![]() |
Ilustrasi, suatu kegiatan pertambangan. (Foto: Istimewa) |
Assalamu'alaikum wr. wb
Bapak dan ibu pimpinan Muhammadiyah yang saya hormati.
Izinkan saya melayangkan surat terbuka uneg-uneg ini.
Pertama-tama, izinkan saya memperkenalkan diri. Meski tidak
pernah aktif dalam kemuhammadiyahan, saya tinggal, lahir dan dibesarkan di
lingkungan Muhammadiyah di Wonosobo, kota kecil Jawa Tengah.
Ayah dan ibu saya aktif di Muhammadiyah dan Aisyiyah. Rumah
kami pernah menjadi markas Kokam pada 1960-an. Ayah ikut mendirikan radio
"Voice of Muhammadiyah" pada 1970-an, serta belakangan mendirikan
sekolah menengah (SMP dan SMA), di kota kecil kami. Ibu aktif menyelenggarakan
pengajian Aisyiyah di desa-desa sampai beberapa tahun sebelum beliau meninggal.
Saya bangga dengan Muhammadiyah. Dan makin bangga dengan
kiprahnya belakangan ini, ketika Muhammadiyah menjadi organisasi sangat besar,
mengelola ratusan sekolah, universitas, rumah sakit dan badan-badan amal lain
yang bermanfaat bagi banyak orang. Muhammadiyah sukses mengelola badan amal
dengan nilai aset ratusan triliun sekarang.
Tapi, maaf, kebanggaan saya hancur oleh keputusan Bapak-Ibu
sekalian menerima hadiah izin konsesi tambang batubara bekas dari pemerintah.
Dengan itu, menurut saya, Muhammadiyah sedang mengkerdilkan
diri dan menjatuhkan martabatnya sendiri.
Izinkan saya menjelaskan argumen kenapa saya berpikir
seperti itu.
PERTAMA, MUHAMMADIYAH MEWARISI BISNIS KOTOR
Batubara adalah jenis energi kotor yang diusahakan melalui
praktik pertambangan paling kotor.
Saya tidak melihat industri pertambangan dengan sendirinya
haram. Tapi, tambang batubara telah menimbulkan dampak kerusakan alam yang
sangat serius dan kerusakan ekonomi-sosial memiriskan bagi warga sekitar. Lebih
banyak mudharat dari manfaat.
"Tidak ada bisnis yang benar-benar menguntungkan jika
ongkos lingkungan dan sosial diperhitungkan," kata EF Schumacher dalam
buku Small is Beautiful.
Jika banyak pengusaha sekarang bisa kaya-raya lewat tambang batubara, itu karena ongkos kerusakan alam dan kerusakan sosial akibat bisnis tambangnya tidak benar-benar diperhitungkan.
Di ranah sosial, memang ada perusahaan yang memberikan dana
CSR untuk operasi bibir sumbing dan sunatan massal, misalnya, atau membangun
masjid.
Tapi, itu tak sebanding dengan kerugian yang masyarakat
derita: hilangnya penghidupan akibat polusi dan pencemaran; banjir dan longsor
akibat praktik tambang yang merusak hutan; serta konflik yang menghantui
mereka, konflik dengan sesama sendiri maupun dengan perusahaan-perusahaan yang
menjadikan polisi bersenjata (kadang tentara) sebagai centeng mereka.
Saya telah melakukan dua kali perjalanan keliling Indonesia
bersepeda motor pada 2010 dan 2023, masing-masing selama setahun.
Saya menyaksikan sendiri kerusakan alam dan sosial itu di
berbagai tempat, tak hanya dalam sektor batubara, tapi juga tambang-tambang
lain.
Bapak dan ibu sekalian,
Hutan Kalimantan dulu dibanggakan sebagai paru-paru dunia
atau "Amazon"-nya Indonesia. Dia adalah bukti paling kuat dari status
MegaDiversity bagi Indonesia, negeri dengan keragaman hayati (biodiversitas)
terkaya di dunia.
Tapi, hutan itu kini telah jauh menyusut dan rusak berat
akibat eksploitasi tambang, industri kayu dan kebun sawit monokultur.
Dalam beberapa tahun terakhir, seluruh provinsi di
Kalimantan mengalami banjir hebat, selama berminggu-minggu, ketika curah hujan
tinggi.
Di Kalimantan Selatan saja, tempat Muhammadiyah kemungkinan
besar akan mendapat hadiah izin tambang, seluruh kabupaten digenangi banjir
hebat pada 2021: merendam 17.000 rumah dan membuat 120.000 orang harus
mengungsi. Itu banjir terbesar dalam 50 tahun terakhir.
Dengan menerima hadiah tadi, Muhammadiyah sedang mewarisi
jenis bisnis yang paling merusak; yang mengabaikan kerusakan alam dan ongkos
sosial.
Kerugian rumah terendam bisa dihitung dengan uang. Tapi
bagaimana menghitung terhentinya aktivitas sosial dan ekonomi serta semua
dampak ikutannya: penyakit, anak tak sekolah, ayah kehilangan lahan pertanian,
dan ibu kehilangan sumber air bersih yang vital untuk kehidupan?
KEDUA, JANJI PALSU GREEN MINING
Saya mendengar wawancara Pak Azrul Tanjung, Ketua Majelis
Lingkungan Hidup (MLH) Muhammadiyah, di televisi. Beliau mengatakan bahwa
tambang batubara Muhammadiyah akan ramah alam, ramah sosial dan berkeadilan.
Niat untuk memperbaiki kesalahan itu bagus. Tapi, tambang
batubara sisa itu sendiri sudah menyimpan problem yang tak mungkin bisa
dikoreksi, bahkan jika Muhammadiyah mau.
Sebagian lahan tambang yang ditetapkan pemerintah itu ada di
lingkungan hutan lindung yang seharusnya dilestarikan. Sebagian lain didapat
dengan menggusur dan meminggirkan masyarakat tradisional, khususnya Suku Dayak.
Bagaimana Muhammadiyah bisa memastikan tambang yang dikelola
ramah alam dan sosial tanpa melihat sejarah ke belakang lahan itu?
Di banyak negara yang mulai sadar akan potensi kerusakan
alam dan sosial, usaha tambang diatur sangat ketat. Negosiasi dengan warga
setempat dilakukan selama bertahun-tahun sebelum lahannya sendiri ditetapkan.
Di Selandia Baru, misalnya, suku tradisional Maori tak hanya
diajak bicara "ganti untung atau ganti rugi", mereka dilibatkan dalam
partisipasi bermakna, dalam perencanaan dan pengelolaan tambang, bukan sekadar
jadi buruh. Mereka juga diberi hak kepemilikan dalam usaha tambang.
Kini Muhammadiyah hanya mewarisi sisa yang tak mungkin lagi
bisa dikoreksi.
Ada 100 lebih izin tambang di Kalimantan Selatan saja. Semua
saling terkait dalam merusak ekosistem hutan, sungai dan laut.
Bagaimana pula Muhammadiyah, yang kemungkinan besar hanya
akan mengelola sekitar 20 hektar di situ, bisa memperbaiki kerusakan seluruh
ekosistem?
Itu seperti menggarami laut. Muhammadiyah sudah terlambat
melakukan koreksi teknis, bahkan jika mau.
Lahan tambang yang akan dikelola Muhammadiyah adalah lahan
bekas perusahaan-perusahaan terdahulu. Menurut Undang-Undang Mineral dan Batubara
(Minerba), perusahaan-perusahaan itu bisa memperoleh perpanjangan kontrak karya
secara otomatis (tanpa lelang), selama 10 tahun, jika menyisihkan lahan sisa
tadi.
Dengan menerima tawaran sisa tambang itu, Muhammadiyah
justru secara langsung sedang menjustifikasi praktik merusak yang sudah
dilakukan perusahaan-perusahaan tadi selama ini, dan praktik merusak lain di
masa depan, sampai setidaknya 10 tahun mendatang.
Muhammadiyah juga sedang mengais remah-remah untuk
melanggengkan dominasi tambang oligarki.
Sisa tambang itu mungkin masih akan menghasilkan. Dan saya
tak meragukan kemampuan Muhammadiyah mengelolanya. Tapi, makin sukses
Muhammadiyah mengelolanya, justru makin buruk mudharatnya bagi alam dan manusia
setempat.
KETIGA, BISNIS SUNSET
Sebagian besar kebutuhan energi kita sekarang ini memang
masih dipasok oleh batubara. Tapi, di banyak negara, energi kotor ini mulai
ditinggalkan. Bahkan Pemerintah Indonesia sendiri (meski masih sebatas
retorika) berencana beralih ke energi terbarukan, dengan meningkatkan porsinya
sebanyak 70 persen pada 2060.
Batubara takkan dipakai lagi. Dan pemerintah sendiri sedang
melepehnya.
Bukankah ironis jika Muhammadiyah menerima tawaran masuk ke
sektor bisnis masa lalu yang sudah menjelang terbenam itu?
Kenapa Muhammadiyah tidak justru menginspirasi bisnis masa
depan yang benar-benar lebih ramah alam: energi terbarukan; pertanian dan
kelautan berkelanjutan; pangan dan produk organik; eco-tourism; atau
biometerial (sustainable construction and architecture)?
Banyak generasi baru, kaum Milenial dan Gen Z, kini makin
peduli pada isu lingkungan dan keadilan sosial. Di mata mereka, Muhammadiyah
akan terancam kehilangan relevansi jika Muhammadiyah justru kembali ke belakang,
bukannya ke masa depan.
Bukan hanya makin tidak relevan, Muhammadiyah juga
kehilangan otoritas moral untuk mengoreksi pemerintah yang selama ini justru
merestui banyak praktik tambang yang merusak. Tak cuma di sektor batubara, tapi
juga tambang-tambang yang lain, seperti emas dan nikel.
Di Trenggalek, Jawa Timur, misalnya, saya bertemu dengan
anak-anak muda kader NU dan Muhammadiyah yang bahu-membahu menolak tambang
emas. Mereka kuatir tambang itu akan merusak hutan dan laut mereka, serta memarjinalkan
petani dan nelayan.
Kerjasama warga NU dan Muhammadiyah itu sangat
mengembirakan. Tapi, mereka dihadapkan pada tekanan terus-menerus untuk
berkonflik akibat sikap pro dan anti tambang.
Proyek tambang sudah memicu konflik di mana-mana, bahkan
hanya dari sikap awal menerima atau menolak saja. Pemerintah dan pengusaha,
alih-alih meredam konflik, justru membakar jerami kering: memberi hadiah bagi
yang menerima dan menghukum yang menolak.
Mereka yang menolak kadang diintimidasi, ditangkap dan
dipenjarakan, dituduh PKI (komunis), bahkan ada yang dibunuh.
Di pusat-pusat tambang, saya menyaksikan sendiri bagaimana
konflik itu telah merusak jalinan sosial bahkan tingkat terkecil:
antar-tetangga saling curiga; adik dan kakak bertengkar; anak dan ayah
bermusuhan. Betapa besar energi psikis yang harus mereka kerahkan untuk konflik
itu, sementara sebagian besar mereka masih harus bergulat untuk bisa hidup
sehari-hari.
Itu terjadi di hampir semua tempat yang saya kunjungi: di
Wadas (Jawa Tengah), di Tumpang Pitu (Jawa Timur), di Flores (Nusa Tenggara Timur),
di Morowali dan Wawonii (Sulawesi Tenggara), di Halmahera dan Obi (Maluku
Utara), di Sorik Marapi (Sumatera Utara), di Air Bangis (Sumatera Barat), dan
Padarincang (Banten). Dan itu baru menyebut sebagian saja.
Tidak ada makan siang gratis, kata orang. Dengan menerima
hadiah pemerintah, mungkinkah Muhammadiyah bisa percaya diri dan bermartabat
menyuarakan kritik, dan ikut memperjuangkan pelestarian alam dan keadilan sosial
bersama warganya sendiri?
KEEMPAT, APA YANG SEHARUSNYA DILAKUKAN
Menerima hadiah pemerintah berupa tambang batubara bekas
lebih banyak membawa mudharat ketimbang manfaat bagi Muhammadiyah. Tentu saja
jika kita memikirkan konteks yang luas, tak cuma terkait keuntungan material
yang mungkin didapat.
Saya menyarankan agar pimpinan Muhammadiyah melakukan
perenungan yang lebih mendalam, serta mendengar lebih seksama pandangan ibu-ibu
Aisyiyah yang telah tegas menolak tawaran pemerintah itu.
Kaum perempuan adalah mereka yang menanggung kerusakan alam
dan sosial akibat tambang.
Muhammadiyah sudah terlambat bisa mengoreksi kerusakan
tambang di atas lewat aspek teknis. Tapi, Muhammadiyah bisa bisa mengoreksi
secara paradigmatis. Dan di situ Muhammadiyah sebenarnya bisa punya peran
besar.
Berbagai kerusakan tadi terjadi karena masalah struktural
yang bertumpu pada regulasi pemerintah, terutama UU Minerba dan UU Cipta Kerja,
yang cenderung mengabaikan isu kelestarian alam dan keadilan sosial.
UU Minerba, misalnya, tidak berkeadilan. Bahkan Muhammadiyah
sendiri dulu pernah menolaknya. Setelah kontrak karya habis, perusahaan tambang
seharusnya benar-benar berhenti beroperasi dan konsesinya dikembalikan ke
pemerintah.
Tapi, kini malah diberikan perpanjangan tanpa lelang, dan
tanpa evaluasi menyeluruh yang menekankan pada kelestarian alam, pemerataan dan
meminimalkan dampak sosial.
Dengan menerima hadiah pemerintah, Muhmmadiyah justru sedang
menjustifikasi konsentrasi penguasaan tambang oleh segelintir orang, serta
mengabaikan kerusakan alam dan sosial yang menyertainya.
Menurut saya, dalam soal tambang, Muhammadiyah seharusnya
melakukan hal-hal ini:
1. Mendesak pemerintah melakukan moratorium tambang
(taruhlah 5-10 tahun).
2. Mengevaluasi secara mendalam UU Cipta Kerja dan Minerba.
3. Mendesak pemerintah mengkaji serius, komprehensif dan
mendalam dampak seluruh tambang yang ada sekarang terhadap alam maupun manusia.
4. Mendesak pemerintah merumuskan regulasi pengelolaan
tambang yang benar-benar berkeadilan dan menekankan kemandirian bangsa.
5. Mendesak pemerintah mencari alternatif ekonomi di luar
tambang, menemukan keseimbangan antara membangkitkan ekonomi dengan pelestarian
alam, termasuk mencari sumber energi terbarukan dengan memanfaatkan keragaman
hayati kita.
Jika itu dilakukan, tak hanya membuat saya tetap bangga,
saya yakin Muhammadiyah akan menjadi motor dan inspirator yang sangat keren
dalam upaya menuju Indonesia lebih baik di masa depan.
Bapak-ibu pemimpin Muhammadiyah yang saya hormati,
Saya berdoa agar Bapak-Ibu diberi berkah kesehatan dan
kewarasan untuk bisa membawa Muhammadiyah benar-benar menjadi organisasi yang
bermanfaat, mandiri dan bermartabat pada masa depan.
Akhirul kalam, wassalamu alaikum wr. wb.
Sembah sungkem,
Farid Gaban
0 Comments