Berita Terkini

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Laut Dipagari, Tower Berdiri Di Jalan Raya: Catatan Paradoks

Ilustrasi, ketika nelayan diberi hak untuk 
membongkar pagar bambu di pesisir pantai Utara 
Kabupaten Tangerang, mereka pun bersemangat. 
(Foto: Istimewa/cnnidonesia.com) 


Oleh: Wayan Suyadnya

  

DI NEGERI yang penuh ironi ini, laut yang sejatinya luas dan tak berbatas kini dipagari. Tak ada yang tahu, atau pura-pura tak tahu. Sebuah paradoks yang menggelitik.

Ada kementerian kelautan, ada polisi laut, ada nelayan yang saban hari berlayar. Namun, laut itu diam-diam memiliki sertifikat.

Siapa yang berani mengukur ombak?  Siapa yang memasang patok di biru laut yang tak berbentuk? Apakah mereka mengukur daratan yang menjadi laut saat pasang? Atau, hanya angin yang tahu di mana garis itu ditarik?

Di Banten, di Tangerang, bahkan hingga Pulau Serangan, Bali, laut bersertifikat ini menjadi cerita yang lebih absurd dari dongeng.

Siapa yang menerbitkan sertifikat itu? Apa kata tetangganya—mungkin ikan bicara, mungkin karang mengerang. Siapa yang bertanggung jawab? Jawabannya tenggelam dalam gelombang pertanyaan.

Laut adalah wilayah publik, begitu katanya. Tempat nelayan mengais hidup, tempat badai berlayar, tempat mimpi-mimpi menari di atas buih.

Tapi ada berita laut dikaveling, dikuasai, menjadi milik segelintir orang penting. Padahal, laut adalah ibu yang melahirkan peradaban. Apakah ibu kini sudah dijual pada investor?

Lalu, kini beralihlah kita ke darat. Di jalan-jalan raya di seputar Kota Denpasar dan Kabupaten Badung.

Jika di laut manusia bisa buta, di jalan raya, apakah kita bisa tak melihat? Tower-tower BTS (Base Transceiver Station) berdiri mengangkang, menjulang di tengah jalan, di pinggir jalan, di tempat yang jelas-jelas melanggar hukum.

Jalan By Pass Ngurah Rai, Jalan Sedap Malam, Sekar Tunjung, di banyak  jalan yang ramai dilalulalangi orang  menjadi ironi. Jalanan, ruang publik yang mestinya memberikan kenyamanam untuk semua orang, tiba-tiba menjadi lahan bisnis.

Bayangkan, jika tower-tower itu berdiri di pekarangan pribadi, satu tower sewanya bisa ratusan juta rupiah. Tapi ini di jalan, siapa yang menyewakan? Siapa yang menerima uangnya? Apakah ada kuitansi dari udara? Bukankah undang-undang lalu lintas melarang itu? Tak hanya undang-undang lalu lintas banyak aturan lain yang mengatur ruang udara.

Jika laut bisa dipagari, apakah jalan raya bisa disewakan? Siapa yang mengizinkan tower-tower itu berdiri begitu terbukanya dilihat orang yang lalu lalang?

Paradoks terus berlipat-lipat. Jika pagar laut itu tak berizin, mestinya dirobohkan. Pada tower-tower di jalan yaang melanggar aturan, mestinya dibongkar juga. Jangan  di depan mata kita dibiarkan melanggar.

Tapi dunia ini, sayangnya, lebih sering memilih menutup mata. Yang tak terlihat, bisa saja dianggap tak ada, tapi ini jelas  di depan mata telanjang menjulang mengangkang di tengah jalan, dilihat oleh mereka yang lalu lalang,  janganlah dibiarkan seakan menjadi bayang-bayang.

Laut yang tak bertuan kini bertuan. Jalanan yang milik semua, tiba-tiba menjadi milik segelintir.

Di negeri paradoks ini, logika seperti berjalan mundur, akal sehat seperti tenggelam dalam gelombang pasang.

Siapa yang peduli? Laut tetap bergemuruh, jalan tetap dilalui. Kita, mungkin hanya bisa bertanya—hingga suara kita tenggelam di antara bisingnya ombak dan deru kendaraan.

 

Denpasar, 28 Januari 2025

Post a Comment

0 Comments