![]() |
Muhammad Said Didu. (Foto: Syafril Elain/TangerangNet.Com) |
PENGAMBILALIHAN asset perkebunan sawit yang melanggar hukum
oleh Negara menjadi titik awal Negara kembali berdaulat menegakkan hukum dan
mengelola Sumber Daya Alam (SDA). Semoga Bapak Presiden Prabowo juga melakukan
hal yang sama di pertambangan, kehutanan, perikanan, dan real estate (seperti Pantai
Indah Kapuk-PIK-2).
Rakyat akan mendukung !!!
Tanggal 10 Maret 2025 merupakan tanggal bersejarah, yaitu
penyerahan 221.000 hektar kebun sawit sitaan korupsi PT Duta Palma kepada
Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang selanjutnya pengelolaannya
diserahkan ke BUMN PT Agrinas Palma Nusantara (Persero).
Pengambilalihan asset oligarki dalam jumah besar karena
pelanggaran hukum sepertinya ini yang pertama kali terjadi untuk asset jumlah
besar dan luas. Kasus kebun sawit DL Sitorus seluas 41.000 hektar yang kasusnya
sudah incrach sejak 2015 tidak berhasil dieksekusi karena kabun dikuasai berbagai
jenis "preman".
Demikian juga kasus pelanggaran hukum lingkungan oleh
beberapa Oligarki pengusaha hutan yang nilainya puluhan trilyun rupiah yang
terungkap diawal pemerintahan Jokowi hilang begitu saja. Yang menarik dari
kasus ini bhw Oligarki yg disebutkan diduga lakukan pelanggaran hukum
pengelolaan hutan tersebut muncul membuat perusahaan atau jadi pemodal putra
Presiden Jokowi di berbagai jenis usaha - bahkan sampai bisnis es doger yg
disuntik dana Rp 75 milyar. Hampir semua usaha tersebut gagal. Dan kita ketahui
semua kasus pelanggaran hutan tersebut hilang begitu saja - mungkin sudah jadi
martabak.
Butuh Pasukan Khusus
Perkebunan sawit yang akan disita tersebut sangat luas,
menyebar di hampir seluruh Indonesia dan yang paling berat adalah
"dilindungi" oleh 5 (lima) jenis "preman", yaitu : (1)
preman berotot, (2) preman berdasi, (3) preman berseragam, (4) preman berdompet,
dan (5) preman berpartai.
Karena kondisi itulah
kenapa kebun hasil sitaan tersebut tidak diserahkan ke PTPN (Perusahaan
Terbatas Perkebunan Nusantara) tapi ke PT Agrinas, antara lain:
1) Diperlukan manajemen khusus untuk mengelola kebun sawit
hasil sengketa dan luasnya bisa mencapai 5.000.000 hektar. Sementara kebun swait yang dikelola
oleh seluruh PTPN hanya sekitar 600.000 hektar. Selain pengelolaan teknis
perkebunan, juga akan menghadapi penyelesaian masalah hukum dari pemilik lama
dan aparat yang selama ini jadi beking Oligarki pemilik lama. PTPN hanya
memiliki kemampuan pengelolaan teknis sehingga selama ini tidak pernah berhasil
mengambil alih kebun sitaan negara karena hampir semua pejabat yang terkait -
termasuk penegak hukum - lebih senang jika kebun sitaan tersebut "dikelola
untuk kesejahteraan bersama". Akhirnya Negara tidak bisa mengelola karena
terus dihalangi oleh mereka.
2) Perlu "pasukan khusus". Selain karena kebun
yang akan disita sangat luas (bisa mencapai 5 juta hektar) dan akan menghadapi
berbagai jenis preman dan mafia baik di lokasi kebun maupun di kantor-kantor
aparat mulai dari desa, kecamatan, kabupaten, provinsi, dan pusat maka
diperlukan pasukan khusus untuk melakukan "nasionalisasi" asset
sitaan tersebut. Mungkin ini salah satu pertimbangan maka pengelolaan
diserahkan ke PT Agrinas Palma yang direktur utamanya adalah mantan Danjen
Kopassus Letjen TNI (Purn) Agus Sutomo. Karena perlu pengerahan pasukan khusus
pengelola kebun sawit (Kopassus Sawit) yang jumlahnya bisa mencapai ratusan
ribu orang.
Negara akan kembali jadi penguasa Kebun Sawit?
Saat ini Nagara (BUMN) hanya mengelola sekitar 3,4 persen (600.000 hektar) dari total kebun sawit
di Indonesia yang luasnya sekitar 17.500.000 hektar.
Dari luasan tersebut ternyata terdapat sekitar 5.000.000
hektar (sktr 28,6 persen) yang diduga melanggar hukum - ini keterlaluan !!!
Pelanggaran tersebut ditemukan oleh Tim Audit Perkebunan
Sawit pada Pemerintahan Jokowi kedua. Namun penyelesaian yang ditawarkan oleh
rezim Jokowi saat itu adalah pemutihan pelanggaran dan pemilik lama kembali
menjadi pemilik sah setelah menyelesaikan "denda". Ternyata Presiden
Prabowo memilih jalan lain yaitu disita oleh negara dan pengelolaannya
dilakukan oleh BUMN. Jika ini berhasil maka nagara akan kembali menjadi pemilik
kebun terluas.
Jika dari 5.000.000 hektar kebun sawit pelanggar aturan
tersebut terdapat 3.300.000 hektar kebun milik pengusaha (bukan milik rakyat) yang
berhasil disita negara maka luas kebun sawit yang dikelola negara akan menjadi
3.900.000 hektar (600.000 hektar sekarang milik PTPN) atau naik dari 3,4 persen
menjadi 22,3 persen. Luasan ini masih jauh di bawah luasan kebun milik satu
pengusaha besar dan masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan prosentasi
luasan awal Orde Baru, kebun yang dikelola negara sekitar 80 persen.
Nilai Ekonomi
Dari 3.300.000 kebun sawit yang akan disita tersebut, jika
per hektar menghasilkan sekitar 3,4 ton CPO (Crude Palm Oil) per hektar per
tahun atau produksi sekitar 13.500.000 ton CPO per tahun. Dengan harga CPO sktr
Rp 15.000.000 per ton maka akan menghasilkan tidak kurang dari Rp 200 triliun
per tahun.
Langkah “nasionalisasi” kebun sawit milik Oligarki yang
melanggar hukum oleh Presiden Prabowo tersebut, diharapkan juga dilakukan di
pertambangan, kehutanan, perkebunan, dan real estate. Dangan cara demikian maka
Negara akan kembali berdaulat dalam mengelola dan menguasai sumber daya alam.
(***)
Penulis adalah Manusia Merdeka.
0 Comments