa fisik yang layak dilindungi oleh negara? Apakah yang punya sertipikat, yang membayar pajak dan sejarah kepemilikan yang sah? Atau yang mengusir kami, dan menduduki tanah itu tanpa alas hak,” ungkap Charlie.

Ketiga, kata Charlie, siapa yang akan dilindungi oleh pengadilan ini?

“Apakah ahli waris SumitaChandra - pemegang SHM sejak 1988, yang telah membayar pajak sampai 2023, yang hanya ingin melaksanakan hak warisnya dan mengurus balik nama sesuai prosedur hukum yang berlaku? Bahkan pewaris sudah dinyatakan sebagai pembeli yang beretikad baik. Atau kah PT Mandiri Bangun Makmur milik Aguan (Sugianto Kusuma-red) - yang telah menduduki tanah itu sejak 2013 secara tanpa alas hak dan secara melawan hukum,” ujar Charlie.

“Bagi saya, jawabannya jelas. Saya hanya berharap bahwa pengadilan ini masih menjadi tempat terakhir bagi rakyat kecil mencari dan mendapatkan keadilan. Izinkan saya menambahkan satu hal yang sangat penting, bukan hanya untuk diri saya, tapi untuk masa depan banyak warga negara lainnya,” ucapnya.

Charlie mengatakan jika dirinya diputus bersalah hanya karena Notaris mengisi Formulir Lampiran 13 dalam proses balik nama warisan, maka itu akan menjadi preseden yang sangat berbahaya bagi seluruh ahli waris di Indonesia.

“Itu artinya. Setiap anak yang ingin mewarisi tanah orang tuanya akan berisiko dilaporkan ke polisi oleh penyewa, penggarap, atau pihak lain yang tiba-tiba muncul dan mengaku menguasai tanah. Lalu, setelah ditersangkakan, akan dipaksa menandatangani perjanjian damai, agar tidak menuntut kembali haknya,” tutur Charlie.

Dengan cara itu, kata Charlie, negara secara tidak langsung memberi legitimasi kepada praktik-praktik mafia tanah, yang memakai laporan pidana sebagai alat menekan.

“Inilah yang sedang saya hadapi. Dan jika saya dijatuhi hukuman atas perbuatan yang Notaris lakukan secara sah dan administrative, hanya karena prosedur normal balik nama, maka ke depan tidak ada lagi yang aman mewarisi tanah secara tenang. Mereka tidak hanya mengambil tanah kami, tapi juga membuka jalan agar rakyat kecil tidak bisa melawan. Saya tidak ingin menjadi korban pertama dari sistem seperti itu dan saya yakin Majelis Hakim yang Mulia tidak akan biarkan pengadilan ini menjadi pintu masuk bagi praktik pemerasan legal yang menyamar sebagai proses hukum” ucapnya.

Karena jika itu terjadi, kata Charlie, tanah warisan bukan lagi milik keluarga, melainkan akan menjadi rebutan mereka yang paling kuat, paling cepat melapor, dan paling lihai menyusun skenario hukum. Dan jika pola ini dibiarkan, maka siapa pun bisa menjadi korban, termasuk ahli waris rakyat biasa, maupun ahli waris dari Majelis Hakim Yang Mulia dan Jaksa Penuntut Umum sendiri.

Setelah Charlie Chandra membakan pembelaannya, Hakim Alfi Sahrin menunda sidang sampai Selasa, 12 Agustus 2025 guna mendengarkan pembelaan dari penasihat hukum. (yit/pur)

 

 


Post a Comment

0 Comments