Syafril Elain, RB (Foto: Ist/koleksi pribadi Syafril Elain) |
PEMILIHAN Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024 baru saja
berlalu dan kini masih menunggu proses hukum di Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia (MK RI) Jakarta. Selain proses hukum di MK ada pula proses sidang etik
di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Jakarta. Baik di MK maupun di
DKPP ratusan perkara atau aduan yang akan diproses untuk diselesaikan oleh
kedua pengadil tersebut.
Tulisan ini bukanlah untuk membahas tentang proses hukum
Pilkada namun sesuai judul Pilkada Biaya Mahal. Presiden RI Prabowo Subianto
saat berpidato pada Hari Ulang Tahun (HUT) Partai Golongan Karya (Golkar) ke-60
beberapa hari lalu menyebutkan biaya Pilkada mahal. Yang menang saja lesu,
apalagi yang kalah. Negara tetangga kita efisien: Malaysia, Singapura, dan
India. Sekali saja memilih anggota DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah). Ya sudah,
DPRD itulah yang memilih Gubernur, Bupati, dan Walikota.
Benarkah Pilkada Serentak 2024 mahal? Siapakah yang membuat
Pilkada itu mahal? Lantas perlukah diubah dari pemilihan langsung pimpinan
daerah menjadi pemilihan perwakilan lewat DPRD?
Pelaksanaan Pilkada adalah perintah dari Undang-Undang
Republik Indonesia (UU RI) Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU
RI Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor
1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi
Undang-Undang.
Pilkada Serentak 2024 dengan memiliki landasan hukum yakni Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2016 yang tertuang dalam Pasal 201 Ayat (8).
Di dalamnya mengatur pelaksanaan pemungutan suara serentak
untuk pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta
Walikota dan Wakil Walikota di seluruh wilayah Indonesia, yang berlangsung pada
27 November 2024 lalu. Ketentuan ini bertujuan untuk memfasilitasi proses
demokrasi antara pemilihan pada tingkat pusat dan daerah.
Kata serentak dalam konteks ini merujuk pada pelaksanaan Pemilu
yang diselenggarakan bersamaan, sebuah langkah yang diambil berdasarkan Putusan
Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 14 Tahun 2013. Dasar hukum Pilkada ini bertujuan
untuk menciptakan sinergi antara berbagai lembaga negara dan meminimalkan
fragmentasi politik yang sering kali terjadi ketika pemilihan dilakukan secara
terpisah-pisah.
Putusan MK Nomor 14 Tahun 2013 yakni membatalkan beberapa
pasal dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden
dan Wakil Presiden (UU Pilpres). MK berpendapat bahwa pelaksanaan pemilu
serentak akan memperkuat sistem presidensial di Indonesia, menciptakan sinergi
antara berbagai lembaga negara, dan meminimalkan fragmentasi politik.
Ketika itu disebutkan Pilkada 2024 bertujuan untuk menciptakan
efisiensi dan konsistensi dalam proses pemilihan, mengurangi beban
administrasi, dan memperkuat legitimasi hasil pemilihan dengan memastikan bahwa
seluruh pemilihan kepala daerah dilakukan dalam satu periode waktu yang sama.
Dengan demikian, Pilkada Serentak tidak hanya sekadar proses teknis, tetapi
juga merupakan manifestasi dari upaya memperkuat sistem presidensial dan
demokrasi di Indonesia.
Namun, setelah Pilkada Serentak 2024 dilaksankan orang nomor
satu di Indonesia yakni Presiden Prabowo Subianto berpandangan lain bahkan
mengajak para ketua umum partai politik yang hadir pada HUT ke-60 itu untuk
bersepakat bahwa Pilkada Serentak tidak lagi dilaksakan melainkan melalui pemilihan dilakukan
oleh DPRD.
Padahal Pilkada Serentak baru pertama kali dilaksanakan tapi
sudah langsung dirasakan tidak efisien dan mahal. Para pengambil kebijakan
sebelum Pilkada Serentak ketika itu sangat yakin efisien dan berbiaya lebih murah
karena dilaksankana dalam suatu periode yang sama.
Bahkan ketika Yusuf Kalla sebagai Wakil Presiden RI periode 2014-2019 sempat berkata terlalu boros Pilkada dilakukan terpisah. Perlu
langkah kebijakan Pilkada untuk dilakukan secara serentak. Pada Pilkada
Serentak 2024 ini Yusuf Kalla belum berkata apa-apa. Namun, ketika Presiden
Prabowo berpidato pada HUT Golkar ke-60 Yusuf Kalla hadir dan menyimak apa yang
disampaikan sang Presiden.
Bisa jadi Yusuf Kalla sepakat apa yang disampaikan oleh
Presiden Prabowo, bisa pula berpendapat lain. Sebab, Pilkada Serentak kali ini
diadakan di 545 daerah dengan rincian sebanyak 37 provinsi, 415 kabupaten, dan
93 kota. Jumlah sangat fantastis bila dibandingkan dengan negara tetangga
Malaysia dan Singapura yang wilayah dan jumlah penduduknya terbatas. (bersambung)
*Penulis adalah penyelenggara Pemilu di Kota Tangerang,
rentang waktu 2003-2013.
0 Comments