Prabowo Subianto seusai menerima pangkat kehormatan jenderal disambut menteri sejawat. (Foto: Ist/tribunews.com) |
"Pada kesempatan yang baik ini, berbahagia ini, saya
ingin menyampaikan penganugerahan kenaikan pangkat secara istimewa berupa
jenderal TNI kehormatan kepada Bapak Prabowo Subianto," kata Jokowi saat
menyampaikan arahan dalam Rapat Pimpinan TNI-Polri, Rabu.
Atas pemberian pangkat tersebut,Halili Hasan - Direktur
Eksekutif SETARA Institute mengatakan SETARA Institute memandang bahwa secara
yuridis, kenaikan pangkat kehormatan itu tidak sah dan ilegal. Undang-Undang Republik
Indonesia (UU RI) Nomor 34 tahun 2024 tentang Tentara Nasional Indonesia tidak
mengenal bintang kehormatan sebagai pangkat kemiliteran. Bintang sebagai
pangkat militer untuk Perwira Tinggi
hanya berlaku untuk TNI aktif, bukan purnawirawan atau pensiunan.
“Jika merujuk pada UU Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar,
Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, maka Bintang yang dimaksud dalam UU tersebut
adalah Bintang sebagai Tanda Kehormatan. Menurut Pasal 7 Ayat (3), dalam bentuk
Bintang Gerilya, Bintang Sakti, Bintang Dharma, Bintang Yudha Dharma, Bintang
Kartika Eka Pakçi, Bintang Jalasena, dan Bintang Swa Bhuwana Paksa, bukan
bintang sebagai pangkat kemiliteran perwira tinggi bagi purnawirawan militer,” tutur
Halili Hasan melalui Siaran Pers SETARA Institut yang diterima Redaksi
TangerangNet.Com, Rabu (28/2/2024).
Secara lebih spesifik, kata Halili Hasan, jika merujuk
kepada Peraturan Menteri Pertahanan No. 18 Tahun 2012, pemberian kenaikan
pangkat ini merupakan tanda tanya besar. Dalam ketentuan umum peraturan ini,
disebutkan bahwa Kenaikan Pangkat Istimewa diberikan kepada PNS dengan prestasi
luar biasa baik.
“Sedangkan Kenaikan Pangkat Luar Biasa (KPLB) diberikan
kepada Prajurit yang mengemban penugasan khusus dengan pertahanan jiwa dan raga
secara langsung dan berjasa dalam panggilan tugasnya. Dalam 2 kategori ini,
tentu Prabowo tidak masuk kualifikasi sebagaimana yang dimaksud dalam peraturan
tersebut,” tutur Halili Hasan yang didampingi oleh Ikhsan Yosarie, peneliti HAM
dan Sektor Keamanan SETARA Institute.
Selain itu, kata Halili, bintang kehormatan sebagai pangkat militer perwira tinggi itu bermasalah
bila diberikan Jokowi pada Prabowo. Sebagaimana diketahui bersama, Prabowo
pensiun dari dinas kemiliteran karena diberhentikan melalui
KEP/03/VIII/1998/DKP dan Keppres No. 62 Tahun 1998, bukan karena memasuki usia
pensiun.
“Dengan demikian, keabsahan pemberian bintang kehormatan itu
problematik. Sebuah kontradiksi jika sosok yang diberhentikan dari dinas
kemiliteran kemudian dianugerahi gelar kehormatan kemiliteran,” ucap Halili.
Kedua, pemberian gelar kehormatan Jenderal Bintang Empat
kepada Prabowo merupakan langkah politik Presiden Jokowi yang menghina dan
merendahkan korban dan pembela HAM, terutama dalam Tragedi Penculikan Aktivis
1997-1998. Dugaan keterlibatan Prabowo dalam kasus penculikan aktivis itu sudah
jelas dinyatakan oleh satu lembaga ad hoc kemiliteran resmi yang dibentuk oleh
negara bernama Dewan Kehormatan Perwira (DKP) yang rekomendasinya pemberhentian
Prabowo dari dinas kemiliteran, dan kemudian dituangkan dalam bentuk Keputusan
Presiden.
Negara jelas menyatakan bahwa Prabowo merupakan pelanggar
HAM, berdasarkan keputusan Negara. Maka langkah politik Jokowi tersebut
nyata-nyata bertentangan dengan hukum negara tentang pemberhentian Prabowo dan
pada saat yang sama melecehkan para korban dan pembela HAM yang hingga detik
ini terus berjuang mencari keadilan.
Ketiga, dari sisi etika kepublikan, langkah Presiden Joko
Widodo memberikan bintang kehormatan itu juga bermasalah. Presiden seharusnya
lebih memikirkan nasib sebagian besar rakyat yang saat ini sedang mengalami
kesulitan ekonomi serius, karena naiknya harga beras dan harga-harga sembako
lainnya, bukan mengambil langkah politik untuk memberikan Bintang Kehormatan
bagi Prabowo dengan pertimbangan dan untuk kepentingan politik, yaitu 'menanam'
jasa kepada Prabowo yang diproyeksikan oleh Joko Widodo menjadi Presiden RI
selanjutnya.
Oleh karena itu, kata Halili, SETARA Institute menuntut agar
Jokowi mengurungkan rencana dan membatalkan pemberian bintang kehormatan
kemiliteran untuk Prabowo. Jika tuntutan ini diabaikan, maka semakin jelaslah
bahwa pada ujung periode pemerintahannya, Presiden Joko Widodo lebih sering
menampilkan tindakan politik dan pemerintahan yang bertentangan dengan hukum,
melawan arus aspirasi publik, dan mengabaikan hak asasi manusia. (*/rls/pur)
0 Comments