PERJUANGAN melawan oligarki rakus perampas tanah rakyat
bukan hanya dilakukan melalui proses litigasi di Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat, sebagaimana terdaftar dalam perkara nomor: 754/Pdt.G/2024/PN.Jkt.Pst.
Penulis juga melakukan perjuangan di luar pengadilan (non litigasi).
Kehadiran penulis di sejumlah agenda aksi menyampaikan
pendapat dimuka umum yang membersamai rakyat Banten, juga diadakan sebagai
bagian dari ikhtiar berjuang. Termasuk, melalui aktivitas menjalankan hak
konstitusional menyampaikan pendapat dalam berbagai forum diskusi online,
undangan media, dialog, dan podcast.
Terakhir, penulis memenuhi undangan Podcast Pak Bambang
Widjojanto, Wakil Ketua KPK Periode 2011-2015 (Kamis, 6/2/2025). Dalam diskusi
podcast ini, materinya lebih tajam dan mendalam. Maklum, naluri Lawyer dan
mantan pimpinan KPK, membuat Pak Bambang Widjojanto masuk pada
pertanyaan-pertanyaan detail dan krusial.
Di antara point penting pertanyaan detail dan krusial,
adalah pertanyaan seputar modus operandi perampasan tanah rakyat Banten oleh
Oligarki PIK-2. Penulis menyebut sebagai perampasan, merujuk pada definisi
perampasan tanah adalah proses mengambil tanah dari pemiliknya tanpa keridhoan,
baik karena dibayar murah, dibayar sebagian, bahkan tak dibayar sama sekali.
Secara garis besar, Agung Sedayu Group (ASG) selaku pemilik
proyek PIK-2 (bersama Group Salim) melakukan perampasan tanah baik di darat
maupun di laut, untuk dijadikan asas industri properti yang mereka kembangkan.
Modus operandi perampasan tanah itu dilakukan dengan cara sebagai berikut:
PERTAMA, perampasan tanah daratan dilakukan dengan tindakan
permulaan membuat sertifikat atau alas hak di atas tanah-tanah yang akan mereka
rampas, yang sebelumnya telah ditetapkan sebagai wilayah atau kawasan
pengembangan proyek properti mereka. Lalu, sertifikat atau alas hak ini, yang
diperoleh melalui berkerja sama dengan Kades, sejumlah perantara, notaris dan Badan
Pertanahan Nasional (BPN), digunakan untuk mengklaim tanah-tanah yang telah
dimiliki oleh masyarakat.
Masyarakat yang memiliki alas hak berupa girik, tak bisa
meningkatkan menjadi Sertipikat Hak Milik (SHM) karena di atas Nomor Induk Bidang
(NIB) mereka, telah diterbitkan NIB atas nama sejumlah pihak yang digunakan
untuk kepentingan Agung Sedayu Group. Ada nama A. Gojali alias Eng Cun, Vreddy,
dan Hendry.
Dari data yang penulis miliki, total luas tanah yang sudah
diterbitkan NIB (Nomor Induk Bidang) yang dijadikan dalih untuk merampas tanah
rakyat (sebagian terbit dalam bentuk SHM, sebagian HGB), seluas 9.024.890 m²
(900 hektare), terbagi atas:
1. Atas Nama Hendry 5.901.554 meter persegi.
2. Atas nama Vreddy 2.679.883 meter persegi.
3. Atas nama A. Gojali 322.635 meter persegi.
Selanjutnya, tanah yang telah dikuasai secara hukum (de
jure), dilakukan penguasaan secara fisik (de facto) menggunakan jasa preman.
Preman bayaran inilah, yang mengambil alih kendali tanah yang umumnya berbentuk
sawah dan empang, dengan dalih telah dimiliki pihak tertentu berdasarkan Akta
Jual Beli (AJB) dan/atau sertifikat/girik tertentu.
Tahap selanjutnya, sejumlah negosiator dari ASG (dikoordinir
oleh Ali Hanafiah Lijaya orangnya AGUAN) menawar secara murah tanah masyarakat
(baik yang SHM maupun masih girik), ada yang langsung diurug, ada yang
dikriminalisasi jika melawan.
Sudah banyak korban kriminalisasi ASG yang masuk penjara.
Silahkan cek dengan melakukan wawancara kepada sejumlah korban di Tangerang.
Bagi yang mengambil upaya hukum ke pengadilan, telah disiapkan
tim khusus yang memastikan semua perkara mereka menangkan. Cek saja, di
Pengadilan Negeri Tangerang dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Banten
sudah banyak perkara yang dimenangkan oleh A. Gojali, dan kawan-kawan.
Akhirnya, semua tanah daratan mereka kuasai. Pemilik tanah
akhirnya menyerah, menerima harga seadanya. Bahkan, ada yang tak menerima harga
atas tanahnya, dan tanahnya yang dahulu berupa empang saat ini telah menjadi
kawasan perumahan elit PIK-2.
KEDUA, adapun untuk perampasan laut dilakukan dengan
tindakan permulaan membuat sertifikat atau alas hak di atas laut yang
didalihkan dahulu tanah daratan yang terkena abrasi, yang sebelumnya telah
ditetapkan sebagai wilayah atau kawasan pengembangan proyek properti mereka.
Lalu, sertifikat atau alas hak ini (SHGB dan SHM), yang diperoleh melalui
berkerja sama dengan Kades, sejumlah perantara, notaris, Kantor Jasa Surveyor
Berlisensi (KJSB) dan BPN, digunakan untuk mengklaim wilayah laut yang
seolah-olah dahulunya daratan, sehingga dianggap sebagai Tanah Musnah.
Dalih tanah musnah inilah, yang nantinya akan digunakan
sebagai dasar mengklaim hak untuk melakukan rekonstruksi atau reklamasi laut,
berdasarkan sertifikat bodong yang mereka miliki. Mereka akan memanfaatkan
ketentuan Pasal 66 PP Nomor 18 tahun 2021, untuk menguasai laut, mereklamasinya
untuk dijadikan asas industri properti yang mereka kembangkan.
Dalam Pasal 66 PP Nomor 18 tahun 2021, dinyatakan:
Tanah Musnah
Pasal 66
(1) Dalam hal terdapat bidang tanah yang sudah tidak dapat
diidentifikasi lagi karena sudah berubah dari
bentuk asalnya karena peristiwa alam sehingga tidak dapat
difungsikan, digunakan, dan dimanfaatkan
sebagaimana mestinya, dinyatakan sebagai Tanah Musnah dan
Hak Pengelolaan dan/atau Hak Atas
Tanah dinvatakan hapus.
(2) Penetapan Tanah Musnah sebagaimana dirnaksud pada ayar
(1) dilakukan dengan tahapan identifikasi, inventarisasi, dan pengkajian.
(3) Sebelum ditetapkan sebagai Tanah Musnah, pemegang Hak
Pengelolaan dan/atau Hak Atas Tanah (Agung Sedayu Group) diberikan prioritas
untuk melakukan rekonstruksi atau reklamasi atas pemanfaatan Tanah.
(4) Dalam hal rekonstruksi atau reklamasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, atau
pihak lain maka pemegang Hak Pengelolaan dan atau Hak Atas Tanah (Agung Sedayu
Group) diberikan bantuan dana kerohiman.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan Tanah Musnah diatur
dengan Peraturan Menteri.
Alhamdulillah, penulis dapat menjelaskan semuanya di hadapan
Pak Bambang Widjojanto. Video podcastnya memang belum tayang. Tulisan ini,
setidaknya memberikan 'Bocoran Halus' tentang apa saja yang penulis ulas dalam
podcast. (***)
*Penulis adalah Advokat, Koordinator Tim Advokasi Melawan
Oligarki Rakus Perampas Tanah Rakyat (TA-MOR-PTR).
0 Comments