![]() |
Ilustrasi, sejumlah warga memberikan dukungan kepada TNI AL atas pembongkaran pagar bambu di pantura Kabupaten Tangerang. (Foto: Istimewa) |
SAAT memulai paparan dalam diskusi ILC (Indonesia Lawyers
Club, Rabu, 22/1/2025), tayang kemungkinan malam ini tanggal 23 Januari 2025.
Penulis menyampaikan apresiasi terhadap upaya Pemerintah yang telah melakukan
proses pembongkaran pagar laut Pantai Indah Kapuk (PIK)-2, namun tindakan ini tidak
bisa disebut sebagai sebuah prestasi. Mengingat, kasus pagar laut ini
sebenarnya mengkonfirmasi Negara telah kalah melawan Oligarki.
Memberi apresiasi, setidaknya karena negara mulai hadir
kembali di tengah-tengah rakyat, meski dalam peran yang kecil. Yakni
mengembalikan ruang publik laut sebagai hak dan kepemilikan bersama (public
property).
Walaupun pagar yang dibongkar masih sedikit sekali. Belum
mencapai 2 kilometer (Km) dari 30 Km panjang pagar laut. Bang Said Didu menyebut
sulitnya mencabut pagar laut.
Bisa dipahami, karena pagar laut ditancapkan dengan alat
berat. Jadi, semestinya mencabutnya juga dengan alat berat (escavator). Bukan
secara manual atau ditarik kapal dengan ikatan tambang.
Sementara itu, di sisi lain kasus pagar laut PIK-2 ini
sebenarnya tak akan menjadi masalah jika Negara sejak awal hadir melindungi
rakyatnya. Kehadiran Negara, mencegah terpasangnya pagar Laut, tidak menunggu
hingga panjang 30,16 Km.
Andaikan pagar laut ini dibongkar saat panjangnya masih 1-4
meter, publik pasti akan memberikan nilai prestasi pada Pemerintah karena telah
mampu menghadirkan Negara sejak dini. Bukan menghadirkan Negara hanya sebatas
petugas pemadam kebakaran, yang melakukan proses pemadaman setelah melihat api kemarahan
rakyat menjalar luas.
Dari sisi prestasi, Pemerintah juga belum melakukan tindakan
apapun yang menjadikan pagar laut PIK-2 ini tak menjadi misterius. Misteri
pagar laut sejak awal terjadi, bukan karena pagar tak dapat diindera atau tak
dapat dibongkar. Melainkan karena tidak diketahui siapa yang mengerjakan, siapa
yang mendanai, dan untuk kepentingan apa pagar dibuat.
Sayangnya, informasi yang sudah beredar di tengah
masyarakat, tentang pagar dibuat oleh mandor Memet, atas permintaan Eng Cun
alias Gojali, yang didanai oleh Ali Hanafiah Lijaya orangnya Sugianto Kusuma
alias Aguan untuk kepentingan proyek PIK-2, tidak pernah ditindaklanjuti.
Pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) malah sibuk
melakukan pemanggilan kepada pembual yang menyebut pagar laut ini dibuat oleh
swadaya masyarakat.
Pengumuman pembatalan sertifikat di atas laut oleh Menteri Agraria
Tata Ruang/Badan Pertanahan (ATR BPN) Nusron Wahid juga tak transparan. Nusron
hanya menyebut berdasarkan kewenangan BPN, sejumlah sertifikat dari 263 Hak
Guna Bangunan (HGB) dan 17 Sertipikat Hak Milik (SHM) telah dibatalkan karena
berada di luar garis pantai. Tapi tak jelas, berapa yang ada di dalam garis
pantai, dan berapa yang berada diluar garis pantai (berapa yang dibatalkan,
berapa yang diselamatkan).
Kita semua khawatir, karena bisa saja dari 263 HGB dan 17
SHM di atas laut, hanya 5 biji SHM yang dibatalkan. Selebihnya, diselamatkan
oleh BPN dengan dalih 'berada di dalam garis pantai'.
Apalagi, BPN hanya melokalisir masalah sertifikat (HGB &
SHM) di laut yang berada di area pagar laut ini hanya yang berada di wilayah
Desa Kohod, Kecamatan Pakuaji, Kabupaten Tangerang. Padahal pagar laut itu
bukan hanya ada di Desa Kohod, Kecamatan Paku Haji, Kabupaten Tangerang,
Provinsi Banten.
Dalam catatan penulis, sejumlah desa yang memiliki wilayah
pantai dan laut, yang menjadi alur pagar laut membentang hingga 30,16 Km di
Kabupaten Tangerang (belum termasuk di Kabupaten Serang), setidaknya sebagai
berikut:
1. Kecamatan Kosambi: ada Desa Dadap dan Desa Selembaran
Jaya.
2. Kecamatan Teluk Naga: ada Desa Muara, Desa Lemo, Desa
Tanjung Pasir dan Desa Tanjung Burung.
3. Desa Pakuaji: ada Kohod, Desa Kramat, Sukawali, dan Desa
Surya Bahari.
4. Kecamatan Mauk: ada Karang Serang dan Desa Ketapang.
Itu artinya, Kementerian ATR BPN hanya membongkar sertifikat
di atas laut di satu desa, yakni Di Desa Kohod saja ada 263 HGB dan 17 SHM.
Jika semua desa yang terdapat pagar laut diungkap, boleh jadi masih ada ribuan
serifikat lainnya yang berada di atas laut. Kenapa BPN terkesan menutupi?
Kenapa tidak semua sertifikat di atas laut dibongkar?
Adalah wajar, jika
publik menduga pengungkapan dan pencabutan sertifikat di atas laut yang tidak
transparan ini hanyalah untuk meninabobokan masyarakat. Seolah-olah, Pemerintah
telah bekerja dan memenuhi harapan masyarakat.
Padahal, dibalik itu semua ada skenario besar penyelamatan
kepentingan Oligarki (Aguan dan Anthony Salim). Yang diberikan kepada rakyat
hanyalah permen, sementara persoalan besar terkait dijualnya wilayah dan
kedaulatan laut negara ini, masih tetap dikunci rapat.
Kenapa TNI-AL, POLRI, KKP, BPN, bisa kecolongan pagar laut?
Kenapa bisa terbit sertifikat di atas laut? Sudah jelas, peristiwa ini
membuktikan adanya kolusi dan korupsi yang dilakukan secara terstruktur, sistematis
dan masif, dari sejak pada tingkat desa, kecamatan, Pemda hingga kementerian
dan lembaga.
Jika pemerintah serius, semestinya proyek PIK-2 ini segera
dihentikan. Baik yang berada di wilayah PSN seluas 1.755 ha, termasuk di wilayah
di luar PSN. Kemudian lakukan audit secara menyeluruh baik terkait kinerja,
keuangan, dan hukum.
Lagipula, masalah pagar laut yang mengkonfirmasi adanya
perampasan wilayah kedaulatan laut ini jangan sampai melupakan kezaliman proyek
PIK-2 milik Aguan dan Anthony di wilayah daratan. Karena proses perampasan
tanah ini terjadi di darat dan di laut.
Fasilitas publik seperti sungai, jalan, jembatan, semua
diokupasi oleh proyek PIK-2 secara zalim. Tanah rakyat dirampas semaunya,
dengan modus intimidasi, ancaman, hingga kriminalisasi.
Semestinya, Negara segera bertindak. Tangkap Mandor Memet,
Eng Cun, Ali Hanafiah Lijaya, Aguan dan Anthoni Salim. Hentikan proyek PIK-2
dan audit seluruh kegiatan proyek PIK-2. Pecat seluruh pejabat yang terlibat.
Pidanakan seluruh pejabat yang ikut berperan menjual Kedaulatan Negara dan
zalim kepada rakyatnya.
Malu ! Kalau sampai Negara kalah melawan Aguan. Malu! jika
NKRI tak mampu mempertahankan diri! Jangan sampai NKRI berubah menjadi NKRA,
yakni Negara Kesatuan Republik Aguan! (***)
Tulisan ini adalah Catatan Kritis Diskusi Indonesia Lawyers
Club, 22 Januari 2025.
*Penulis adalah Advokat, Koordinator Tim Advokasi Melawan
Oligarki Rakus Perampas Tanah Rakyat/ TA-MOR PTR]
0 Comments