![]() |
Ilustrasi, mahasiswa dari sejumlah perguruan tinggi unjuk rasa "Indonesia Gelap" beberapa waktu lalu di Jakarta. (Foto: Istimewa) |
Ketimpangan sosial yang semakin melebar, lemahnya
perlindungan terhadap hak-hak sipil, serta kemunduran demokrasi dari semangat
reformasi 1998 menjadi indikasi bahwa negeri ini tengah mengalami krisis
serius.
Suksesi kepemimpinan melalui Pemilu 2024 yang menghasilkan
pemerintahan Presiden Prabowo Subianto hingga saat ini belum menunjukkan
kehendak politik yang kuat untuk mengatasi krisis yang dihadapi rakyat.
Kebijakan dan praktik ekonomi-politik pascapandemi Covid-19
justru semakin memperberat kehidupan masyarakat dan memperkuat dominasi
oligarki melalui manipulasi aturan hukum.
Berdasarkan kenyataan tersebut, kami menyatakan sikap atas
berbagai permasalahan mendesak berikut:
(1) PHK Massal dan Represi terhadap Buruh
Sejak 2024, pemutusan hubungan kerja (PHK) secara
besar-besaran terjadi di berbagai sektor tanpa perlindungan yang memadai bagi
pekerja. Hak berserikat bagi buruh dikekang, menghilangkan ruang demokrasi di
tempat kerja. Pembiaran terhadap meningkatnya kecelakaan kerja di industri
mineral dan pertambangan semakin menegaskan abainya negara terhadap keselamatan
pekerja.
(2) Kenaikan PPN 12 persen dan Dampaknya terhadap Rakyat
Pemerintah menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi
12 persen, meski untuk barang mewah, tetap saja berdampak pada kenaikan harga
barang konsumsi pokok rumah tangga.
Kebijakan ini semakin memberatkan masyarakat kecil yang daya
belinya telah melemah akibat krisis ekonomi.
(3) Pengurangan Anggaran Subsidi Energi
Rapat kerja Kemenkeu dengan Badan Anggaran DPR RI pada Rabu
(4/9/2024) telah menyepakati pengurangan subsidi energi sebesar Rp 1,1 triliun
pada RAPBN 2025 yang semula diusulkan Rp 204,53 triliun menjadi Rp 203,41
triliun.
Dengan adanya perubahan tersebut, maka anggaran subsidi
energi untuk bahan bakar minyak (BBM) tertentu dan elpiji tabung 3 kilogram
menjadi berkurang.
Adapun anggaran subsidi untuk BBM jenis tertentu dan elpiji
3 kilogram turun sekitar Rp 600 miliar dari semula diusulkan Rp 114,3 triliun
menjadi Rp 113,7 triliun.
Rinciannya, untuk subsidi BBM berkurang Rp 40 miliar dan
subsidi LPG berkurang Rp 600 miliar.
Kemudian untuk anggaran subsidi listrik turun sekitar Rp 500
miliar dari semula diusulkan Rp 90,2 triliun menjadi Rp 89,7 triliun.
Situasi ini tetap menyulitkan masyarakat bawah yang masih
belum stabil secara ekonomi.
(4) Pembiaran Perampasan Tanah Rakyat untuk Industri Ekstraktif
Konflik agraria kian meningkat akibat perampasan tanah
rakyat demi kepentingan industri ekstraktif.
Petani dan masyarakat adat kehilangan ruang hidup mereka,
sementara negara gagal memberikan perlindungan terhadap hak-hak agraria rakyat.
(5) Penghancuran Daya Budaya Lokal demi Pariwisata
Pembangunan sektor pariwisata yang tidak berorientasi pada
keberlanjutan justru mengorbankan budaya lokal.
Komunitas adat dan warisan budaya yang seharusnya
dilestarikan mengalami marjinalisasi demi kepentingan investasi pariwisata.
(6) Kebijakan Rendah Karbon yang Menguntungkan Oligarki
Komitmen rendah karbon yang seharusnya bertujuan menjaga
lingkungan justru dimanfaatkan untuk memperkuat kepentingan oligarki.
Transisi energi tidak dijalankan secara adil, hanya
menguntungkan segelintir elite tanpa mempertimbangkan dampak terhadap rakyat
kecil.
(7) Penghimpunan Dana Danantara untuk Kepentingan Oligarki
Kebijakan penghimpunan dana melalui berbagai skema yang
tidak transparan, seperti Danantara, semakin memperkokoh kekuasaan oligarki.
Dana publik yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan
rakyat malah dialihkan untuk kepentingan segelintir kelompok berkuasa.
(8) Perguruan Tinggi dan Organisasi Kemasyarakatan Dijebak
dalam Bisnis Tambang
Kebijakan yang mengizinkan perguruan tinggi untuk mengelola
tambang mengancam independensi akademik dan menjauhkan dunia pendidikan dari
nilai-nilai kritis serta keberpihakan pada kepentingan rakyat.
(9) Pemangkasan Anggaran dengan Dalih Penghematan
Ini justru semakin membebani rakyat, sementara di sisi lain,
pemerintah membentuk kabinet yang gemuk dengan penempatan pejabat yang terkesan
asal-asalan tanpa mempertimbangkan kapasitas dan kompetensi mereka.
Berdasarkan situasi di atas, IKAD menyerukan kepada
pemerintah untuk segera:
(1) Mencabut Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 yang
memberlakukan pemangkasan anggaran yang tidak pro-rakyat, serta:
* Meninjau ulang kebijakan PPN 12 persen yang membebani
rakyat kecil dan meningkatkan perlindungan sosial bagi kelompok rentan.
* Mengembalikan subsidi energi demi meringankan beban hidup masyarakat serta menjalankan transisi energi yang berkeadilan.
* Menghentikan praktik perampasan tanah atas nama Proyek
Strategis Nasional (PSN) dan memastikan hak agraria rakyat terlindungi.
* Meninjau ulang UU Cipta Kerja untuk menjamin hak normatif,
hak berserikat, dan perlindungan pekerja.
* Menghargai serta melindungi kebudayaan lokal dari eksploitasi
pariwisata yang merusak.
(2) Menghapus pasal dalam RUU Minerba yang memberikan izin
kepada perguruan tinggi untuk mengelola tambang guna menjaga independensi
akademik.
(3) Menghentikan praktik penghimpunan dana yang merugikan
rakyat, termasuk skema-skema seperti Danantara yang berpotensi memperkaya
oligarki dan tidak transparan dalam pengelolaannya.
(4) Penegakan hukum, terutama dalam kasus korupsi, harus
dilakukan dengan tegas, transparan, dan tanpa pandang bulu. Aparat penegak
hukum tidak boleh tunduk pada kepentingan politik atau ekonomi yang melemahkan
upaya pemberantasan korupsi, karena korupsi bukan sekadar pelanggaran hukum,
tetapi kejahatan yang merusak keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat.
Kami percaya bahwa keadilan sosial, ekonomi, dan lingkungan
harus menjadi landasan utama dalam pembangunan demi kesejahteraan rakyat secara
lahir dan batin. IKAD berkomitmen untuk terus berjuang bersama masyarakat sipil
demi mewujudkan Indonesia yang lebih adil, demokratis, dan berkeadaban. (***)
Jakarta, 20 Februari 2025
Ruth Indiah Rahayu
Ketua Umum Ikatan Keluarga Alumni Driyarkara.
0 Comments