![]() |
Ilustrasi, ketika nelayan diberi hak untuk membongkar pagar bambu di pesisir pantai Utara Kabupaten Tangerang, mereka pun bersemangat. (Foto: Istimewa/cnnidonesia.com) |
Oleh: Wayan Suyadnya
DI NEGERI yang penuh ironi ini, laut yang sejatinya luas dan
tak berbatas kini dipagari. Tak ada yang tahu, atau pura-pura tak tahu. Sebuah
paradoks yang menggelitik.
Ada kementerian kelautan, ada polisi laut, ada nelayan yang
saban hari berlayar. Namun, laut itu diam-diam memiliki sertifikat.
Siapa yang berani mengukur ombak? Siapa yang memasang patok di biru laut yang tak
berbentuk? Apakah mereka mengukur daratan yang menjadi laut saat pasang? Atau,
hanya angin yang tahu di mana garis itu ditarik?
Di Banten, di Tangerang, bahkan hingga Pulau Serangan, Bali,
laut bersertifikat ini menjadi cerita yang lebih absurd dari dongeng.
Siapa yang menerbitkan sertifikat itu? Apa kata
tetangganya—mungkin ikan bicara, mungkin karang mengerang. Siapa yang
bertanggung jawab? Jawabannya tenggelam dalam gelombang pertanyaan.
Laut adalah wilayah publik, begitu katanya. Tempat nelayan mengais
hidup, tempat badai berlayar, tempat mimpi-mimpi menari di atas buih.
Tapi ada berita laut dikaveling, dikuasai, menjadi milik
segelintir orang penting. Padahal, laut adalah ibu yang melahirkan peradaban.
Apakah ibu kini sudah dijual pada investor?
Lalu, kini beralihlah kita ke darat. Di jalan-jalan raya di
seputar Kota Denpasar dan Kabupaten Badung.
Jika di laut manusia bisa buta, di jalan raya, apakah kita
bisa tak melihat? Tower-tower BTS (Base Transceiver Station) berdiri
mengangkang, menjulang di tengah jalan, di pinggir jalan, di tempat yang
jelas-jelas melanggar hukum.
Jalan By Pass Ngurah Rai, Jalan Sedap Malam, Sekar Tunjung,
di banyak jalan yang ramai dilalulalangi
orang menjadi ironi. Jalanan, ruang
publik yang mestinya memberikan kenyamanam untuk semua orang, tiba-tiba menjadi
lahan bisnis.
Bayangkan, jika tower-tower itu berdiri di pekarangan
pribadi, satu tower sewanya bisa ratusan juta rupiah. Tapi ini di jalan, siapa
yang menyewakan? Siapa yang menerima uangnya? Apakah ada kuitansi dari udara?
Bukankah undang-undang lalu lintas melarang itu? Tak hanya undang-undang lalu
lintas banyak aturan lain yang mengatur ruang udara.
Jika laut bisa dipagari, apakah jalan raya bisa disewakan?
Siapa yang mengizinkan tower-tower itu berdiri begitu terbukanya dilihat orang
yang lalu lalang?
Paradoks terus berlipat-lipat. Jika pagar laut itu tak
berizin, mestinya dirobohkan. Pada tower-tower di jalan yaang melanggar aturan,
mestinya dibongkar juga. Jangan di depan
mata kita dibiarkan melanggar.
Tapi dunia ini, sayangnya, lebih sering memilih menutup
mata. Yang tak terlihat, bisa saja dianggap tak ada, tapi ini jelas di depan mata telanjang menjulang mengangkang
di tengah jalan, dilihat oleh mereka yang lalu lalang, janganlah dibiarkan seakan menjadi
bayang-bayang.
Laut yang tak bertuan kini bertuan. Jalanan yang milik semua,
tiba-tiba menjadi milik segelintir.
Di negeri paradoks ini, logika seperti berjalan mundur, akal
sehat seperti tenggelam dalam gelombang pasang.
Siapa yang peduli? Laut tetap bergemuruh, jalan tetap
dilalui. Kita, mungkin hanya bisa bertanya—hingga suara kita tenggelam di
antara bisingnya ombak dan deru kendaraan.
Denpasar, 28 Januari 2025
0 Comments