![]() |
Ilustrasi, kantor Koperasi Desa Merah Putih. (Foto: Istimewa) |
SAATNYA Pemerintah harus jujur dan terus terang dan berani berbicara di depan publik berkaitan dengan skema dan besaran pembiayaan Koperasi Desa Merah Putih yang akan dibiayai oleh Bank-bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Menurut informasi awal, Menko Pangan Zulkifli Hasan mengatakan Koperasi Desa Merah Putih bakal mendapatkan pinjaman antara Rp 4 miliar hingga Rp 5 miliar.
Dalam perkembangannya, Pemerintah mengoreksi kembali jumlah pinjaman dengan mengusulkan besaran pinjaman dari bank pelat merah untuk membiayai dengan plafon pinjaman lebih rendah yakni setiap koperasi menjadi Rp 1-3 miliar.
Nah, selang hanya beberapa hari saja, jumlah pinjaman awal sampai diwacanakan terakhir sudah mengalami penyusutan drastis. Ada apa gerangan?
Skema Pembiayaan
Puncak kepanikan pembentukan dan finalisasi Koperasi Desa adalah kapan dana Koperasi Desa itu cair dan langsung dapat digulirkan untuk menggerakan ekosistem koperasi. Pertanyaan adalah Apakah para elite pembuatan perencanaan dan keputusan sudah ada Memorandum of Understanding (MoU) atau instruksi khusus presiden Bank BUMN wajib biayai Kopdes?
Jawabanya, sepertinya belum ada kejelasan menyeluruh berkaitan skema pembiayaan dari Bank BUMN untuk Koperasi Desa Merah Putih. Belum ada berita atau kabar adanya referensi aturan atau undang-undang (UU) serta petunjuk teknis bagaimana alur pencairan dana yang dibiayai Bank BUMN.
Melihat kenyataan sampai ini, diketahui Pemerintah dalam hal ini satuan tugas koperasi desa merah putih, belum pernah membedah konsep pembiayaan koperasi yang terdiri dari simpanan pokok, wajib dan sukarela, yang menjadi motor pembiayaan.
Dalam anggaran Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ ART), kooperasi itu adalah dari anggota, oleh anggota, dan untuk anggota. Jadi, terkuak aneh dan menyeramkan ketika berbicara pembiayaan Koperasi Desa dibiayai murni dari pinjaman pihak ketiga yakni Bank BUMN.
Aturan Rancu
Bisa jadi banyak petinggi Bank BUMN di daerah belum bisa berkomentar skema pembiayaan. Mungkin mereka memilih bungkam atau irit bicara. Wajar, takut salah atau memang belum ada kewenangan yang jelas.
Pihak Bank BUMN dalam level kabupaten dan kota belum sepenuhnya mengetahui teknis pendanaan koperasi desa. Padahal, koperasi desa konon bakal diluncurkan tanggal 12 Juli 2025 bersamaan dengan hair lahir (Harlah) Koperasi.
Di platform media sangat serius pergunjingankan koperasi desa. Tapi yang belum selesai urusan pembiayaan teknis bagaimana padahal intinya ada duit ada baru Kopdes dapat berjalan.
Kalkulasi Bisnis
Kopdes ini kan murni pembiayaan dari pinjaman Bank BUMN. Maksudnya apa yang akan diperbuat mana kala Kopdes baru terbentuk, entitas bisnis belum ada namun harus berjalan penuhi ambisi program Pemerintah Prabowo Subianto?
Bukannya akhirnya Bank BUMN yang akan digadaikan kredibilitas karena membiayai Kopdes?
Pada akhirnya jika dipaksa risiko bisnis besar, dan tentu tidak produksi dan produktif bagi Bank BUMN, nasabah serta pemegang saham.
Celakanya nasabah jika sudah melihat performanya Bank BUMN buruk tentu akan menarik atau pindahkan uangnya ke bank swasta. Para pemilik saham pun akan menjual sahamnya. Lantas hutang Bank BUMN ke entitas-entitas keuangan asing juga akan di- default atau diputus.
Euforia dan Fakta Berbeda
Di level akar rumput masyarakat, koperasi desa sudah digarap serius dan bahkan Menteri Koperasi memastikan Kopdes Merah Putih sudah terbentuk hampir 80 ribu Kopdes di seluruh Indonesia. Artinya nyaris seluruh Kopdes sudah siaga melakukan petunjuk dan instruksi berikutnya.
Namun demikian, pertanyaan yang sangat serius, apakah masyarakat atau juga pengurus koperasi desa tersebut mengetahui jika belum ada kepastian atau validasi pembiayaannya? Apakah sudah diberikan informasi dan juga kepastian khususnya syarat dan juga skema pengajuan kredit ke Bank BUMN?
Kredit Harus Cair
Urusan perkreditan, sudah menjadi kesepakatan jika badan usaha baru seperti koperasi desa yang baru berdiri, tidak mungkin dibiayai oleh bank swasta.
Karena menyangkut program Pemerintah Prabowo, akhirnya yang turun tangan adalah Bank BUMN dalam bentuk public service obligation (PSO). Kewajiban yang harus dilaksanakan karena menyangkut kepentingan negara dan masyarakat.
Kabar mengerikan jika skema ini yang dijalankan karena bank tentu akan memberikan pinjaman meski koperasi itu tidak layak untuk mendapatkan kredit, lantaran merupakan mandatory dari pemerintah.
Pada akhirnya Pemerintah menjadikan Bank BUMN menjadi kelinci percobaan dan juga pencitraan dari Program Mercusuar Pemerintah.
Portofolio Kosong
Bank BUMN seharusnya berpedoman dalam pengelolaan perbankan yang profesional dan tentunya memenuhi regulasinya. Pemanfaatan khususnya pendanaan untuk membiayai Koperasi Desa wanita mencermati persyaratan kredit yang ketat.
Pengelolaan kredit tersebut merupakan uang yang berasal dari dana pihak ketiga (DPK). Sebuah entitas yang menghimpun dana dari masyarakat semacam tersebut harus tunduk pada berbagai regulasi yang ditetapkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) seperti kualitas dan kapasitas obligor. Kesimpulan, Bank BUMN tidak bisa sembarangan memberikan kucuran kredit.
Sama -sama Terjerumus
Opsi terakhir Bank BUMN batal memberikan pengucapan dana ke Koperasi Desa sebagai aspek dan perhubungan bisnis dan juga regulasi internal.
Pada akhir ujung cerita, jangan sampai hiruk-pikuk koperasi desa nyata -nyata sebatas program prioritas pemerintah dengan portofolio kosong. Artinya, proses dan juga keberlangsungan koperasi desa harta berakhir alias mangkrak karena akhirnya Bank BUMN batal untuk membiayai koperasi desa.
Apakah ini yang bakal terjadi, dan bagaimana wajah pemerintah jika pada akhirnya keseluruhan pembentukan hingga pengelolaan koperasi desa harus batal dijalankan? Kesesatan itu akhirnya nyata dan akhirnya menjadi kesalahan dan juga akibatnya dipikir dan dipikul oleh masyarakat.
Proyek Strategis Nasional
Melalui Wakil Menteri Koperasi Ferry Juliantono meyakini Presiden Prabowo Subianto bakal menjadikan Koperasi Desa (Kopdes) Merah Putih sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN).
Dikatakan jika Inisiatif itu diyakini akan menggeser arah dan paradigma sistem ekonomi nasional dari berorientasi neoliberal menjadi lebih berpihak pada rakyat.
Dalam acara dialog Penggerak Koperasi, di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, Jumat (20/6/2025) Ferry menjelaskan bahwa pembentukan Kopdes Merah Putih bukan hanya tugas Kementerian Koperasi, melainkan melibatkan kolaborasi 18 kementerian dan lembaga yang tergabung dalam satuan tugas khusus.
Satgas Percepatan Pembentukan Kopdes Merah Putih ini bertugas untuk memastikan bahwa rakyat pedesaan menjadi tujuan dari semua sumber daya yang dimiliki negara akan dialirkan ke desa-desa.
Justru ada kecurigaan sangat mendalam ketika skema pembiayaan Korporasi Dess diyakini mandek alias gagal dan karenanya Pemerintah putar arah mengembalikan pendanaan Koperasi Desa ditanggung oleh pemerintah.
Padahal ada syarat wajib dipenuhi untuk menjadi PSN. Dilansir dari kppip.go.id, setidaknya terdapat empat kriteria utama. Di antaranya adalah kriteria dasar, kriteria strategis, kriteria operasional, dan kriteria tambahan. Kriteria Dasar dan Strategis digunakan untuk memilih proyek-proyek infrastruktur yang pantas menjadi bagian dari PSN.
Dalam konteks ini Koperasi Desa tidak lagi dibiayai Bank BUMN dan Pemerintah mengambil alih pendanaan dari kocek negara alias pendanaan diambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau sumber pendanaan alternatif. Jalan pintar dan pintasnya yakni Pemerintah memasukkan Program Koperasi Desa menjadi Proyek Strategis Nasional (PSN).
Kompleks dan Berjubel Pertanyaan
Segudang masalah dirangkum dalam berbagai pertanyaan substansial. Pertanyaan pertama, apakah Kopdes Merah Putih sudah memenuhi syarat untuk dialihkan menjadi PSN? Kemudian, pertanyaan kedua, apalah mampu APBN kita mengambil alih pendanaan Koperasi Desa yang melihatkan 80 ribu Desa dengan nilai proyeksi pinjaman dana sekitar Rp 400 triliunan?
Pertanyaan terakhir, bukannya negara dan nota APBN 2025 sudah tekor arah defisit 600 triliunan rupiah? Dan sebagai penutup, mempertanyakan dengan hormat, Logika apa yang dipakai Pemerintah hingga Koperasi Desa masuk PSN? (***)
Penulis adalah Pengamat Politik dan Ekonomi
0 Comments