![]() |
Para narasumber bersama Prof. Adrianus ES Meliala, Prof. Suparji Ahmad, Dr. Yusuf Warsyim, Dr. Auliya Khasanofa, dan para pengurus PP Fokal IMM. (Foto: Istimewa) |
“Bagi publik, tidak penting apakah kepolisian atau kejaksaan
yang menjadi penyidik utama. Karena, keduanya memiliki kelebihan dan
kekurangannya. Kekhawatirannya adalah terjadinya fenomena ‘ke luar dari mulut
singa masuk ke mulut buaya’ yang dapat merugikan masyarakat,” tutur Prof
Meliaala pada Rabu (26/2/2025).
Hal itu dikatakan oleh Prof. Meliala pada seminar nasional
bertema "Revisi KUHAP dan Pemantapan Kewenangan Penyidikan Polri" di
Kampus UMT, Cikokol, Kota Tangerang, yang diselenggarkan oleh Pimpinan Pusat
Forum Keluarga Alumni IMM (Fokal IMM) bekerja sama dengan Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah Tangerang (FH UMT).
Pada seminar nasional itu tampi empat pembicara ahli, yaitu
Prof. Drs. Adrianus Eliasta Sembiring Meliala, M.Si., M.Sc., Ph.D., Prof.
Suparji Ahmad, S.H., M.H., Dr. Yusuf Warsyim, M.H., dan Dr. Auliya Khasanofa,
S.H., M.H. Seminar ini menarik perhatian akademisi, mahasiswa, dan praktisi
hukum untuk membahas perubahan dalam sistem hukum Indonesia, khususnya terkait
KUHAP dan kewenangan penyidikan Polri.
Dalam kesempatan yang sama, Prof. Suparji Ahmad, S.H., M.H.,
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas AL AZHAR, memaparkan pokok-pokok
perubahan KUHAP. Ia menekankan pentingnya memperjelas perluasan upaya paksa,
yang mencakup tindakan seperti penetapan tersangka, penangkapan, penahanan,
penggeledahan, penyitaan, penyadapan, dan larangan bagi tersangka untuk keluar
negeri, yang harus dilakukan sesuai undang-undang.
“Tidak ada aturan mengenai ‘keadaan mendesak’ dalam
penyitaan, sehingga izin dari Ketua Pengadilan Negeri diperlukan, yang bisa
menghambat penyidikan. Namun, per dipertanyakan apakah larangan bagi tersangka
untuk ke luar wilayah Indonesia dapat dianggap sebagai upaya paksa,” ucap Prof.
Suparji.
Dr. Yusuf Warsyim, M.H., anggota Kompolnas RI, dalam
pemaparannya membahas revisi KUHAP untuk pemantapan kinerja penyidikan.
Penting, kata Yusuf, memperjelas kata "segera"
dalam Pasal 111 ayat (1) dan (2) KUHAP, termasuk durasi waktunya dan akibat
hukum jika tidak dipenuhi. “Kata ‘wajib’ dalam Pasal 104, 108, dan 116 ayat
(4), yang perlu dijelaskan terkait konsekuensi hukum bagi penyidik yang gagal
memenuhi kewajibannya,” ujar Yusuf.
Dr. Auliya Khasanofa, S.H., M.H., Wakil Rektor I UMT, dalam
pemaparannya membahas penguatan kewenangan penyidikan Polri dari sudut pandang
hukum tata negara.
Dalam perspektif HTN, kata Auliya, pembagian kewenangan
antar lembaga negara harus jelas dan tidak tumpang tindih. Penguatan kewenangan
penyidikan Polri harus tetap sesuai dengan batasan yang ditetapkan oleh
konstitusi dan undang-undang, agar tidak melanggar hak asasi manusia (HAM) dan
tidak menimbulkan konflik dengan lembaga penegak hukum lain seperti Kejaksaan
dan KPK.
“Dengan kewenangan yang jelas dan diperkuat, potensi
penyalahgunaan kekuasaan dapat diminimalkan, dan tujuan hukum dapat tercapai,”
ujar Auliya.
Pada seminar itu hadir Ketua Umum PP Fokal IMM Prof. Dr.
MA'mun Murod Albarbasy, M.Si, Rektor
Universitas Muhammadiyah Tangerang Dr. H. Desri Arwen, M.Pd. dan Dekan Fakultas
Hukum UMT Dwi Nur Fauziah Ahmad, S.H., M.H. (*/pur)
0 Comments