![]() |
| Suasana ruang sidang pengadilan saat Charlie Chandra membacakan pembelaan. (Foto: Istimewa) |
”Maka, saya tegaskan: Saya tidak membuat surat palsu. Saya
tidak menyuruh membuat surat palsu. Saya tidak menyembunyikan apa pun. Saya
tidak menjual tanah itu. Justru saya menolaknya. Saya tidak merugikan siapa
pun. PT MBM (Mandiri Bangun Makmur-red) bahkan tidak punya alas hak,” ujar
Charlie Chandra.
Hal itu disampaikan Charlie Chandra pada sidang lanjutan di
Pengadilan Negeri (PN) Tangerang, Jalan TMP Taruna, Kota Tangerang, pada Jumat
(8/8/2025) dengan agenda pembelaan pribadi sebagai terdakwa setelah dituntut
Jaksa Penuntut Umum (JPU) selama 5 tahun penjara karena melanggar pasal 263
ayat (1) pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Majelis Hakim pada sidang dipimpin oleh Muhammad Alfi Sahrin
Usuf, SH MH dan dihadiri oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Dayan Sirait, SH MH dan
Esti Alda Putri, SH MH.
Sedangkan terdakwa Charlie Chandra didampingi oleh tim
Penasihat hukum Ahmad Khozinudin, SH, Fajar Gora, SH MH, Syamsir Jalil, SH MH,
Johanes de Britto Yuda AW, SH, Hendra Cahyadi, SH, dan Rino Garea, SH.
Charlie Chandra menyebutkan balik nama waris bukan tindak pidana.
Jika proses ini salah, maka itu merupakan kesalahan administratif, bukan merupakan
pidana. Bahkan Ahli Pidana Prof. Sadjijono dan Ahli PertanahanDr. FX. Arsin
Lukman menyampaikan di dalam persidangan bahwa perbedaan informasi
administratif tidak otomatis menjadi pidana. Dan orang yang memberi kuasa tidak
otomatis ikut bersalah jika tidak tahu atau tidak menyuruh.
“Yang saya lakukan hanyalah menjalankan hak saya sebagai
ahli waris sah atas SHM No. 5/Lemo, milik ayah saya sendiri,” tutur Charlie
yang pada sidang itu dihadiri oleh istrinya, Elice.
Charlie Chandra menyampaikan tiga pertanyaan penting kepada Majelis
Hakim yang Mulia.
“Pertama, bagaimana mungkin saya dituduh turut serta dalam
tuduhan membuat surat palsu, khususnya
Lampiran 13, jika orang yang diduga membuat surat itu sendiri, yakni Notaris
Sukamto, bahkan belum disidangkan hingga hari ini? Apakah adil menuduh saya
ikut serta bersama-sama dalam suatu perbuatan yang pelakunya sendiri belum
pernah diuji secara hukum,” tutur Charlie.
Kedua, kata Charlie, siapa sebenarnya yang dianggap
menguasai tanah itu secara fisik?
“Apakah pihak yang sudah menguruk dan menduduki tanah secara
ilegal sejak 2013, dengan saksi Kelana yang sendirinya mengaku tidak semuanya yang
ia katakan benar karena hanya berdasarkan cerita dari pamannya. Atau kami, keluarga Sumita Chandra, yang memiliki SHM sah sejak 1988, membayar pajak
selama 35 tahun, mengelola tambak di atas tanah tersebut, sebelum akhirnya
diusir oleh sekelompok orang tak dikenal,” ujar Charlie.
Charlie menyebutkan semua sudah dikonfirmasi oleh
saksi-saksi yang dihadirkan dan bukti-bukti yang sudah diserahkan. “Bagaimana
Majelis Hakim Yang Mulia menentukan siapa penguasa fisik yang layak dilindungi
oleh negara? Apakah yang punya sertipikat, yang membayar pajak dan sejarah
kepemilikan yang sah? Atau yang mengusir kami, dan menduduki tanah itu tanpa
alas hak,” ungkap Charlie.
Ketiga, kata Charlie, siapa yang akan dilindungi oleh
pengadilan ini?
“Apakah ahli waris SumitaChandra - pemegang SHM sejak 1988,
yang telah membayar pajak sampai 2023, yang hanya ingin melaksanakan hak
warisnya dan mengurus balik nama sesuai prosedur hukum yang berlaku? Bahkan
pewaris sudah dinyatakan sebagai pembeli yang beretikad baik. Atau kah PT
Mandiri Bangun Makmur milik Aguan (Sugianto Kusuma-red) - yang telah menduduki
tanah itu sejak 2013 secara tanpa alas hak dan secara melawan hukum,” ujar
Charlie.
“Bagi saya, jawabannya jelas. Saya hanya berharap bahwa
pengadilan ini masih menjadi tempat terakhir bagi rakyat kecil mencari dan
mendapatkan keadilan. Izinkan saya menambahkan satu hal yang sangat penting,
bukan hanya untuk diri saya, tapi untuk masa depan banyak warga negara lainnya,”
ucapnya.
Charlie mengatakan jika dirinya diputus bersalah hanya
karena Notaris mengisi Formulir Lampiran 13 dalam proses balik nama warisan,
maka itu akan menjadi preseden yang sangat berbahaya bagi seluruh ahli waris di
Indonesia.
“Itu artinya. Setiap anak yang ingin mewarisi tanah orang
tuanya akan berisiko dilaporkan ke polisi oleh penyewa, penggarap, atau pihak
lain yang tiba-tiba muncul dan mengaku menguasai tanah. Lalu, setelah
ditersangkakan, akan dipaksa menandatangani perjanjian damai, agar tidak
menuntut kembali haknya,” tutur Charlie.
Dengan cara itu, kata Charlie, negara secara tidak langsung
memberi legitimasi kepada praktik-praktik mafia tanah, yang memakai laporan
pidana sebagai alat menekan.
“Inilah yang sedang saya hadapi. Dan jika saya dijatuhi
hukuman atas perbuatan yang Notaris lakukan secara sah dan administrative, hanya
karena prosedur normal balik nama, maka ke depan tidak ada lagi yang aman
mewarisi tanah secara tenang. Mereka tidak hanya mengambil tanah kami, tapi
juga membuka jalan agar rakyat kecil tidak bisa melawan. Saya tidak ingin
menjadi korban pertama dari sistem seperti itu dan saya yakin Majelis Hakim
yang Mulia tidak akan biarkan pengadilan ini menjadi pintu masuk bagi praktik
pemerasan legal yang menyamar sebagai proses hukum” ucapnya.
Karena jika itu terjadi, kata Charlie, tanah warisan bukan
lagi milik keluarga, melainkan akan menjadi rebutan mereka yang paling kuat,
paling cepat melapor, dan paling lihai menyusun skenario hukum. Dan jika pola ini
dibiarkan, maka siapa pun bisa menjadi korban, termasuk ahli waris rakyat biasa,
maupun ahli waris dari Majelis Hakim Yang Mulia dan Jaksa Penuntut Umum
sendiri.
Setelah Charlie Chandra membakan pembelaannya, Hakim Alfi
Sahrin menunda sidang sampai Selasa, 12 Agustus 2025 guna mendengarkan
pembelaan dari penasihat hukum. (yit/pur)




0 Comments